Lentera di Kegelapan

Ayu Na'imma Shinta Pradaning 5 Mei 2014

"Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk Indonesia dengan cara Indonesia".

Kalimat tersebut adalah sebuah semboyan dari Ki Hajar Dewantara yang pernah ditulis ulang di sebuah group oleh salah satu orang yang membuatku terinspirasi.  Seseorang  yang bernama Hidayatun Rosita. Setahun menjejakkan kaki di pulau Bawean, aku bertemu orang-orang yang luar biasa salah satunya adalah Hidayatun Rosita. Mbak Ita, begitu aku memanggilnya.  Pertemuan pertamaku dengan Mbak Ita adalah saat class meeting semester 1 di Paromahan. Pertemuan yang sekejab, tetapi berkesan. Ini adalah kali pertamanya aku bertemu seorang guru yang tahu betul bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan. Ketertarikanku dengan sosok Mbak Ita berlanjut di hari-hari berikutnya, melalui Bapak Sukadi (Ketua Gugus Bouroq), aku akhirnya mengenal sosok Mbak Ita.

Mbak Ita adalah tenaga pendidik di SDN 3 Tanjungori Kecamatan Tambak. Lahir dan dibesarkan di Bawean tepatnya di desa Tambak 24 tahun lalu pada 3 Februari 1990. Hidayatun Rosita mengenyam pendidikan dari SD hingga Perguruan Tinggi di Bawean. Untuk Perguruan Tinggi, Mbak Ita tidak mengikuti perkuliahan reguler karena terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Terbuka jurusan S 1 PGSD yang memiliki sistem perkuliahan jarak jauh.

1 Desember 2008 adalah kali pertama Mbak Ita mengabdi sebagai guru honorer di SDN 3 Tanjungori sekaligus saat itu dia masih berstatus mahasiswa. Mbak Ita memang belum menyelesaikan pendidikan saat pertama kali menjadi guru. Tepat saat SDN 3 Tanjungori sedang membutuhkan seorang tenaga pendidik karena seorang gurunya harus pindah tugas, takdir baik berpihak padanya. Mbak Ita mengatakan bahwa dia merasa beruntung diterima sebagai tenaga pendidik walaupun belum merampungkan pendidikannya.

 Mbak Ita bercerita bahwa saat itu dengan modal keberanian dan sedikit kepercayaan diri dengan ilmu yang masih sangat minim dia mencoba untuk melangkah ke dalam dunia pendidikan di Bawean. Sebagai orang Bawean dia berharap bisa berbuat sesuatu walau sedikit untuk tanah kelahirannya, tanah tempat dia dilahirkan dan dibesarkan dengan peluh kedua orangtuanya.

Saat ini sudah lebih dari 5 tahun Hidayatun Rosita menjadi tenaga pendidik, dalam masa ini pun dia telah menyelesaikan pendidikannya dan lebih mantap dalam mengajar. Meski hitungan waktu 5 tahun itu tidak bisa dibilang sebentar namun dia mengaku masih tergolong minim dalam masa kerja dibanding teman-teman guru honorer lain yang berada di Kecamatan Tambak. Meskipun begitu tidak sedikit juga pengalaman dan pembelajaran yang didapat selama menjadi tenaga pendidik. Mbak Ita bercerita bahwa sebagai guru pemula banyak kesulitan yang dia alami di masa-masa awal mengajar, baik dalam hal pengelolaan kelas maupun cara mengajar apalagi saat itu dia belum menyelesaikan pendidikan keguruannya.

“ Saya menyadari modal saya belumlah cukup untuk bisa mengajar anak-anak. Saya juga harus menerima kenyataannya sarana dan prasarana sekolah yang memprihatinkan. Kala itu, 5 tahun yang lalu, gedung sekolah tempat saya mengajar hanya memiliki 3 ruang kelas untuk 6 rombongan belajar ditambah sebuah ruang kantor yang kecil. Gedung sekolah kami sepertinya belum pernah dibangun kembali maupun diperbaiki sejak pertama kali berdiri sekitar tahun 70-an. Meski begitu saya tidak berkecil hati karena saya tahu masih banyak sekolah di Pulau Bawean atau bahkan di pelosok daerah lain di luar Bawean yang memiliki kondisi yang sama bahkan lebih parah.

Semangat anak-anak untuk belajar mampu memberi saya tambahan energi. Meski atap kelas sering bocor saat hujan, meski harus berbagi kelas dalam satu ruangan yang dibatasi sekat sederhana. Anak-anak tidak pernah mengeluhkan kondisi sekolah mereka walaupun sebenarnya mereka juga layak mendapat layanan dan fasilitas terbaik sama seperti anak-anak lain di daratan sebagai sama-sama calon penerus pembangunan bangsa. Lambat laun saya juga belajar dari mereka, belajar cara bertahan dalam kondisi apapun selama 5 tahun terakhir ini.” Begitu kata Mbak Ita.

Menurutnya, pendidikan di Bawean memang telah berkembang pesat sejauh yang bisa diamati. Pembangunan dan penyediaan sarana serta prasarana untuk sekolah-sekolah di Pulau Bawean oleh pemerintah terus digalakkan dan berlangsung hingga saat ini. Bahkan di sekol ahnyatelah beberapa kali mendapat bantuan. Kesejahteraan guru pun kian membaik. Namun dibalik semua itu terdapat isu pendidikan yang perlu mendapat perhatian lebih. Hal ini dia rasakan dan lihat sendiri sejak dia masih menjadi pelajar hingga menjadi tenaga pendidik di Pulau Bawean dewasa ini. Sejak diberlakukannya Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan oleh pemerintah dari jenjang SD hingga SMA maka telah terjadi perubahan orientasi pendidikan di Pulau Bawean. Seluruh pikiran dan tenaga pendidik tercurah agar anak didiknya lulus di Ujian Nasional. Hal ini dia rasakan sendiri sejak masih menjadi siswa, di kelas-kelas akhir siswa hanya difokuskan belajar disiplin ilmu yang akan diujikan, sebagai akibatnya disiplin ilmu yang lain bagai dianaktirikan. Hal ini rupanya tidak jauh beda dengan yang dialami peserta didik di sekolahnya. Dia merasa seperti mengalami déjà vu saat melihat cara belajar anak-anak didiknya di sekolah dan kebanyakan sekolah lainnya.

Ujian nasional telah menjadi momentum yang amat sakral di Bawean, acara istigotsah (doa bersama) rutin dilaksanakan tiap sekolah guna mengantar siswa menghadapi ujian. Acara doa bersama mungkin bagian yang positif tapi Ujian Nasional membuat proses pendidikan yang telah dilaksanakan bertahun-tahun seolah-olah terlupakan. Tidak hanya bagi pendidik, masyarakat di Pulau Bawean pun mengerti seberapa penting peran Ujian Nasional hingga lambat laun muncul mindset “Yang penting anak kami lulus ujian” dikalangan masyarakat. Para orang tua sepertinya mengabaikan bahwa pendidikan itu adalah sebuah proses yang tidak mungkin ditentukan keberhasilannya lewat Ujian Nasional saja. Meski kini telah terjadi perubahan yang signifikan bagi sekolah dasar dengan dihapusnya Ujian Nasional untuk SD namun mungkin tidak akan mudah mengubah mindset masyarakat yang telah terbentuk selama bertahun-tahun.

DIa juga mengungkapkan bahwa potensi pendidikan di Bawean sendiri sebenarnya tidak kalah dengan daratan Jawa. Secara akademis tidak sedikit siswa-siswi Bawean yang mampu bersaing dengan siswa-siswi dari Gresik daratan. Hal ini bisa dilihat dari hasil Ujian Nasional, tidak jarang sekolah-sekolah di Bawean khususnya di Kecamatan Tambak mendapat peringkat yang baik di tingkat kabupaten. Banyak juga lulusan Bawean yang diterima di sekolah-sekolah SMA favorit  dan Perguruan Tinggi bergengsi di daratan Jawa. Hasil laut yang melimpah rupanya turut menyumbang terhadap lahirnya putra-putri cerdas yang masih perlu digali potensinya lebih jauh lewat proses pendidikan yang baik dan berkualitas. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman tentunya ikut berpengaruh terhadap perkembangan IPTEK yang secara langsung bersinggungan dengan dunia pendidikan. Perkembangan IPTEK dan modernisasi kini merayap tanpa batas bahkan menyentuh area terkecil di nusantara. Pulau Bawean mungkin hanya titik kecil di Nusantara yang berada di tengah laut Jawa walau begitu Bawean tetaplah bagian dari Indonesia Raya, rumah dari sekitar 70ribu manusia. Untuk menjawab tantangan kemajuan zaman yang mulai bisa dirasakan di pulau kecil ini maka dunia pendidikan Pulau Bawean perlu terus berbenah dan mengaktualisasi diri. Anak-anak Bawean perlu perisai pelindung yang kuat untuk menghadapai kemajuan IPTEK yang tidak bisa dipungkiri memiliki sisi positif dan negatif. Anak-anak Bawean butuh pertahanan terbaik untuk melawan arus globalisasi negatif agar budaya dan kearifan lokal bisa terjaga dan tidak pupus. Semua itu bisa diperoleh dengan pendidikan yang mereka dapatkan, baik pendidikan umum maupun keagamaan. Sinergi yang baik antara guru, orangtua dan masyarakat akan turut menyumbang lahirnya generasi Bawean yang sanggup menghadapi tantangan kemajuan zaman.

Menurutnya, anak-anak perlu dididik sesuai zaman dimana mereka tumbuh dan berkembang. Bawean 10 atau 20 tahun yang akan datang tidak akan sama dengan Bawean hari ini. Tenaga pendidik rupanya harus menyadari  betapa dinamisnya dunia pendidikan yang sesuai tuntutan zaman. Kedepan peran dan tanggung jawab pendidik akan semakin berat untuk bisa memenuhi kebutuhan pendidikan di Pulau Bawean, maka dari itu penting membekali diri untuk memberikan pendidikan terbaik bagi generasi Bawean di masa yang akan datang.

Sebagai seorang pendidik, Mbak Ita paham betul bahwa siswa lahir dengan kemampuan yang berbeda, seorang pendidik tidak dapat memaksakan mereka harus memiliki kemampuan yang sama. Ada sebuah note yang pernah ditulis Mbak Ita tentang kemampuan siswa yang berjudul “Mereka Datang Tidak Dengan Nol”

¤MEREKA DATANG TIDAK DENGAN NOL¤

“ Setiap anak adalah unik. Mereka datang ke dalam kelas dengan memiliki bekal yang tidak sama. Mereka pun memiliki cara belajar yang berbeda, memiliki kekuatan dan keterbatasan yang tidak sama pula. Setiap anak memiliki perkembangan yang kemampuannya dipengaruhi dimana ia tinggal, dengan siapa, bagaimana cara hidupnya dan apa saja yang telah diberikan oleh lingkungan mereka. Oleh sebab itu, setiap anak tidak dapat dibandingkan satu sama lain.

Pada saat seorang anak atau siswa datang ke sekolah, mereka datang tidak dengan nol. Mereka memiliki sesuatu yang harus diketahui oleh pengajarnya. Oleh sebab itu, setiap pengajar haruslah memiliki kemampuan untuk memberikan pengajaran dengan strategi yang berbeda, pengorganisasian siswa yang cocok dengan kegiatan yang diberikan. Setiap siswa memiliki bakat, ketertarikan dan kebutuhan yang lain dengan temannya. Seorang siswa dapat saja diharapkan berkembang dengan hasil yang sama namun pada akhirnya mereka akan memperlihatkan proses yang jauh berbeda dengan yang lain karena pada dasarnya mereka adalah individu yang berbeda.”

Setelah kita membaca note-note di atas, kita akan sepakat bahwa sosok Mbak Ita sangat menginspirasi bukan?  Mbak Ita adalah sosok guru honorer yang dedikasi dan profesionalitasnya pantas disandingkan dengan guru-guru teladan. Bagiku pribadi, dia adalah sosok lentera. Ya, lentera. Aku menyebutnya lentera karena dia memiliki prinsip dan pemikiran yang menerangkan. Buah pikir dan tindakannya sangat dalam. Soal Dedikasi, dia tidak diragukan lagi. Seperti lentera yang siap menerangi saat gelap datang, dia hadir untuk menjalankan tanggung jawabnya dan tak segan membantu guru-guru yang lain baik mengenai seperti IT, Pramuka, maupun administrasi sekolah. Bisa dibilang, Mbak Ita adalah tangan kanan Ketua Gugus dalam mengelola gugus. Bahkan, Bapak Marsianto yang merupakan Pengawas UPTD mengacungi jempol atas sepak terjang Mbak Ita. Disaat guru-guru lain meributkan uang tunjangan dan segala hal yang berkaitan dengan materi, Mbak Ita sibuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai pendidik.

Mbak Ita juga pernah mengatakan bahwa “Siswa adalah tunas yang perlu nutrisi tepat untuk mekar “. Jadi, baik atau buruknya karakter siswa sangat dipengaruhi oleh si pendidik itu sendiri. Akan tetapi, dalam mendidik juga perlu dipahami bahwa setiap anak memiliki potensi yang berbeda, jangan sampai seorang pendidik membunuh potensi yang ada itu.

Dari Mbak Ita, aku belajar bahwa jangan sampai pengejaran terhadap materi mengalahkan pengabdian yang seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik. Jangan sampai tugas mulia yang diemban menjadi tergadaikan. Ketulusan dan dedikasi yang tinggi harusnya menjadi modal utama yang dimiliki seorang pendidik. Sudah sepantasnya, kita memiliki semboyan “Meskipun aku manusia biasa, tetapi ketulusan dan dedikasiku tidak dapat diragukan dan tidak dapat dikalahkan oleh apapun. Karena aku meyakini tujuanku adalah keridhoan-Nya dan bukanlah materi dunia.”

Untuk Mbak Ita dan semua guru-guru yang tulus berbagi di negeri pelangi ini, dengan sadar aku angkatkan topi, sebagai tanda hormatku yang tak berperi kepada kalian semua. Terimakasih telah menginspirasi seluruh pertiwi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua