Kisah Si Ampi

Arum Puspitarini Darminto 26 Desember 2011

7 Desember 2011

Dia menasehati temannya, “Bilang pintar boleh. Biar oce pintar. Kalau ose bilang bodoh, bodoh betul nanti. Iyo toh ibu?”

Budaya sekolahku setiap pagi sebelum masuk kelas adalah apel pagi. Seluruh siswa dari kelas I-VI berkumpul di depan kantor guru untuk mendengarkan pengarahan, pengumuman, nasihat atau sekedar untuk  menghitung jumlah siswa yang datang tepat waktu. Pemimpin apel pagi ini adalah salah seorang rekan guru laki-laki yang selalu datang paling pagi. Aku sendiri sudah sampai di sekolah dan sedang berada di dalam kantor guru.

“Kemarin siapa yang seng timba air?” guru itu bertanya siapa anak yang tidak pergi untuk mengambil air bersih di sumur Abat. Sumber air tawar berasal. “Ampiiiiiiiiiiiiiii,” seru anak-anak bersamaan. “Ampi. Mari ose maju!” suruh guru itu.

Seketika diam. Mungkin menunggu Ampi yang sedang berjalan menghampiri bapak guru yang memanggilnya. “Kemana ose kemarin?” Tidak ada jawaban dari Ampi. Dia diam tapi aku tahu jawabannya. Dia pergi melihatku di rumah untuk belajar. Pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya juga tidak dijawab oleh anak laki-laki berkulit gelap ini. “Kalian tau Ampi itu singkatan dari apa?” tanya guru itu pada semua anak. Pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan kelalaian Ampi tidak mengambil air. Tidak ada satupun anak yang menjawab. Kedua kali si guru kembali bertanya pertanyaan yang sama. Anak-anak kembali tidak ada yang membuka suara.

Aku mendongakkan kepalaku keluar kantor. Melihat adegan apa yang sedang dimainkan. Si guru mengambil spidol lalu menuliskan nama AMPI besar-besar di papan pengumuman yang ada di depan barisan anak-anak dan si guru melanjutkan, “Ampi itu adalah singkatan dari ANAK MALUKU PANCURI IKAN.” Anak-anak tertawa. Ampi menunduk. Aku merasakan kesedihan/malu yang Ampi rasakan. Kesedihanku bertambah ketika aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkinkah aku memotong pembicaraan guru itu dan bilang, “Bapak tidak boleh seperti itu di depan anak-anak!”??? Sepertinya tindakan itu kurang tepat.

Aku kembali ke dalam kantor. Memutuskan untuk mendengarkan saja. Bapak guru itu masih berkutat pada topik singkatan nama Ampi. “Sekali lagi. Ampi itu Anak Maluku Pancuri Ikan. Apa?” dan anak-anak berseru bersama-sama, “Anaaaaak Maaalukuuuu Pancuuuuriiii Ikaaaaaan!” Kembali guru itu membuat penekanan yang membuat Ampi terpojok. “Sekali lagi. Apa?” dan anak-anak menambah volume suaranya sambil menjawab.

Jawaban yang kedua lebih menyakitkan pasti karena diingiri tertawa yang menggelegar dari teman-teman Ampi sendiri. Apel selesai. Anak-anak masih tertawa. Ada juga yang masing mengulang singkatan itu di depan Ampi. Aku melihat Ampi berjalan menunduk menuju kelasnya. Tidak lagi berlari, tidak lagi menyapaku dengan, “pagi ibu, bet su habis kerja soal kemarin.” Yang dalam bahasa Indonesia artinya “pagi ibu, saya sudah menyelesaikan soal yang kemarin.”

Di dalam kelasku sebelum pelajaran dimulai, aku membuka topik yang berbeda dengan yang sudah aku rencanakan di RPP (Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran). Kejadian Ampi ini harus dijadikan pelajaran untuk anak-anakku.

“Anak-anak, tadi pagi bapak ada bilang apa tentang Ampi?” “Bapak bilang kata, Ampi itu adalah singkatan dari Anak Maluku Pancuri Ikan.” “Oh, bapak bilang seperti itu? Anak-anak, tadi bapak guru ada salah. Bapak guru cuma bercanda.  Masa Ampi pencuri ikan? Ampi itu anak baik, dia bukan pencuri ikan.” “Jadi singkatan Ampi itu apa, Ibu?” “Ampi itu adalah singkatan dari Anak Maluku Pintar.” Anak-anakku mengangguk. Tanda mereka setuju. Anak-anakku sangat serius mendengarkanku. Mereka memang paling suka mendengarkan ibu gurunya bercerita di depan kelas. Aku memanfaatkan momen ini. Aku tuliskan nama Ampi besar-besar di papan tulis dan singkatannya yang lebih positif. Lalu aku melanjutkan.

“Tadi bapak bilang pancuri ikan. Itu singkatan yang salah. Sekarang kita punya singkatan yang benar, yaitu Ampi adalah anak maluku yang pintar. Lebih baik bilang temannya pintar atau bilang pencuri ikan?” “Pintar ibu. tapi Ampi seng pintar.” Aku ingin tertawa. Anak-anak ini sungguh polos. “Apa yang kita ucapkan itu akan jadi benar. Coba Cici sini. Kalo ibu bilang sama Cici, Cici anak yang pintar. Apakah cici senang ibu bilang pintar?” Pertanyaanku disambut cepat dengan anggukan dan kata persetujuan. “kalau Cici senang di bilang pintar, Cici pasti akan lebih rajin belajar. Nah, kalau rajin belajar jadi apa?” “jadi pintar,” serempak mereka menjawab. “Memang. Pasti akan jadi pintar. Karna ibu bilang Cici pintar, maka Cici semakin rajin belajar dan jadi benar-benar pintar,” kembali aku mengulang kata-kata ini.  Lalu aku menyimpulkan, “jadi lebih baik bilang temannya pintar atau temannya seng pintar?” “PINTAR IBU. mau dong (dia) pintar, seng pintar, katong harus bilang dong pintar!” Aku tersenyum. Mereka mendapatkan pelajaran berharga hari ini.

Pelajaran untuk bisa empati terhadap teman dan bisa saling menghargai sesama. Hal yang minim mereka punya di lingkungan yang sarat kekerasan terhadap anak.

20 menit berlalu. 20 menit yang aku gunakan untuk menanamkan nilai-nilai luhur.

Seperti biasa, anak-anak hebatku ini selalu membuat energiku full tank. Sisa waktu belajar terasa sangat cepat kuhabiskan. Aku berjalan pulang menuju rumah. Seperti biasa, bersama anak-anakku yang sebagian besar bukan siswa di kelas aku mengajar.

Sampai pada saat siang, anak-anakku masih menertawakan akan singkatan nama Ampi yang mereka dengar pada saat apel. Keributan terjadi. Ampi yang berada kira-kira 50 m di depanku diteriaki oleh anak-anak ini. Anak-anak yang belum sadar bagaimana perasaan Ampi di hari itu.

Salah satu anak di kelasku berkata pada teman-temannya, “heh, ose dengar. Bapak guru itu cuma sengaja sa. Itu salah. Yang benar itu Anak Maluku Pintar. Bilang gitu boleh, la ose pintar!” Aku seperti kedatangan angin yang menyejukkan. Memperhatikan kata demi kata dari pasukan hebatku. Kata-kata itu yang aku ucapkan pagi ini. Lalu dia kembali meneruskan nasihatnya, “Ose seng kasian deng Ampi? ose lebih baik bilang Ampi itu pintar, la dong pintar. Kalo bet bilang ose bodoh, ose bodoh benar. Begitu toh ibu?”. Kata-kata indah itu dikuti dengan anggukan dari teman-temannya dan aku berkata, “benar sayang. Ibu bangga sama kamu karena kamu mengerti bagaimana menghargai teman. Terimakasih sudah menasehati teman kamu.”

Langkahku menuju rumah terasa terbang. Terik matahari yang mendadak tidak aku pedulikan membawaku sampai di rumah. Menaruh tas ku, mengganti bajuku lalu merebahkan badanku ke kasur. “Terimakasih ya Allah, ada banyak kebahagiaan yang engkau titipkan untukku lewat anak-anak ini. Semoga mereka jadi anak yang lebih baik setiap harinya dan kelak berguna untuk bangsanya. Amin”

***

Terjemahan bahasa Ambon: Bet = beta = saya Ose = kamu Sa = saja Su = sudah dong= dorang = kalian/dia la = supaya/untuk


Cerita Lainnya

Lihat Semua