Untuk Kakak, Demi Pendidikannya

Arum Puspitarini Darminto 1 Agustus 2011

Setelah aku sampai di MTB dan sebelum aku benar-benar tinggal di desa Werain, aku bertemu dengan banyak orang yang bercerita tentang daerah ini. Mereka semua bilang Werain terkenal dengan ikan laut yang melimpah. Jumlah ikan yang sangat banyak, membuat harga ikan di Werain sangat murah. Untuk ikan seberat lebih dari 5 kg, harga termahalnya hanya Rp 10.000 saja. Tentu saja bagiku cerita ini adalah cerita yang sangat menyenangkan. Membuatku membayangkan segarnya ikan-ikan yang akan aku makan, memikirkan tentang resep makanan untuk ikan-ikan yang akan aku masak disana, dan mencurigai badanku yang akan semakin memadat lagi dan lagi.

Setelah aku sampai di sini, cerita itu ternyata hanyalah tinggal cerita. Imajinasi hanyalah di bayangan saja. Begitulah kira-kira nasibku dengan ikan-ikan Werain yang sudah memberikan harapan untukku. Selama dua minggu aku di sini, yang aku temui adalah nasi, mie instan, dan telur. Aku perlu cermat dalam mengkonsumsi mie instan yang sudah setahun ini aku hindari. Untung saja nasi dan telur masih dapat menyelamatkan hidupku dari kelaparan dan menambah energi untuk bermain bersama anak-anak.

Mungkin kalian bertanya, kenapa banyak ikan tapi makannya mie instan dan telur? Ini juga pertanyaan pertamaku setelah aku sampai disini. Jawabannya yang pasti adalah karena masyarakat Werain sekarang punya sumber mata pencaharian yang baru yang mendatangkan lebih banyak pendapatan. Mereka beralih profesi  dari nelayan menjadi petani rumput laut. Dari pagi sampai siang magrib, masyarakat pergi ke pantai. Ada yang menanam, merawat dan ada yang memanen. Jangan bayangkan rumput laut itu di tanam di pasir. Rumput laut, yang disebut disini ‘agar-agar’, itu diikat di tali yang panjang. Diikat juga botol-botol bekas dengan jarak 3 m agar rumput laut itu dapat mengapung dan juga sebagai tanda kepemilikan. Tidak butuh perawatan khusus agar rumput laut dapat tumbuh besar. Dalam masa sebelum panen, biasanya mereka mencermati rumput lautnya agar tidak copot dari talinya, dan membersihkan tali dan botol dari lumut-lumut agar rumput laut tempat berkembang. Butuh waktu lebih dari 1 bulan untuk rumput laut itu dapat dipanen, dicabut dari talinya dan dikeringkan.

Setelah kering, rumput laut siap dijual di Saumlaki. Harga 1 kg rumput laut sekitar Rp 10.000. Terlihat tidak begitu tinggi harga yang di patok. Tapi masyarakat disini menjual rumput laut dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak heran sekarang sudah banyak masyarakat di desaku yang bisa pergi ke bangku kuliah. Penanaman yang mudah, perawatan yang tidak menyulitkan, mendatangkan penghasilan yang lebih baik tentu menjadi alasan utama masyarakat disini beralih profesi.

Menjadi petani rumput laut memang menjadi profesi dari para orang tua. Bagaimana dengan anak-anaknya? Apakah tugas mereka sore hari hanya bermain? Tidak sepenuhnya begitu. Sore di hari kedua, aku berjalan mengelilingi desa tanpa tujuan. Di jalan aku bertemu dengan anak-anak yang menenteng karung dan sepatu karet. Mereka bernama Ona dan Lila.

“Mo pi kamana oce?”  “Pi pantai ibu, mancari agar-agar.”

Aku sekarang berjalan dengan tujuan. Mencari sesuatu yang baru dari daerah ini. Pergi mencari agar-agar dengan  anak-anak yang baru saja kukenal. Beginilah kegiatan mereka setiap hari. Setiap sore, ketika meti –istilah untuk air surut– anak-anak ini pergi kelaut untuk mencari rumput laut yang terlepas dari tali.

Kami berjalan di laut sambil menundukkan kepala membuka mata, mencari rumput laut yang terdampar di pantai. Lama kelamaan kami berjalan menuju matahari yang akan tenggelam, sampai air setinggi dada. Mereka sangat teliti melihat rumput laut di dasar laut. Aku terheran-heran dengan kemampuan mereka melihat rumput laut yang dalam ditambah dengan gelombang air tidak tenang. Pada pencarian rumput laut yang pertama bagiku ini, mereka mengajariku banyak hal.

Mereka menunjukkanku agar-agar yang berbeda dari yang kami ambil sebelumnya, “ini Ibu, agar-agar su mati. Seng bisa diambil.” Aku ambil rumput laut mati itu untuk mengamati ciri-cirinya. Permukaannya tidak licin, melainkan bergerigi. Sangat jelas perbedaannnya.

Mereka juga saling memberikan informasi kepadaku dan teman-temannya tentang tempat rumput laut yang banyak ditemukan. “Ibu bisa cari di tali-tali. Banyak sekali. Tapi jangan dipetik, Ibu. Nanti orang marah.” Atas saran dari Lila, aku menyusuri pinggiran tali mencermati rumput laut yang berenang bebas. Sarannya tepat. Aku menemukan banyak rumput laut.  Tiba-tiba suara Lila terdengar dari kejauhan, “Ibu sini! Banyak agar-agar di pinggir.” Aku yang mudah sekali terhasut dan sangat percaya akan kemampuan Lila, lalu berjalan ke tepi pantai untuk mendapatkan rumput laut yang lebih banyak lagi.

Tiba-tiba aku menemukan satu genggam rumput laut besar. Karena ini rumput laut terbesar yang aku dapatkan, aku lalu pamerkan ke Lila dan Ratih. “Ibu hebat! Ibu dapat tunas,” kata Lila. Lalu aku mencermati rumput laut besar itu kembali. Mereka mengajariku yang mana tunas dan yang bukan. Sampai sekarang, aku masih sulit membedakannya. Mereka mengatakan aku hebat karena sangat jarang tunas yang ada di pantai. Tunas ini adalah bibit yang dapat ditanam di tali dan menghasilkan rumput laut yang lebih banyak lagi. Berkali-kali aku mendapatkan rumput laut yang besar dan bagus. Sampai mereka berkata, “besok Ibu pi cari agar-agar bawa karung sediri ya. Lalu ibu timbang sendiri, dan jual di Saumlaki.” Aku tertawa mendengar saran mereka.

Aku terus mengumpulkan rumput laut sampai matahari hampir tenggelam. Sekecil apapun rumput lautnya, aku kumpulkan semua. “Ibu, cabut saja itu. Walaupun kecil, kalau dikumpulkan juga bisa dapat banyak uang,” begitu kata mereka. Anak-anak ini baru kelas 6 SD. Mereka membatu orang tuanya untuk dapat menyekolahkan kakaknya ke bangku kuliah. Mereka tidak terbebani dengan pekerjaannya ini. Laut adalah tempat yang menyenangkan untuk mencari uang. Mereka memiliki kebanggaan sendiri ketika memikul satu karung yang terisi penuh dengan rumput laut.

Matahari sudah hampir kembali ke tenggelam. Aku bergegas menuju pantai dengan senyum mengembang. Melihat anak-anak ini keberatan memikul karung, aku segera ingin membantu. “Tidak usah Ibu, nanti mama marah kalau liat ibu yang bawakan”, sambul mereka setelah aku menawarkan diri membawakannya.

Langkah kami meninggalkan pasir putih di awali dengan senyuman sambil anak itu berkata, “Mama pasti senang aku bawa banyak agar-agar.”

Werain, 16 Juli 2011

-APD-

*) Seng =  tidak, su = sudah, pi = pergi, agar-agar = rumput laut


Cerita Lainnya

Lihat Semua