Igun Messi di Tepi Laut
Ady Saputra Wansa 24 Desember 2011Igun Messi di Tepi Laut Siang itu bernama minggu, sekitar jam sembilan pagi. Kami bersebelas berangkat menuju desa Toro Subang, tempat bertugas Bu guru Anita. Hari ini kami melakukan pertandingan persahabatan, sebelum nanti kami akan bertanding dalam liga halsel yang akan dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 2011 ditempat tugasnya pak Ihksan (Syakur). Kami tentu beraharap medapatkan kemengan, apalagi kami sudah melakukan latihan persiapan untuk laga ini sebanyak empat kali. Tapi jauh dilubuk hati, saya sendiri tidak memimpikan kemenangan, tapi saya lebih menekankan kepada mereka untuk bisa bermain dengan baik. Karena permasalahan yang kerap kami alami ketika berlatih adalah egoisme diri kami masing-masing, dan ketidak mampuan kami untuk mengatur ritme permainan dan mempertahankan bola untuk berlama-lama barang sebentar di kaki kami. Siang itu ketika kami hendak berangkat, Aldi siswa kelas enam, mengajukan usul untuk berjalan sambil berbaris menuju jembatan pelabuhan "pak kita berbaris ya", saya cuma mengiyakan dengan anggukan, "hei ngoni samua berbaris, kata pak ady" nama saya harus selalu melekat pada kalimat perintah mereka, karena kalau tidak ada saja siswa yang membelot dari perintah dan aturan yang sudah dibuat. Sepanjang jalan ibu-ibu dan siswa-siswa saya yang tidak ikut bertanding mengantar keberangkatan kami dengan berbaris rapi disepanjang jalan. Ibu-ibu yang anaknya saya ajak bertanding juga tak mau kalah mereka berdiri sepanjang jembatan pelabuhan sembari menetei anak-anaknya. "ayo yang semangat, berdoa biar menang" teriak salah satu ibu-ibu Sawang Akar, "ya kalau tidak menang pulangnya berenang saja" teriak satu lagi. Sambil menyanyikan lagu kebangsaan para suporter bola yang sedikit menyindir salah satu negara ASEAN, karena kerap kali mampu mempercundangi mantan singa asia tenggara. Dengan mesin ketinting yang terdengar "bengek" kami arungi lautan, ketinting kami bergoyang ke kiri dan ke kanan karena diterpa ombak tapi tak satupun dari kami merasa gentar untuk mengadu nyali di Toro Subang. Ketika atap jajaran perkampungan Toro Subang mulai terlihat, Aldi kembali berteriak "pak ady dada saya bergetar" sambil mengusap dadanya, juga diikuti oleh Ramlan the next Kurnia Mega, saya cuma tersenyum ketika mengetahui jantung siswa yang saya ajar bertambah keras detaknya, karena itu pertanda baik bagi saya secara pribadi. Perasaan yang seperti inilah yang saya harapkan ketika mengajukan pertandingan melawan Toro Subang, debar "sang juara", "debar kesadaran", "debar kerendah hatian". Sejurus kemudian kami mendarat di Desa Atas laut (suku Bajou, sebagian besar orang-orang Bajou bermukim di atas laut) Toro Subang. Entah apa yang menyebabkan pendekar lapangan yang sedari tadi menyanyikan lagu dengan gegap gempitanya, menjadi ciut nyalinya, seragam olah raga yang berwarna merah yang mereka kenakan, seolah kehilangan perlambang keberaniannya. Mereka bersandar di pinggir-pinggir pagar, sembari melihat lawan tanding mereka berseliweran di depan mereka, dengan menggunakan seragam olah raga berwarna biru dan yang pasti juga lebih baik dari yang kami kenakan. Dalam hati saya berpikir mungkin nyali mereka ciut karena baju yang mereka kenakan terlalu kusam dan lusuh, bahkan beberapa malah sudah berkali-kali di tambal, dan Fahrul malah menggunakan baju yang sobek diketiak sampai dadanya. Saya coba untuk tidak ambil pusing dengan kondisi yang timpang tersebut, saya segera meminta mereka untuk melakukan pemanasan, dan dari sini mulai terlihat siapa saja yang benar-benar ciut nyalinya, Juandi si jago matematika itu, terlihat erat memeluk tiang gawang ketika saya minta untuk melakukan pemanasan, mungkin hitungan matematikanya mulai merambati kepalanya dan efeknya membuat nyali sang juaranya menciut. Hal serupa juga dialami oleh Junaedi. Hanya Aldi, Suwardi, Ramlan The Next Kurnia Mega dan tentu Si Messi dari Sawang Akar, Igun. Yang masih terlihat bersemangat untuk memenaskan fisik mereka sebelum bertanding. Ketika peluit tanda kick off berbunyi, keadaan tim yang saya bawa semakin hancur, mereka semua terlihat bingung ketika menendang bola, mulai dari arah bola yang entah kemana, berlarian mengejar bola, atau kontroling yang serba salah. Disisi belakang, Anto yang saya andalkan karena fisiknya yang besar, pikir saya fisiknya bisa menjadi benteng agar gawang kami yang di jaga oleh kipper yang bertubuh kecil bisa selamat, ternyata "mengkhianati" kepercayaan saya dengan bermain sangat lamban, beberapa kali pemain lawan tidak bisa dia cegah, dan "goal" pada menit ke sepeluh di gawang kamipun tak bisa kami hindarkan. Belum sempat menata permainan, kami malah dikejutkan dengan sebuah goal. Walhasil mental para pemain semakin ambruk, Suwardi yang di depan juga tidak bisa menunjukkan kemampuannya seperti biasanya, kerap kali bola lepas dari kakinya, dan "gocekan" yang biasanya muncul ketika latihanpun tidak terlihat. Junaedi yang biasanya mampu menendang keras juga seolah mati kutu, pada pertengahan babak pertama dia tidak mampu menendang bola sekuat seperti biasanya. Junaedi dan Anto tidak bisa menjadi pasangan serasi dibelakang, pada menit kedua puluh gawang kami kembali kebobolan, "goal". Saya mencoba menyemangati tim dengan berkata "santai saja tidak apa-apa kalah" tapi sebenarnya saya sedang memasang hati untuk bisa tegar kalau memang tim yang saya bawa bertanding pulang membawa telor alias nol. Ketika memasuki sepuluh menit terakhir saya merombak pemain dengan menurunkan Anto dengan memasukan sang matematikais alias Juandi, kemudian disusul dengan memasukan Anshar mengeluarkan Junaedi. Sejurus kemudian dari arah kiri lapangan entah siapa yang memberikan umpan, bola datang di kaki Igun, dengan menari-nari sedikit, bola mampu dia lesatkan kedalam gawang dan kami semua berteriak "goal". Satu gol dari Messi tepi laut bisa kembali membangkitkan motivasi para pemain, tapi sayangnya goal cantik itu di balas dengan goal cepat dari Toro Subang setelah terjadi kemelut di depan gawang. Igun kembali terpompa tanggung jawabnya sebagai penyerang, dia harus bertanggung jawab atas posisinya di depan, dan benar saja satu tendangan cantiknya dari sisi kiri lapangan menjadi goal. Kami kembali berteriak, dan babak pertama ditutup dengan harapan, kemenangan pada babak kedua. Ketika istirahat, saya mengalami kebingungan untuk mengganti formasi yang telah ada, karena jujur saya juga takut dengan kekalahan. Karena formasi yang sudah ada terbukti bisa menghasilkan dua gol, saya sempat berpikir kira-kira apa yang di lakukan oleh spesial one ketika dia menghadapi posisi sulit seperti yang saya alami sekarang ini?. Untung saja, kebingungan ini tidak berlansung lama, "ini kan hanya pertandingan persahabatan" bisik hati saya "mereka semua datang bukan untuk menjadi penonton, mereka juga ingin menendang bola, ingin mendapatkan debar ketika berada dilapangan, ingin mendapatkan tepuk tangan ketika bermain bagus, dan ingin merasakan cemoohan ketika bermain buruk" lanjut hati saya, dan akhirnya ketika kick off babak kedua berbunyi, pasukan saya sudah berubah. Percaya pada hati, dan memberikan keadilan pada semua orang sesuai dengan kodratnya ternyata tidak salah, permainan kami semakin cantik, dan tarian anak-anak Sawang Akar ditengah lapangan membuat Toro Subang pontang-panting dan salah tingkah, akibatnya back salah mengover kepada kiper dan finalti kami dapatkan. Sebenarnya bukan kali pertama ini saja kesalahan serupa dilakukan oleh Toro Subang, tapi wasit seolah tidak faham dengan peraturan jadi saya biarkan saja, sekali lagi yang saya harapakan bukan kemenangan tapi menguji mental sang juara murid-murid hebat saya. Igun mengambil posisi, dan tendangannya melesat ke gawang lawan, tiga-tiga. Dengan kondisi lapangan yang buruk, kelelahan karena jumlah air yang kami bawa kurang, kondisi perlengkapan bermain kami yang juga tidak mendukung untuk bermain bola dengan kondsi lapangan yang demikian, skor imbang tidak bertahan lama, kami kalah dengan skor akhir 3-5. Selisih dua goal, mungkin menyakitkan tapi dari hasil pertandingan kami bisa yakin bahwa kami telah bermain dengan bagus, itu terbukti suporter (warga kampung Toro Subang) yang awalnya hanya mendukung tim mereka. Tapi ketika melihat aksi Ramlan di gawang, gocekan Igun dan lesatan tendangannya, kuatnya Andi dan fahrul dibelakang, operan Aldi dari tengah lapangan mampu mengambil simpatik dari warga Toro Sumbang, dan kerap pemain kami mendapatkan tepuk tangan dan teriakan semangat dari mereka. Walaupun peluit tanda berakhir telah lama dibunyikan, tapi tugas pelatih, tugas mengajar, tugas membangun motivasi masih terus berlanjut. Lewat permainan ini saya belajar bahwa, yang harus kita ajar bukan perkara "menang" dan "kalah" tapi mentalitas. karena "kalah" dan "memang" adalah realitas yang harus kita terima ketika bertanding. Tapi "mentalitas", mental pecundag, mental pemenang adalah fundamen yang mampu mengatur diri kita bersikap ketika kita berada pada posisi tersebut, menang dan kalah. Kalian hebat jagoan lapanganku.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda