Pukul Saja Anak Saya Bu

Ayendha Pangesti 20 Agustus 2017

Apakah saya bisa menjadi guru yang baik?

Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepala saya.

Hari itu belum genap seminggu saya menjadi Bu Guru. Layaknya dalam sebuah hubungan sepasang kekasih, masa-masa sulit adalah saat ini. Masa-masa saling mengenal, mencoba lalu gagal, dan memulai lagi. PDKT namanya.

Apa yang dia suka? apa yang dia benci?

Murid saya tidak banyak memang, 11 anak untuk tiga rombongan belajar (IV, V dan VI) namun setiap mereka memiliki karakter yang berbeda. Bukan hal yang mudah untuk menertibkan kesebelasan dengan sebelas karakter berbeda ini. Kebiasaan mereka yang ringan tangan bahkan untuk sekedar berbicara dengan temannya, bersungut-sungut sambil diam di pojokan sebagai arti ‘Saya tidak mau Bu’ atau mengeluh jika perhatian saya lebih pada yang lain, cukup membuat saya mengucap istighfar berkali-kali.

Siang itu seusai kelas, tiga murid saya sedang berlatih menari untuk perayaan hari anak. Di tengah-tengah latihan salah satu dari mereka tiba-tiba cemberut dan mutung tidak mau latihan, tanpa saya tahu apa sebabnya. Sudah lebih dari lima kali saya bertanya, “kamu kenapa?” namun tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Kedua temannya pun tidak punya ide sama sekali. Saat itu saya mungkin sedang lelah dan lapar sehingga emosi saya naik, “bagaimana mau bisa jika kamu tidak mau latihan?”

Demi mendengar itu, tiba-tiba murid saya ini keluar kelas dan pulang ke rumahnya. Saya biarkan saja dia dan memilih fokus melanjutkan latihan bersama kedua murid saya yang tersisa. Selang beberapa menit salah seorang Ibu mendatangi saya di kelas. Beliau adalah orang tua dari anak yang keluar kelas beberapa menit lalu.

“kenapa anak saya Bu?”

“Maaf Bu tapi saya dan teman-temannya juga tidak tahu kenapa tiba-tiba dia marah.” Jawab saya jujur

“Itulah jadinya Bu kalau anak-anak diajarnya lembek. Sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Pukul saja dia kalau tidak mau menurut. Saya tidak mau memukul dia di rumah, lebih baik dipukul gurunya di sekolah.” Jelasnya membuat saya mematung, terasa sulit mencernanya. Saya pun tidak bisa menjawab apa-apa, hanya senyuman dan anggukan kecil untuk membuat Ibu tersebut pergi meninggalkan sekolah. Kemudian teringat sepenggal curhatan dari salah satu murid saya di buku jurnalnya,

“Jika saya salah, Ibu harus pukul saya, tapi jangan benci saya.”

Teringat juga pesan salah satu rekan guru di sini, “Memukul itu boleh Bu, asal tidak patah, memar dan berbekas.”

Lalu di suatu hari, seorang pemangku kepentingan yang saya segani sosoknya juga ikut menasihati saya secara tidak langsung, “Anak-anak di desa itu tidak sama dengan di kota Bu. Sekarang kalau dilihat pendidikan di sini mengalami kemunduran, anak-anak jadi kurang ajar sama gurunya. Ya tidak lain karena ada aturan tidak boleh memukul anak-anak Bu. Kalau dulu, puuuh melirik gurunya saja tidak berani.”

Pulangnya saya banyak merenungi apa yang baru saja terjadi. Apakah hanya dengan cara itu mereka mau menurut? Apakah benar bahwa pukulan demi pukulan yang mereka terima selama ini tidak mematahkan, membuat memar dan membuat bekas? Saya kurang yakin. Mungkin secara kasat mata iya, namun apakah saat mereka dipukul tidak ada rasa sakit yang memberkas di hatinya? Bukankah memukul juga berarti mematahkan kelembutan yang ada pada diri anak-anak? Atau jangan-jangan pukulan yang mereka terima dan karakter mereka saat ini adalah hubungan sebab akibat? Mereka menjadi suka memukul temannya jika ingin sekedar mengingatkan atau menyampaikan sesuatu karena dipukul dan memukul bagi mereka sudah menjadi sahabat dekat.

Apakah berarti orang yang mendidik dengan lembut tanpa harus berteriak dan memukul disebut guru yang tidak baik? Kalau begitu bagaimana dengan saya? Yang memang sudah berjanji, setidaknya dengan diri saya sendiri bahwa saya tidak akan pernah memukul dan melukai murid-murid saya. Lalu saya harus bagaimana? Sebagai Ibu guru yang selalu butuh tersenyum untuk setidaknya membuat suasana diri sendiri lebih baik. Maka menyuruh saya untuk berteriak dan tidak tersenyum di depan murid-murid saya sama saja dengan membunuh saya pelan-pelan.

Maka saya memilih untuk lebih menyayangi mereka. Membuat mereka menyayangi saya tanpa harus takut saya teriaki atau saya pukul. Memberikan mereka teladan yang baik dari apa adanya saya. Mengenalkan mereka soal konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung alih-alih membiasakan mereka dengan berbagai bentuk hukuman. Pelan-pelan dan tetap sabar. Seperti seseorang yang jatuh cinta, terus mencari cara terbaik untuk berbahagia bersama.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua