Cerita Sore

ArvidaRizzqie Hanita 11 April 2016

Sore ini, saya kebagian untuk mengajar bimbel Bahasa Indonesia di kelas VI. Maklum saja, mereka akan melaksanakan Ujian Nasional sebentar lagi di bulan ke 5. Saya janjian dengan anak-anak akan masuk pukul 2 siang, supaya mereka yang rumahnya jauh bisa pulang lebih awal. Rencana saya, setelah selesai mengajar les saya dapat membantu guru yang lain untuk mengajarkan ekskul musik juga. Namun rupanya, ekskul musik pun menjadi tersendat karena banyak anak yang rumahnya jauh justru ingin pulang juga.

  Maklum, mereka yang tinggal di tanah Malaysia selalu bersama-sama jalan kaki menuju rumahnya. Langkah mereka hampir tidak mau terpisahkan dengan langkah-langkah yang lain. Akhirnya, guru ekskul (sebut saja pak Don) pun memberikan ijin ke mereka untuk pulang terlebih dahulu. Sembari menikmati duduk dipojokan sekolah, saya masih mengalunkan recorder saya dengan nada tak jelas musik apa. Masih ada beberapa anak yang bermain tenis, batu serimban, bermain pianika, dan sepak takraw.   Melihat mereka, saya seperti mengingat masa kecil saya. Guru-guru saya dulu tidak pernah sedekat ini dengan siswanya. Mereka hanya pergi mengajar, lalu pulang kembali. Tidak semua guru, hanya beberapa saja yang seperti itu. Saya hanya berfikir "Semoga, meskipun saya menjadi pengajar saya pun ingin turut ikut merasakan apa yang sedang mereka rasakan". Itulah kalimat yang sampai sekarang selalu saya pegang.   Tetiba dua orang anak, Johan dan Iron namanya, mereka mendatangi saya.   "Ibu, galau kah, Bu? Kenapa duduk diam-diam saja?" Tanya si Iron "Ah, siapa juga yang galau? Mana ada saya galau? Saya hanya sedang memikirkan akan membuat permainan apa buat kelas kamu besok pagi!" Jawab saya. "Oh iya, Ibu kan masuk di kelas kami besok. Bahasa Inggris kan Bu?" Katanya lagi dengan wajah antara senang dan susah.   Saya hanya senyum sembari menganggukkannya. Kata Iron, anak-anak di kelasnya tidak pandai bahasa Inggris. Menurut mereka, bahasa Inggris sangat sulit untuk dipahami dan dipelajari. Iron adalah siswa kelas V di sekolah saya. Menurutnya lagi, bahasa Indonesia aja susah, apalagi bahasa Inggris. Nah lho!   "Lho? Bukannya Ibu ngajar di kelas kami kah?" Sahut Johan. "Mana ada besok saya ngajar di kelas IV?" Tanya saya. "Saya besok ngajar di kelas V, bahasa Inggris. Kelas IV yang ngajar bahasa Inggris Pak Don!" Ucap saya. "Aih? Masuklah juga kelas kami, Ibu..." Kata Johan. "Mana ada? Saya hanya mengajar SBK saja di kelas kalian." Jawan saya.   Raut mukanya menampakkan agak sedih karena saya hanya mengajar 1 kali dalam seminggu di kelasnya. Kami pun bercerita-cerita tentang hal-hal yang tidak terduga. Dari mulai sekolah, tempat asal mereka, kegiatan persami, sampai bagaimana beraninya mereka untuk berburu hewan di hutan.   Daerah asal orang tua Iron adalah Lembata yang berada diprovinsi NTT, sedangkan Johan lahir di Maumere. Mereka berdua memang keturunan orang Timor yang tinggal di Lourdes. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, bahwa Lourdes dihuni oleh rata-rata penduduk dari Timor. Saya suka sekali mendengar cerita-cerita seru yang mereka alami. Iya, karena saya memang tidak pernah merasakan hal-hal yang mereka lakukan.   Mereka bercerita tentang bagaimana ketika mereka jalan di hutan lalu berjumpa dengan buaya, payau (rusa), berburu planduk, bahkan sampai mereka berani untuk melawan ular yang sering berleliaran di kebun-kebun milik nenek atau orang tua mereka. Bahkan si Johan bercerita, dia pernah sampai digigit ular kobra ketika ingin mengambil biawak di lubang biawak.    "Iya, Bu! Beeuuuhh... Tanganku sampai nggak bisa bergerak Bu!" Katanya. "Lalu, apa yang kamu lakukan setelah itu?" Tanya saya "Aku isap saja racunnya." Jawabnya.   Saya berusaha untuk bisa menjadi pendengar yang baik untuk mereka. Mendengarkan kisah-kisah mereka.    "Ibu, pergilah nanti pas paskah! Banyak orang bah nanti di atas sana!" Ajak Johan dan Iron. "Tenang, saya tidak kemana-mana karena saya memang ingin pergi melihat kegiatan kalian di sana." Kata saya. "Nanti lah, Bu. Kita selfie selfie di atas sana." Sahut Johan. "Pastilah" Jawab saya.   Tak terasa, sudah hampir mendekati malam. Rupanya kami bercengkerama terlalu asik, hingga kami pun lupa akan waktu. Ya! Hal-hal seru dari mereka adalah hal-hal yang sangat menyenangkan. Berbagi pengalaman dengan mereka adalah hal yang membuat saya ingin lebih dekat lagi dengan mereka.   "Wah! Mungkin tanggal 1-10 saya ijin ke Nunukan." Kata saya lagi. "Beuh, Bu! Lamanya itu!" Ucap Iron. "Saya mau pindah ngajar di Nunukan." Ucap saya.   Dua bocah ini kaget dengan ucapan saya, padahal intinya saya hanya ingin bercanda sama mereka.   "Aih! Kalau gitu, kami ndak pergi sudahlah ke sekolah. Kalau Ibu Pida pindah!" Kata Iron. "Aku mau pindah sekolah di Nunukan kalau gitu. Mau cari sekolah yang ada Ibunya" Sahut Johan. "Apalah kalian ini!" Tersenyum memandangi anak-anak ini.   Buat saya, entahlah dekat dengan mereka benar-benar memberi energi ketika saya sedang jenuh. Toh buat apa saya sampai sini kalau bukan hanya untuk mereka? Inilah yang saya cita-citakan. Setidaknya, dapat mendengarkan keluh kesah mereka berarti sudah membuat mereka percaya bahwa saya ada memang untuk mereka.    Minimal menjadi seorang pendengar yang baik buat mereka, sudah menjadikan mereka bahwasanya cerita-cerita mereka memang patut untuk didengarkan, bukan untuk didiamkan saja. Ah! Kalian ini membuat sore saya hari ini lebih berarti dari apapun. Memang kalimat "Bermain bersama anak-anak bukanlah hal yang sia-sia" nyatanya saya justru mendapatkan hal yang luar biasa dari mereka. :)   Wahai Pengajar Muda! Mekarlah dimanapun kamu berada! 

Cerita Lainnya

Lihat Semua