info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Melawan Kebiasaan Malam

Arum Puspitarini Darminto 1 Agustus 2011

Aku selalu senang dengan pemandangan di darat pada siang dan sore hari. Setiap hari aku melihat anak-anak yang tidak mengenal waktu bermain. Mereka berlarian dari halaman rumah yang satu ke yang lain, mengejar temannya sampai ke laut, bermain bola kaki juga voli, berguling-guling di atas pasir dan ada juga yang berlomba mendapatkan ayam buruan. Begitu bebasnya mereka melakukan apapun yang mereka senangi. Para orang tua juga  tidak perlu takut akan keselamatan anaknya ketika bermain. Disini tidak ada kendaraan lalu lalang di jalan. Masyarakat disini juga tidak mengenal penculikan anak.

Anak-anak bermain selepas sekolah sampai waktu malam tiba. Saat hanya bulan yang menerangi, dan terangnya matahari di gantikan oleh pelita-pelita di setiap rumah, anak-anak itu masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, sekitar pukul 19.00 WIT, mesin dinamo di nyalakan. Nah, kalau mesin ini sudah dinyalakan, dengan mudah kita menemukan anak-anak berada di rumah-rumah yang memiliki televisi. Mereka tidak lalu duduk di dalam rumah untuk menonton, melainkan dari luar rumah, menonton lewat jendela.

Aku berjalan sambil mengamati satu rumah ke rumah lain. Sayangnya aku tidak bisa berjalan mengelilingi desa ini karena tidak ada bulan yang menerangi sehingga jalan begitu gelap. Aku melihat beberapa rumah saja yang memiliki parabola dan televisi dan setiap rumahnya rata-rata di ‘kerubuti’ oleh lebih dari 8 orang anak-anak dan remaja. Mereka terdiam semua, memperhatikan televisi dari luar. Suara televisi sangat keras terdengar. Mungkin agar anak-anak di luar bisa ikut mendengarkan percakapan tokoh-tokoh dalam tayangan.

Ah, dari suaranya aku sudah bisa menerka tontonan apa yang membuat anak-anak itu terdiam. Ada suara gemuruh, badai, tangisan, teriakan dan ada juga suara yang khas “deng deng deng deng deng” yang semakin lama semakin cepat. Dari suara-suara itu aku menduga tayangan sinetron lah yang menyatukan kebersamaan mereka.

Aku penasaran dengan apa yang mereka lihat. Aku masuk salah satu rumah warga, hanya ingin lebih dekat dengan kesukaan anak-anak supaya aku bisa tau lebih banyak tentang mereka. Aku ambil posisi lalu duduk tenang bersama dengan sebuah keluarga. Aku berusaha mengingat-ingat tujuanku untuk menonton sinetron ini. Kalau tidak, pasti aku sudah tidak sabar untuk keluar. Aku sekarang tahu lagu-lagu Indonesia yang tidak pernah aku dengar dan seriiiiiiiiiiing sekali dinyanyikan anak-anakku. Ternyata lagu itu adalah soundtrack sinetron yang setiap malam mereka tonton. Bagaimana dengan ceritanya? Seperti sinetron kebanyakan. Aku tidak perlu menjelaskan terlalu panjang. Hanya intinya tontonan seperti ini tidak cocok untuk anak-anak.

Ketika aku merasa cukup mendapatkan informasi dan mataku sudah tidak mau lagi menonton, aku memutusan untuk pulang saja kerumah. Aku baru melangkahkan kaki keluar rumah, seketika aku dikagetkan dengan 3 orang anak yang mencariku dan sudah menungguku di luar rumah selama 15 menit. Mereka mau belajar dan bermain bersamaku, katanya. Jadi aku ajak mereka kerumahku. Sesampainya aku dirumah, mama piaraku mengatakan ada anak laki-laki yang mencariku, tapi dia sudah pulang kerumah. Yah, sayang sekali. Untungnya tidak lama anak itu kembali. Riki namanya. Anak paling kecil di kelas 6 yang akhir-akhir ini merebut hatiku dengan kelucuan dan kepolosannya. Aku senang setidaknya ada 4 orang anak yang meninggalkan tontonan itu, dan memutuskan untuk bermain bersamaku. Setelah bermain, kami menonton film kartun anak-anak yang aku siapkan dari Jakarta. Mereka tampak antusias dengan film itu sampai Riki menghampiriku dan berkata, “Ibu, ada (nama sinetron) kah di laptop?” Tawaku langsung pecah. Aku tahu riki tidak menyukai film itu karena perhatiannya tidak benar-benar terjuju pada laptopku.

Aku putar otak. Mencari jalan agar anak-anak ini tidak kebosanan. Mecari cara agar mereka tidak pulang dan kembali menonton televisi. Aku keluarga segala macam metode pengajaran. Aku hanya ingin empat anak ini tidak menyesal bermain denganku dan datang lagi keesokan harinya.

Strategiku berhasil. Dengan cepatnya empat anak ini memberikan kabar ke teman-teman yang lain tentang apa yang mereka lakukan bersamaku. Sekarang setidaknya sudah ada lebih dari 20 orang anak yang tidak lagi mengkonsumsi tanyangan remaja, melainkan melakukan kegiatan permainan yang mengasah kemampuan mereka. Aku berhasil mengalihkan dunia malam mereka.

Werain, 15 Juli 2011

-APD-


Cerita Lainnya

Lihat Semua