Cindelaras di Hari Anak

Ayendha Pangesti 20 Agustus 2017

“Menarilah dan terus tertawa walau dunia tak seindah surga...”

Potongan lagu itu ibarat menjadi original soundtrack kisah cinta saya dengan mereka

.

Minggu itu minggu pertama saya mengajar secara resmi sebagai guru di satu-satunya SD di sebuah desa yang tak terjamah modernisasi, Walandawe namanya. Murid saya ada sebelas, terdiri dari 5 anak di kelas IV, 1 anak di kelas  V dan 5 anak di kelas VI. Semuanya dalam satu kelas, dengan satu papan tulis dan satu guru, yaitu saya.

Ceritanya pada saat itu saya sedang semangat-semangatnya, atau mungkin sedang keras kepala, ingin membuat ‘sesuatu’ di hari anak yang akan segera datang. Alasannya klise, anak-anak di desa saya pun berhak merayakan, seperti halnya anak-anak lain yang hidup di kota dan lebih beruntung dari mereka. Saya merasa tidak terima. Jika tahun lalu saya ikut merayakan hari anak di Jakarta, tahun ini pun saya harus ikut merayakan, tentunya bersama murid-murid saya di desa, beribu mil jauhnya dari Jakarta.

Bagi mereka, murid-murid saya, ‘hari anak’ adalah asing, baru pertama mendengar ada hari perayaan lain selain 17 Agustus dan lebaran. Saya hanya sekilas menyampaikan, “hari anak adalah harinya kalian. Dirayakan setiap tahunnya di kota-kota besar pada tanggal 23 Juli. Pak Presiden juga merayakannya.” Lalu saya mulai berbagi ambisi saya kepada mereka: kita buat acara, persiapkan penampilan luar biasa, dan undang orang tua kalian untuk melihat!

Bukan main reaksi mereka, bukan main menolaknya. Ambisi saya ditolak mentah-mentah. Bagi mereka, menampilkan sesuatu di depan orang tua mereka adalah sesulit memasukkan unta ke dalam lubang jarum. Hanya dua anak yang menyambut gembira. Dan cukup dengan dua anak itu saya bertahan untuk tetap berambisi. Lalu saya bebaskan mereka untuk memilih apapun yang ingin mereka tampilkan dengan pilihan: menari, menyanyi, membaca puisi dan drama. Seperti yang diduga, semuanya memilih menyanyi. “Menyanyikan lagu Indonesia Raya saja Bu, yang sudah kami hafal” katanya.

Saya mulai menceritakan bagaimana perayaan hari anak yang pernah saya ikuti, dan bagaimana serunya bisa menari, membaca puisi dan juga memainkan drama di depan orang banyak. Dua anak saya tunjuk membaca puisi, dua anak saya tunjuk menyanyi, tiga anak saya tunjuk menari dan satu anak saya tunjuk membuat naskah drama. Yang ditunjuk ada yang marah, menangis dan meninggalkan kelas begitu saja, ngambek. Tanggal 23 Juli masih lima hari lagi, saya masih punya waktu meyakinkan mereka.

Besoknya saat istirahat, tidak sengaja saya membahas mengenai naruto dan ternyata itu disambut baik oleh murid-murid saya yang sangat menggemari kartun dari Jepang itu. Rikal bilang Dewa seperti Sasuke dan Bu guru nya ini seperti Sakura. Saya lalu nyeletuk, “Nah, cerita Naruto juga bisa dijadikan cerita drama lho. Tinggal dibuat alur ceritanya dan tentukan siapa jadi siapa.” Mata dua anak saya itu; Dewa dan Rikal langsung berbinar. Hari itu jam 2, kami bertiga janjian untuk membuat naskah drama.

Nah, jadi apa hubungan Cindelaras dan Naruto? Ceritanya siang itu di rumah Dewa, orang tuanya ikut menemani saya berfikir mengenai naskah drama apa yang cocok diperankan oleh anak-anak. Mereka lalu menceritakan sebuah cerita rakyat berjudul Cindelaras pada saya dan Dewa. Tanpa berfikir dua kali, alih-alih memerankan Naruto, Cindelaras akan jauh lebih baik. Lalu saya pun meminta Dewa, anak saya yang sangat pendiam dan pemalu itu menjadi pembuat sekaligus pembaca naskah. Dia lalu mengangguk, tanda setuju. Dan saya sumringah sekali sore itu membayangkan serunya drama kami nanti.

Besoknya di kelas.

Selesai belajar, saya memutarkan lagu ‘Laskar Pelangi’ dan tidak disangka sangat mereka sukai. Jadilah saya memilih lagu itu untuk penampilan menyanyi mereka di perayaan hari anak nanti. Tidak lagi satu atau dua orang saja, tapi biarlah satu kelas menyanyi. Satu masalah terselesaikan, tinggal berfikir bagaimana meyakinkan mereka untuk mau bermain drama dan juga menari. Kelas yang tadinya kondusif berubah jadi kacau saat saya menunjuk peran untuk naskah drama yang sudah dibuat oleh Dewa. Bukan main susahnya meyakinkan mereka untuk sekedar ‘mencoba dulu’. Hairul yang ditunjuk menjadi sang raja, ngambek dan menangis. Hermi yang ditunjuk menjadi permaisuri tidak henti-hentinya menggeleng dan merajuk. Ketiga tiganya perempuan di kelas: Hermi, Risda dan Indah yang saya tunjuk untuk menari pun mati-matian menolak. Mengancam untuk tidak datang pada saat tampil. Yang lain ikut putus asa, membuat saya menghembuskan nafas berat, apakah memang sesusah ini menjadi guru? 

Besoknya Jumat, hari kelima saya mengajar.

Tidak ada kemajuan dalam persiapan menyambut hari anak. Padahal hanya tersisa Sabtu dan Minggu. Kesebelasan di kelas  masih ‘bermusuhan’ dengan saya, sebagian sudah antusias namun lebih banyak yang tidak. Untuk membangun suasana, saya mengajak mereka bernyanyi bersama. Gagal, sebagian mereka masih tetap cemberut dan mogok berbicara. Perkataan saya dianggap angin lalu dan antusiasme saya seketika menguap saat itu juga. Mungkin saya yang terlalu egois memaksakan semua ini pada mereka yang bahkan belum seminggu memulai kelas baru. Saya menyerah, dengan hati hancur saya katakan pada mereka, “Baiklah jika begitu. Kita batalkan perayaan hari anaknya ya. Lupakan saja tentang latihan menyanyi, drama, puisi dan menarinya. Sekarang buka buku agama, kita belajar tentang bacaan shalat.”

Tangan saya sibuk menuliskan materi di papan tulis. Mata saya panas menahan air mata yang mendesak ingin keluar, tidak lucu jika saya menangis di depan anak-anak. Entah kenapa saya sangat sedih. Tidak di sangka, semuanya diam beberapa saat, sampai salah satu anak saya, Rikal, setengah berteriak berkata kepada yang lain, “Kalian ini susah sekali diatur Bu Guru, perayaan hari anak ini kan bukan untuk bu Guru tapi untuk kita semua.” Lalu bergantian berkata pada gurunya ini, “Biar yang lain tidak mau, saya mau Bu. Saya mau jadi Cindelaras.”

“Saya saja Bu yang jadi raja kalau Hairul tidak mau, biar dia jadi patihnya karena kalimatnya lebih sedikit.” Kata satu-satunya anak kelas V, Arlan namanya.

Saya berbalik dan berkata, “Ibu hanya mau bertanya sekali lagi ya, kita adakan perayaan hari anak atau tidak?” semua kompak menjawab, “Iya Bu!”

Saat itu saya menyadari satu hal, alih-alih marah atau memukul dengan rotan, anak-anak saya ini memilih berkomunikasi dengan hati, dengan diamnya Ibu gurunya yang menuntut mereka berefleksi.

Anak-anak lebih bisa mendengarkan saya setelah kejadian itu, walau tetap saja peran permaisuri tidak ada yang mau. Saya mengalah dengan ikut bermain drama bersama mereka, memainkan peran permaisuri. Dengan saya di dalamnya, membaca dialog dengan sungguh-sungguh dan memainkan peran sebaik-baiknya, membuat anak-anak semangat dan memberikan yang mereka bisa untuk menyukseskan drama ini. Senyum mereka selalu hadir saat melihat saya memasuki arena drama dan mulai memainkan peran. Itu cara saya memberikan contoh dan kepercayaan pada mereka bahwa ‘mari selesaikan ini bersama-sama!’ akan lebih menyenangkan dari pada ‘kalian selesaikan ini!’

Mata pelajaran Seni Budaya dan Kesenian (SBK) pada hari Sabtu pun kami isi untuk membuat properti seadanya. Saya bebaskan setiap anak berkreasi. Apakah kelasnya tertib? Tentu tidak, semuanya berlari-larian, berebut lem dan kertas. Tapi biar saja, toh pada akhir kelas semua puas dengan hasil karya masing-masing.

.

Hari Minggu, 24 Juli 2017 pun tiba. Sehari sebelumnya saya sibuk menyebarkan berita gembira itu, “Besok akan ada perayaan hari anak di balai desa. Akan ada penampilan dari anak-anak. Datang ya Pak Bu.” Dibuka dengan upacara bendera yang dihadiri kepala sekolah, acara dilanjutkan di balai dengan perlengkapan seadanya. Beberapa orang tua khususnya Ibu-Ibu sudah banyak terlihat di gerbang sekolah, menunggu acara ini. Para bapak-bapak menyempatkan hadir sebentar, menyoraki anaknya agar serius saat tampil, lalu kembali berkebun. Dan apakah acaranya sukses? Jika indikatornya adalah anak-anak tampil memukau dan banyak orang tua yang hadir, maka bisa dibilang acaranya tidak sukses. Karena anak-anak menyanyi dengan suara yang tidak lengkap satu oktaf, lupa lirik, dan tidak kompak. Karena anak-anak menari sambil tertawa-tawa, lupa gerakan, dan kesana kemari tidak selaras. Karena anak-anak membaca puisi dengan datar, tanpa ekspresi. Karena anak-anak bermain drama dengan gugup dan lupa naskah. Karena Ibu-Ibu yang hadir juga tidak banyak. Namun indikator sukses saya berbeda, cukup dengan memberikan anak-anak kesempatan untuk mencoba hal baru, tampil di depan orang tuanya sendiri, dan memiliki kenangan indah di hari anak tahun ini, lalu bagi orang tua bisa melihat anaknya berani tampil di depan orang banyak dengan bakat-bakat baru, lalu bagi guru lain melihat bahwa mengajar tidak melulu soal menuliskan materi di papan tulis, bagi saya acara ini sukses.

“Bu Guru, acara tadi bagus.” Tiba-tiba salah seorang murid dari kelas II menghampiri saya, saat perjalanan kembali ke sekolah. Ungkapan tulus yang mengingatkan saya bahwa kebahagiaan itu bisa lahir dari sesuatu yang sederhana, sesederhana pagi ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua