Sahabat Tanpa Batas

Ayendha Pangesti 21 Desember 2017

Hari itu saya pulang ke desa setelah cukup lama di kabupaten. Anak-anak langsung mengelilingi saya saat melihat oleh-oleh di tangan saya. Pelajaran bahasa Indonesia yang biasanya disambut setengah hati, hari itu, berubah menjadi ‘kelas yang ditunggu-tunggu’. Selembar plastik dihamparkan di tengah kelas bertanah merah, anak-anak duduk berdesakan, matanya lekat mengamati apa yang saya keluarkan dari amplop tebal berwarna cokelat itu. Saya buka dengan sebuah pertanyaan, “Anak-anak, siapa teman kalian yang paling jauh?” semuanya bergantian menjawab. Ada yang menceritakan temannya di kelurahan Routa, ada yang di Asera (kabupaten sebelah), ada yang dengan percaya dirinya menceritakan temannya di Malili (provinsi sebelah), dia yang punya teman terjauh dari yang lain.

“Kalau hari ini kalian mendapat dua teman baru yang sangat-sangat jauh dari sini, siapa yang mau?”

“Mau Bu Guru!” teriak seisi kelas.

Lalu masing-masing saya bagi dua amplop, yang satu berwarna putih dengan gambaran crayon di sampulnya dan satu lagi berwarna cokelat panjang. Saya persilakan mereka membuka amplop putihnya masing-masing.

“Coba dilihat, dari mana asal teman barumu itu?”

Yang sedetik kemudian pertanyaan saya itu diabaikan karena semua sudah sibuk membaca suratnya sambil tertawa senang, beberapa anak memamerkan suratnya pada teman yang lain, yang lain tidak mau kalah. Tiga anak yang belum lancar membaca dengan susah payah mengeja kemudian tersenyum saat berhasil membaca setiap kata, “Oh dari Jakarta!”

Satu jam kemudian kami isi dengan membalas surat, tidak seperti biasanya, semua duduk tenang terpaku pada kertas di depannya. Ada yang sibuk menghias amplop dengan warna-warni crayon, ada yang sibuk membuat origami.

Namun euforia hari itu belum selesai. Kembali mereka berkumpul di atas selembar plastik di tengah kelas menanti surat kedua, beramplop cokelat panjang.

“Nah, kalau yang ini, adalah teman-teman kalian dari luar negeri. Ada yang dari Italia, Jepang, Malaysia. Ayo dilihat masing-masing.”

Amplop pun dibuka dengan buru-buru yang diikuti dengan senyum yang merekah, melihat gambar-gambar indah di surat mereka. Ada yang dapat gambar tembok besar Cina, ada yang dapat gambar Sakura, dan lain-lain. Detik berikutnya, kelas ribut karena semua minta diartikan suratnya. Bisa dibilang mereka sama sekali tidak mengerti maksud surat berbahasa Inggris yang mereka terima, namun dengan sabar mereka menanti suratnya dibacakan sambil mendengarkan surat teman-temannya yang lain dibacakan. Berhari-hari berikutnya, kesebelas anak itu sibuk mengartikan kata demi kata ke dalam bahasa Inggris. Sambil sesekali bertanya, “Rafat itu agamanya apa Bu?”, “Mizuho cita-citanya apa Bu?” “Clara itu sukanya apa Bu?” “Mengmeng sudah menikah belum Bu? Sudah punya anak?”

Saya jadi menemukan senjata ampuh untuk membuat mereka datang belajar sore.

“Nanti sore Ibu akan perlihatkan fotonya Nat, temannya Hairul dari Thailand lalu kita belajar bersama bagaimana itu negara Thailand!”

Pada kesempatan lain di mata pelajaran IPS, saya bentangkan peta dan meminta mereka mencari negara sahabat penanya masing-masing, lalu mengukur jaraknya dari pulau mereka, Sulawesi lalu menggambar negaranya. Salah seorang anak yang sahabatnya di Brazil, berkomentar, “sahabat saya jauh sekali Bu, ndak bisa ka’ saya ke sana.”

“Kalau kamu yakin dan mau berusaha, kamu pasti bisa ke sana dan bertemu dengannya,” jawab saya.

Minggu itu ditutup dengan penugasan jurnal: ‘Menceritakan perasaan masing-masing saat mendapat sahabat pena’ yang walaupun disambut dengan protes namun tetap dikerjakan dengan baik.

Semuanya mengalir saja tanpa kami sadari kami telah belajar bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Seni Budaya dan Keterampilan, dan IPS dari aktifitas ini.

Sangat senang rasanya mengetahui teman-teman di luar sana juga mau ikut bereuforia dalam aktifitas sederhana ini, terlebih lagi disambut gembira oleh anak-anak di desa. Satu PR besar saya sekarang; meredam ketidaksabaran mereka untuk mendapat balasan suratnya masing-masing.

“Bu, kapan surat saya dibalas?” tanya mereka setiap hari.

“Segera ya, setelah Ibu ke kabupaten.” Terang saya.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua