info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Budaya Kerok

Ade Putri Verlita Maharani 27 Agustus 2017

Di daerah kota, mungkin sebagian besar orang sudah meninggalkan kebiasaan ber-kerok ketika sakit. Lain halnya dengan di desa, khususnya di daerah Musi Rawas, tepatnya di Desa Kembang Tanjung. Obat yang dianggap paling ampuh sejauh ini adalah kerok. Apapun jenis penyakitnya, pasti obatnya adalah kerok. Alasannya karena di desa tidak ada pihak kesehatan yang standby sehingga susah mendapat obat dalam waktu cepat, dan juga masih sangat jarang warung yang berjualan obat. Sehingga pertolongan pertama yang dianggap paling ‘pas’ adalah kerok.

Saya sempat demam selama 4 hari, setelah perayaan Agustus. Mungkin karena euforia persiapan HUT RI ke-72 yang luar biasa. Di hari kedua, saya memutuskan berobat ke dokter terdekat di kecamatan sebelah, jaraknya sekitar 1 jam dari desa. Kebetulan waktu itu hari Minggu, sehingga harapannya setelah mendapat obat bisa segera diminum, berharap sembuh, dan bisa tetap mengajar keesokan harinya. Kata dokter, saya terserang radang tenggorokan (sudah biasa pikir saya). Sesampainya di rumah, segera saya makan siang, minum obat, dan guling (re: tidur di atas kasur). Malam harinya, Ayuk (sebutan untuk kakak perempuan) menawarkan diri untuk me-ngerok saya, tapi saya masih enggan. Singkat cerita, di hari keempat, panas tubuh saya masih tidak stabil, naik turun, dan kadang berkeringat dingin. Selama jangka waktu itu pula, Saya masih mengupayakan diri untuk tetap mengajar kurikuler dan ekstrakurikuler seperti biasa, tentu saja dengan alasan kasihan dengan anak-anak jika tidak ada guru.

Melihat hal tersebut, Emak (sebutan orang tua piara perempuan saya) tidak tinggal diam. Dia menawari kerok, lebih ke arah mendesak. Saya pasrah, karena pikir Saya, tidak ada salahnya mengikuti budaya yang ada di daerah setempat. Tho upaya medis juga sudah dilakukan. Selama proses kerok ini lah, Saya merasa hubungan magis antara ibu dan anak itu sangat-sangat universal. Saya dilahirkan dari sebuah rahim Ibu yang tinggal di Jawa, berjarak sekian mil dengan Saya. Tapi pengganti ibu di rantau pun bisa menularkan kasih sayang yang sama.

Ketika selama proses kerok ini berlangsung, Emak lah yang lebih banyak berbicara. “Kamu sudah Emak anggep anak sendiri, ngomong aja kalau sakit nggak papa”, “Kamu itu kecapean ke sana kemari banyak kegiatan, ditambah belum cocok makanan sini, yang selalu pakai cabe rawit”, “Sebenarnya Emak udah lama pengen ngerok kamu, tapi kamu-nya enggan”, “Besok istirahat lah dulu, tidak usah sekolah, kalau ada yang marah bilang sama Emak”, “Emak sayang banget sama kamu, pengennya kamu jadi anak Emak”. Pada saat itu lah, pecah tangis saya. Pertama karena dikerok dengan kaleng sarden dan minyak sayur itu ternyata sakit, dan yang kedua pengakuan tulus dari mulut Emak yang tidak pernah Saya sangka sebelumnya bisa keluar begitu lancar dan tulus di sebuah momen ber-kerok. Barangkali sejak saat itu lah saya jatuh cinta dengan budaya kerok, bukan karena aktifitas gesekan lempeng sarden dan kulit, tapi pada momen magis kedekatan ibu dan anak yang tidak akan terbeli, bahkan di Rumah Sakit paling bonafit sekalipun.

Sejauh ini, mungkin Saya belum berkesempatan menjadi ibu. Tapi sepertinya Saya sudah mampu mengempatikan bagaimana rasanya menjadi ibu semenjak menjadi Pengajar Muda. Dimana di setiap ada kesempatan ke luar rumah, selalu ada anak yang memanggil “Ibu”, kadang-kadang dengan senyum malu, dan seringkali dengan mata berbinar. Membuat saya sempat merinding dan terus berharap bisa menjadi guru terbaik bagi anak-anak di ujung selatan Musi Rawas ini selama masa penugasan. Harapan yang sama yang pernah saya tuliskan di selembar kertas HVS dengan penerangan api unggun seadanya di tengah hutan, Gunung Burangrang, Jawa Barat, di malam pengukuhan menjadi Pengajar Muda, sekitar 3 bulan yang lalu.  


Cerita Lainnya

Lihat Semua