Lilin Tua dan Cahaya Setengah Abad
Asa Adetya Pamungkas 3 Maret 2025Kalau bicara tentang kampanye #CeritaBaik, aku rasa semua cerita baik dalam perjalanan beberapa bulanku belakangan akan terangkum dalam satu nama; Pak Abdullah.
--
Halo semua, namaku Asa (Pengajar Muda Angkatan XXVII Kab. Seram Bagian Timur, Maluku). Ini adalah cerita pertama yang ku putuskan untuk ku unggah ke laman resmi Indonesia Mengajar dan cerita pertamaku akan aku dedikasikan untuk nama yang sudah ku sebut di atas; Pak Abdullah.
Aku bertemu dengan Pak Abdullah saat kunjungan silaturahmi yang ku lakukan ke sekolah-sekolah di Kecamatan Kesui Watubela. Lokasi pertama yang aku kunjungi adalah Desa Kurwar. Niat hati hanya ingin silaturahmi dan menjalin komunikasi dengan guru-guru sebelum pelaksanaan salah satu program, rupanya aku justru banyak sekali mengambil pembelajaran.
--
Perjalanan pertamaku melakukan silaturahmi ku putuskan untuk mengunjungi SMP Persiapan Kurwara Raya. Pada saat itu, jam di tanganku menunjukkan pukul 09.27 WIT. Ada beberapa siswa di luar yang sedang belajar dan ditemani oleh seorang bapak guru. Aku datangi beliau dan dipersilakannya aku masuk ke ruang guru.
Kala itu, ruang guru nampak lengang, tidak ada guru lain di sana. Hanya ada suara obrolan anak-anak yang berada pada ruangan sebelah yang hanya disekat menggunakan papan triplek. Rupanya, baru ada dua guru lainnya yang datang dan semuanya berada di dalam kelas. Aku pun berbincang-bincang dengan bapak guru. Seperti kebanyakan bincang pertama, topik pembahasannya seputar diri. Namun, aku juga selipkan pertanyaan-pertanyaan tentang sekolah.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki paruh baya datang. Kalau ku perkirakan, usianya sekitar 60 tahun. Di kepalanya, ada topi hitam yang warnanya sudah nampak pudar karena terlalu sering terkena paparan sinar matahari. Di pundaknya, terdapat ransel berwarna hitam yang tak kalah pudar. Pakaiannya berwarna kelabu, tetapi tidak dengan rona wajahnya. Beliau tersenyum lebar melihatku duduk di salah satu kursi di ruang guru. “Beta baru sampai”, katanya masih sambil tersenyum.
Aku mempersilakan beliau duduk seolah aku adalah tuan rumah. Baru ku ketahui setelahnya bahwa beliau adalah seorang guru. Pak Abdullah namanya.
“Jadi, Bapak baru sampai ini ya pak?” tanyaku.
“Iya, beta jalan kaki dari Guliar sampai kesini. Jadi baru sampai” jawabnya dengan simpul senyum yang masih menghiasi wajahnya.
Perjalanan Panjang untuk Sampai di Sekolah
Seketika saat Pak Abdullah berkata bahwa beliau berjalan kaki, mataku pun langsung terbelalak. Jarak antara Desa Guliar dan Desa Kurwar cukup jauh, apalagi jika ditempuh dengan berjalan kaki. Medan yang ditempuh pun bukan jalan beraspal yang datar, tetapi setapak sempit di perbukitan. Namun, setiap harinya Pak Abdullah melakukan hal yang sama—berjalan kaki selama kurang lebih 1,5 jam untuk sampai di sekolah.
Pak Abdullah atau yang biasa dipanggil “Teti Guru” (kakek guru) awalnya merupakan seorang guru di Desa Guliar. Pada tahun 2010, beliau memutuskan untuk pindah menjadi guru di Desa Kurwar. Meskipun lokasi kerjanya berpindah, tetapi beliau tetap bertempat tinggal di Desa Guliar yang berarti setiap hari beliau harus bolak-balik melewati jalanan bukit yang terjal dan sempit.
Kalau Dewi Fortuna ada pada harinya, maka akan ada orang yang kebetulan lewat dengan motor dan memberikannya tumpangan . Jika tidak ada, maka beliau harus tetap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Namun katanya, selama kakinya masih bisa untuk melangkah maka beliau akan tetap pergi ke sekolah.
Melewati Berbagai Generasi
Mengingat usianya yang sudah paruh baya, aku berani bertaruh bahwa perjalanannya menjadi seorang guru sudah begitu lama. Betul saja. Terangnya, beliau sudah menjadi guru selama 44 tahun.
Mungkin 44 tahun bukanlah waktu yang lama bagi seorang Pak Abdullah yang sungguh mencintai pekerjaannya. Namun, waktu 44 tahun sangatlah lama bagi beberapa orang yang melihatnya lewat teropong sistem pendidikan yang ideal dan memanusiakan. Mengapa? Karena selama 44 tahun dan sampai detik ini, Pak Abdullah masih berstatus sebagai guru honorer.
Guru honorer, status yang belakangan menjadi momok bagi para muda untuk bersedia mengabdikan diri sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ rupanya tidak menjadi hal yang demikian dirasakan oleh Pak Abdullah. Beliau tetap mencintai pekerjaannya dan segala hal yang ada di dalamnya.
Selama 44 tahun, beliau sudah menuntun ratusan bahkan ribuan anak untuk mencapai masa depan yang mereka inginkan. Tuturnya, sudah banyak anak didiknya yang menjadi pejabat di dinas dan kementerian, guru, bahkan kepala sekolah tempat beliau bekerja juga merupakan anak didiknya.
Beliau mengatakan bahwa perasaannya begitu bangga, jika melihat anak didiknya menjadi orang yang sukses dan bermanfaat. Bahkan, beliau tidak mempermasalahkan status beliau yang masih menjadi guru honorer dengan gaji yang bahkan tidak mencapai standar upah minimum, sementara anak didiknya yang telah menjadi pejabat-pejabat di dinas dan bahkan menjadi atasannya.
Merintis Pendidikan di Desa
Bak di sebuah film, kisah awal perjalanan Pak Abdullah berkecimpung di dunia pendidikan rupanya sangat mengharukan. Tiap detil cerita yang beliau tuturkan seketika membuat bulu kuduk merinding. Bukan karena takut, tetapi karena hati bergetar melihat betapa hebatnya sosok yang berada di hadapanku saat itu.
Beliau menjelaskan bahwa sebelumnya gedung sekolah belum ada dan anak-anak harus berjalan kaki ke desa sebelah untuk belajar. Dengan kepeduliannya terhadap pendidikan, beliau pun membuka ‘sekolah’ di rumahnya. Dengan sarana yang seadanya, beliau mencoba tetap menemani anak-anak belajar. Dari jumlah awal anak didik yang hanya 17 orang, semakin hari semakin bertambah bahkan mencapai 31 orang.
Satu hal yang tak kalah menarik adalah beliau tetap membangun suasana sekolah di rumahnya agar semangat anak-anak tetap terjaga dengan mengadakan upacara di halaman rumahnya. Tiang bendera yang beliau gunakan terbuat dari satu batang bambu yang beliau ambil dari hutan. Setiap hari Senin, anak-anak melakukan upacara bendera selayaknya mereka berada di sekolah formal.
Setelah beberapa lama bertahan dengan sekolah rumah miliknya, beliau memutuskan untuk membangun dua petak ruang belajar. Dengan mengajukan bantuan dari warga, Pak Abdullah akhirnya memiliki bangunan sekolah tempat beliau bisa menemani permata-permata kecil untuk belajar memahami dunia. Dua petak ruangan yang terbuat dari papan triplek. Tidak terlalu besar tetapi cukup hangat dan menyenangkan untuk disebut sebagai sekolah.
Merajut Benang-benang Kehidupan dari Teti Guru
Walaupun kini bangunan sekolah permanen sudah ada, Pak Abdullah tetaplah menjadi dirinya. Seorang guru yang telah lama mencicipi asam garam kehidupan dan merasakan langsung kompleksitas kondisi pendidikan di daerah 3T. Bukan suatu hal yang mudah kiranya jika aku ada di posisi beliau. Menjadi sabar dan penuh dengan keikhlasan tanpa mempertimbangkan apa yang akan beliau dapatkan.
Pak Abdullah adalah salah satu sosok yang pantas diberi predikat ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Beliau adalah lilin yang sudah hampir setengah abad menerangi. Perjalanan beliau selama 44 tahun menjadi guru honorer dengan penghargaan yang jauh dari kata adil tidak menjadikan beliau berhenti. Kehidupan, baginya, lebih dari sekadar nominal rupiah yang besar, tetapi tentang bagaimana tiap-tiap yang dilakukan harus bermuara pada satu hal: kebaikan.
Dari Pak Abdullah, aku sungguh belajar banyak tentang menjadi manusia. Kehidupan yang hanya sekali menjadi diri kita ini perlu kita maknai dengan kebaikan-kebaikan. Kiranya, belajar untuk menjadi ikhlas seperti Pak Abdullah memang sulit, tetapi bukanlah tidak mungkin—menjadi ikhlas dalam setiap laku kebaikan yang dilakukan, tanpa mengharap imbalan dari orang lain atau bahkan dari Tuhan itu sendiri.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda