Setiap Usaha Itu Bermakna

Arum Puspitarini Darminto 23 Desember 2011

Cerita ini adalah lanjutan dari postingan blog “Ketika Aku Diam”, sebuah catatan di akhir Oktober tentang anak-anak yang sulit mengikuti tata tertib. Mendadak lupa peraturan kelas, mengabaikan perintah gurunya, menganggap kelas seperti lapangan bola karena setiap anak berlarian. Aku akan kembali bercerita tentang mereka. Pasukan hebatku.

Sewaktu pelatihan, aku diajarkan untuk menjadi guru profesional, bukan guru konvensional . Guru yang benar-benar paham bagaimana seharusnya anak-anak belajar. Cara terbaik anak belajar adalah dengan mengkonstruk sendiri pengetahuannya. Ketika berbicara tentang teori dari Vygotsky ini, maka guru membutuhkan metode belajar yang menarik dan bisa membuat anak berfikir. Dan sama sekali bukan hal yang mudah jika pembelajaran konstruktif ini diberlakukan untuk anak-anak. Apalagi anak-anak didesaku.

Pembelajaran modern ini semakin memfasilitasi anak-anakku yang tidak suka belajar sambil duduk tenang. Aku selalu harus mengulang-ulang aturan main untuk meminimalisir kekacauan, aku juga harus cermat mengatur strategi agar pembagian kelompok bisa seadil-adilnya. Ketika kelompok terbentuk, identitas kelompok muncul. Yang sering terjadi adalah jika jawaban kelompok sebelah yang salah, maka kelompok lainnya langung menertawakan. Pernah juga ada yang berdiri menghampiri si anak yang salah menjawab, lalu menoyornya atau melempar dengan botol minuman. Begitulah keadaannya di empat bulan pertama.

Begitupula jika di dalam kelompok jika terjadi perdebatan. Berdebat tentang jawaban dari soal yang diberikan. Jika jawaban yang diputuskan itu ternyata salah, si pembuat jawaban akan menjadi sasaran teman-teman sekelompoknya. Sampai-sampai anak itu terlihat tertekan dan menangis. Situasi seperti ini sering aku amati terlihat di kelas. Lagi-lagi aku mengulang kata-kata senjataku. Bernyanyi sepenggal lagu dari Sherina yang menjadi idolaku waktu SD, “setiap manusia di dunia pasti punya kesalahan. Siapa disini yang pernah salah? Kalau kamu salah, lalu kamu dimaki, apa rasanya? Lalu kenapa memaki temannya yang salah? Apa yang seharusnya kita lakukan?” Aku pernah berfikir, apakah mereka mengerti dengan caraku mengajarkan untuk menghargai orang lain? Aku tidak tau jawabannya. Mereka menatapku penuh keseriusan dan aku mengartikannya mereka berfikir tentang kesalahan yang mereka lakukan. Sampai nanti ada hasilnya, aku baru tahu apakah cara ini berhasil atau tidak. Sekarang tugasku hanya berusaha. Toh dengan begitu kita tau mana yang harus diperbaiki dan mana strategi yang dipertahankan.

Saat ini aku bercerita tentang keadaan anakku di bulan November. Bulan ke-5 aku mengabdi.

Sekarang..

“Kelompok Soekarno menjawab gelas kedua itu adalah rinso, sedangkan kelompok Soeharto dan Habibie jawabannya shampo. Ibu buka e kotak di depan, apa isinya? Shampo atau rinso atau yang lainnya?”. Anak-anak tegang, menanti jawabannya benar atau salah. “Ternyata jawabannya shampo!”seruku riang. Setelah itu yang terdengar adalah perayaan kemenangan atas jawaban yang benar. Satu kelompok saling tos dan yang terpenting tidak ada ejekan yang pernah aku dengar. Sejujurnya aku kaget. Kaget dengan situasi aman damai seperti ini. Wah, anakku sekarang mengerti bahwa temannya harus dihargai.

Sekarang..

Aku tidak perlu bernyanyi, “ayo duduk... ayo duduk..semua..semua..” sampai suara ini habis. Hanya dengan menginstruksikan anak-anak, “mari bernyanyi ayo duduk.” Lalu anak-anak bernyanyi uyntuk dirinya dan untuk teman-temannya. Mereka berlarian ke kursi masing-masing walaupun ada satu dua anak yang masih belum bisa cepat berespon, tapi aku tersenyum mendengar anak-anakku yang lainnya memanggil temannya yang masih belum dapat tenang, “katong bernyanyi ayo duduk la ose duduk”. Yang artinya, “kita nyanyi ayo duduk supaya kamu duduk”. Orang lain bilang anak-anak ini kepala batu. Mereka menyebut anak-anakku buta huruf. Mereka mengatakan anakku ini nau-nau (tidak tahu apa-apa).  

Aku selalu bilang pada anak-anakku, semua orang awalnya tidak tahu, tidak bisa apa-apa. Tapi dengan belajar dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak bisa menjadi bisa. Jadi sebaiknya bagaimana anak-anak? Dan mereka menjawab, “kasih ajar, ibu!” Akupun sekarang punya banyak asisten pribadi. Dengan mudahnya anak-anakku mengatakan, “sini bet kasih ajar ose,”  kepada temannya yang belum bisa mengerjakan soal yang aku berikan. Mereka mengerti bahwa temannya bukan bodoh, tapi kurang belajar dan dengan belajar semua orang pasti jadi bisa. Selalu ada senyuman di balik semua peristiwa. Selalu ada yang baik di dalam kisah hidup yang terjadi. Selalu ada hasil dibalik segala usaha yang di kerahkan menghadapi cobaan dunia.  

Seperti kutipan dari tulisan pesepakbola idoa saya, Bambang Pamungkas, “Sebagai manusia, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sejatinya hal terpenting dalam sebuah kehidupan adalah bagaimana kita berusaha semaksimal mungkin dalam setiap kesempatan, menjalani dengan sepenuh hati, dan menerima apapun yang terjadi dengan ikhlas dan lapang dada.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua