Menadah Kebaikan Ombak dan Daun Rumbia

Asa Adetya Pamungkas 6 Maret 2025

Suara klakson kapal berbunyi, tanda kapal akan segera berangkat. Getarannya kuat seolah aku bisa melihat gelombang bunyinya memenuhi udara dan menggetarkan tiap-tiap pasang gendang telinga yang memenuhi pelabuhan.

Aku berdiri di anjungan kapal, melihat beberapa orang dengan bergegas dan seringkali diselingi berteriak berusaha memindahkan barang secepatnya ke atas kapal. Mereka melemparkannya seolah tak takut barang itu jatuh dan siap ditelan oleh laut biru dan dikerumuni ikan-ikan, karena boleh jadi para ikan menganggap itu adalah bingkisan besar edisi menjelang Ramadhan. Di ujung dermaga pelabuhan, tiga orang perempuan berlarian menuju kapal. Teriakan orang-orang lain memaksa kaki mereka berlari dengan lebih cepat. Di anjungan, orang menunggu giliran masuk ke dalam kapal, mencari kasur untuk tempat beristirahat yang sedikit mustahil masih tersisa. Orang-orang melambaikan tangan, termasuk Mama, juga Ana dan Zakir, adik piaraku. Telapak tangan mereka melambai menabrak udara yang bercampur uap garam laut. Aku membalas sambil tersenyum lebar.

“Bukan sebuah perpisahan yang lama, hanya dua hari saja”, batinku.

--

Mesin kapal mulai menderu. Ombak menabrak badan kapal yang terbuat dari besi. Bersama angin, ia membawa kapal terombang-ambing di tengah lautan. Di sudut-sudut mata, aku bisa melihat orang-orang sedang berbincang. Sekadar topik ringan, tetapi cukup ampuh untuk membunuh rasa mual akibat goyangan gelombang ombak.

Teor, sebuah pulau kecil di ujung kabupaten Seram Bagian Timur dan bahkan di Provinsi Maluku. Kesana lah aku menuju. Perjalanan ini tidak lama, hanya berkisar dua jam. Tentu dua jam bukanlah waktu yang lama mengingat aku sudah berkali-kali menggunakan kapal ke pusat kabupaten dengan durasi satu hari. Namun, meskipun begitu aku belum juga terbiasa. Kalau musim ombak begini, rasanya perutku seperti diserang tentara angin dari dalam. Goncangan yang berasal dari hantaman ombak kepada bodi kapal membuat kapal terhuyung ke kanan dan kiri seolah sang ombak adalah monster yang mencoba dengan sekuat tenaga menelan kapal dan memasukannya ke dalam perut bumi. Ah tetapi, terpujilah Archimedes yang telah menciptakan teori fisikanya, sehingga para insinyur bisa menghitung luas permukaan kapal dan segala tetek bengeknya dengan akurat dan membuat kapal ini tetap melaju dengan gagah.

Suara awak kapal membuat beberapa orang seketika menghentikan obrolan. Pengumuman tentang ketibaan, begitulah kiranya inti dari informasi yang disampaikan. Aku bilang juga apa, dua jam bukanlah waktu yang lama. Akhirnya, aku telah sampai di ujung Negeri Para Raja—Teor.

--

Temaram menjadi nuansa yang dominan kala itu. Aku berjalan mengikuti Pak Asrun, guru yang menjadi tour guide-ku selama perjalanan di Teor. Pak Asrun adalah guru wali kelas 6 di SD penempatanku, SD Negeri 11 Wakate. Aku mengikuti beliau sampai ke pantai untuk menaiki kapal speed. Ah iya, aku hampir saja lupa mengusapkan pasir ke dahiku. Di sini, tiap orang yang baru menginjakkan kakinya di suatu pulau untuk pertama kali wajib mengusapkan dahinya dengan pasir pantai. Jangan tanya padaku apa filosofinya. Yang jelas, bagiku ini adalah satu ragam budaya yang unik dan aku yakin bernilai luhur.

Sebuah kapal speed membawa kami menuju ke Desa Kilwou. Ini adalah perjalanan malam pertamaku menaiki speed. Di saat sedang angin kencang begini, speed melaju dengan lebih menegangkan. Untukku yang tidak pandai berenang ini, yang bisa ku lakukan hanyalah berpegangan pada sebuah kayu yang membatasi bagian-bagian speed. Saat kebetulan ombak sedang berada di atas dan speed melaju, maka rasanya seperti sedang naik motor di atas jalan beraspal dengan lintasan naik turun. Yang membedakan adalah aku tidak pernah tahu apa yang terjadi padaku jika ternyata ombak itu melahap bodi kapal. Ah, tidak. Aku tidak boleh berpikir begitu.

Di samping kananku, Pulau Teor membentang. Hutannya luas dihiasi dengan tebing landai yang diciptakan Tuhan dari batuan kapur. Tak lupa nyiur kelapa melambai hampir di semua tepi pantai. Di saat speed melewati sebuah tebing yang mencuat ke arah laut melebihi bagian pulau lainnya, semua penumpang diam. Pak Asrun memberikanku isyarat untuk melepaskan kacamataku. Sekali lagi, jangan tanyakan padaku apa filosofinya. Tapi kali ini biar coba ku tebak, sepertinya itu adalah salah satu bentuk penghormatan kapada para leluhur.

Akhirnya, setelah mode siap siagaku menyala sekitar 30 menit, speed pun sampai di Desa Kilwou. Ini adalah pemberhentian pertamaku. Aku tetap mengikuti Pak Asrun selaku tour guide berjalan memasuki kampung. Beberapa orang yang ku temui di jalan menyapaku dengan senyum tanya, agaknya dalam hati mereka muncul pertanyaan siapa lah manusia asing dengan rompi hijau ini.

Langkah ku pun berhenti di sebuah rumah sederhana. Dindingnya masih berselimutkan adonan semen dan pasir yang kasar. Atapnya terbuat dari daun rumbia atau daun sagu. Pintunya berwarna hijau dan memiliki dua daun. Aku memasuki rumah seraya mengucapkan salam. Pak Asrun mempersilakanku masuk ke ruang dapur yang sekaligus bergabung dengan ruang makan di belakang, tempat penghuni rumah lebih sering bercengkerama.

Di sana, aku bertemu dengan seorang perempuan dan laki-laki paruh baya. Kisaran usianya ku kira sekitar 60-70 tahun. Mereka tersenyum lebar dan mempersilakanku untuk duduk di sebuah para-para (bangku) yang terbuat dari bambu. Warnanya cokelat pekat mengkilap, seolah debu pun sungkan untuk singgah. Aku berani tebak bahwa para penghuni rumah adalah orang-orang yang menjaga kebersihan dengan baik.

Kala itu, Mama, sapaan yang biasa diberikan kepada semua perempuan dewasa, nampak sibuk dengan benda putih berbentuk persegi panjang yang ada di depannya. Setelah aku perhatikan, rupanya itu adalah sagu kasbi, makanan khas Maluku yang terbuat dari parutan singkong dan dicetak lalu dibakar. Penamaan sagu bukan berarti bahwa ia terbuat dari sagu, tetapi merujuk kepada fungsinya sebagai makanan pokok seperti nasi.

Aku duduk sambil menyandarkan punggungku yang sedikit lelah ke tembok. Tentu saja sebagai manusia asing yang baru saja menginjakkan kaki, aku harus memperkenalkan diri. Lewat perkenalan itu, muncul diskusi-diskusi hangat. Bapak, yang pada saat itu lebih sering mengajakku berbincang karena Mama sedang memasak, menanyakan tentang kondisi di kampung halamanku. Bapak pun sedikit banyak membagikan pengalamannya tentang suka-duka hidup di sebuah daerah 3T. Dari mulai akses yang sulit, listrik yang hanya menyala 6 jam, dan tentu saja, tentang kondisi pendidikan di daerah tersebut. Sambil sedikit menghela nafas panjang tanda keluhnya yang sudah berumur sama dengan dirinya, beliau menceritakan tentang kondisi sekolah, guru, dan anak-anak yang ada di sana.

Beberapa saat kemudian muncul lah beberapa laki-laki berumur dan ikut bergabung dengan perbincangan kami. Rupanya, mereka datang untuk melihatku dan sedikit memberi sambutan. Dari yang awalnya hanya kami berempat, sampai akhirnya ada delapan orang yang menyambutku.

Sejujurnya, aku sangat kagum dengan semua orang yang aku temui selama beberapa bulan terakhir. Mereka yang selalu melimpahkan sejuta sambutnya lewat senyum yang menenangkan, tanpa prasangka kepada orang asing yang baru saja ditemuinya. Bahkan, mereka tak segan menjamu dengan hidangan yang sederhana tetapi kaya akan kasih sayang. Mereka tidak pernah memperhitungkan apakah aku akan mengembalikannya atau tidak. Yang mereka lakukan hanyalah selalu mengusahakan yang terbaik untuk semua orang.

--

Daun rumbia bergesekan dengan angin yang semakin kencang. Angin barat, begitulah orang-orang menyebutnya. Lokasi rumah yang berada beberapa meter saja dari pantai membuat terpaan angin sangat terasa kuat. Aku perlu berterima kasih kepada daun rumbia karena ia telah memberi kehangatan dan melindungi para manusia dari panas, angin, bahkan hujan. Darinya, kehangatan dan kesejukan yang muncul dalam satu waktu dari canda, tawa, dan segala bentuk kebahagiaan lainnya bercampur menjadi nuansa indah dan sederhana yang tidak akan pernah aku temui di hiruk pikuknya kota. Hidup berpayung alam rupanya begitu menenangkan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua