Upacara Patah Pena
Arum Puspitarini Darminto 22 Desember 201116 Oktober 2011
Aturan-aturan adat masih dipercaya kuat dan sangat dipatuhi oleh masyarakat di desaku –desa Werain-. Aku sendiri sudah mengikuti dua kali rangkaian acara adat. Pertama kalinya adalah upacara adat penyambutan pendatang. Dan yang kedua adalah upacara patah pena. Upacara patah pena lebih membekas di ingatanku dibandingkan dengan upacara penyambutan. Jadi untuk kesempatan kali ini aku mau cerita tentang upacara panah pena: apa, kenapa, untuk apa, dan bagaimana pelaksanaannya.
Lucu memang kalau dengar istilah patah pena. Seperti pena yang patah, tidak bisa digunakan lagi. Tidak bisa dilanjutkan menulis dengan pena itu. Istilah patah pena dalam adat sini diartikan bahwa seseorang tidak dapat melanjutkan sekolah lagi.
Kisah ini yang dialami oleh remaja perempuan di desaku. Remaja berumur ± 16 tahun tidak lagi bisa bersekolah karena sudah ada janin dikandungannya. Karena terjadi hal yang demikian, maka sesuai dengan peraturan adat, kedua belah keluarga harus mengadakan upacara patah pena.
Upacara patah pena diadakan di rumah keluarga laki-laki. Keluarga perempuan datang ke rumah keluarga laki-laki dengan bernyanyi bersama-sama. Rombongan keluarga perempuan berkumpul dan berangkat bersama dari rumah salah seorang yang dituakan. Sekitar jam 9 pagi berjalanlah rombongan keluarga perempuan yang berjumlah lebih dari 25 orang menuju rumah keluarga laki-laki. Ada ibu-ibu yang menggunakan kain khas tanimbar dan kebaya sebagai atasannya dan dengan iringan tifa dan nyanyian berlirik bahasa daerah Selaru mereka menuju rumah keluarga laki-laki.
Inti dari upacara ini adalah pihak perempuan meminta apa yang mereka sebut sebagai “uang marah” atau uang pengganti biaya yang dikeluarkan oleh keluarga perempuan yang sudah menyekolahkan anaknya sampai bangku SMP. Uang marah ini telah ditetapkan jumlahnya berdasarkan hasil kesepatakatan dalam duduk adat (diskusi keluarga yang satu keturunan). Untuk anak SMP “dihargai” Rp 10.000.000. Jumlah tersebut belum keputusan akhir. Harus melewati proses tawar menawar lewat musyawarah tetua adat dari dua keluarga. Maka dari itulah setelah keluarga perempuan sampai di rumah keluarga laki-laki, musyawarah dilaksanakan. Seperti musyawarah pada umumnya, musyawarah itu akan berakhir jika sudah mendapatkan keputusan. Namun dalam acara patah pena ini, setelah penentuan harga disetujui kedua belah keluarga, lalu keluarga laki-laki harus memberikan daging babi kepada keluarga perempuan. Babi yang diberikan juga bukan babi sembarang. Babi adat, begitu namanya. Aku memang belum pernah melihat babi adat, namun dari cerita kedua orang tua angkatku, babi adat ini ukurannya jauh lebih besar dari babi biasa dan otomatis harganya juga tidak sama dengan babi biasa. Pemberian daging babi dari keluarga laki-laki baru dilaksanakan pada sore hari. Kira-kira jam 4 sore. Barulah acara ini selesai.
Begitulah pelaksanaan upacara patah pena. Yang menarik dalam upacara ini menurut saya adalah penentuan jumlah uang marah dari keluarga perempuan yang harus dibayarkan oleh keluarga laki-laki. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin mahal harganya karena pada dasarnya menurut mereka, orang tua sudah mengeluarkan biaya yang besar untuk pendidikan anaknya.
Begitulah adatnya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda