Selamat Datang di Werain

Arum Puspitarini Darminto 1 Agustus 2011

Celana panjang oke.

Jaket siap.

Kaos kaki siap.

Sepatu siap.

Topi siap.

Penutup hidung siap.

Bolu dan aqua sudah ada di tas.

Oke, Lengkap.

 

Aku mengecek seluruh persiapan perjalanan panjangku. Aku akan segera punya pengalaman pertama menjadi penumpang ojek selama lebih dari 3 jam.  Aku menaiki motor yang dikendarai oleh Kepala Sekolah desa tetangga. Saatnya berpisah dengan temanku, Ratih, dan keluarga barunya. Aku lambaikan tanganku ke arah mereka. Diiringi dengan senyum lebarku, aku meninggalkan kampung ini, kampung Adaut, tempat warung, keramaian, listrik dan sinyal masih lengkap tersedia.

Tujuanku kali ini adalah desa Werain. Perjalanan menuju desa Werain sangat unik. Motorku berjalan di pinggir pantai dengan pemandangan pohon kelapa yang sangat tinggi dengan kebun yang sangat luas. Sejauh mata memandang hanya ada jalananan lebar yang berbatu dan berpasir dan juga tumbuh-tumbuhan yang tidak terlalu tinggi. Satu jam berjalan dan pemandangan di depanku tiba-tiba berubah menjadi jalanan yang berwarna hitam, naik-turun, tidak rata dan licin. Motorku melambat, badanku berayun-ayun dan punggungku yang menggendong ransel 7 kg mulai terasa pegal. Beberapa kali aku mengganti posisi ransel besarku.

Ketika aku sedang sibuk dengan ranselku, aku terkejut dengan sambaran ranting di kakiku. Aku memandang ke depan. Sekarang yang aku lihat adalah jalan setapak yang ditutupi ranting, ilalang, dan tumbuhan setinggi 1,5 - 2 meter. Tumbuhan dan ranting terus mengambar kaki dan badanku. Aku harus benar-benar memperhatikan jalanan, kalau tidak rambutku akan terseret ranting dan mukaku akan terbeset batang-batang tumbuhan itu. Benar saja, aku tidak sigap dan mukaku juga ikut tersambar dan aku harus menutup mukaku dengan segera. Satu jam aku bersama sambaran ranting yang aku anggap seperti permainan menangkis ini, aku juga melewati pemandangan padang rumput yang sangat luas yang pernah menjadi lapangan udara yang digunakan Jepang ketika menjajah Indonesia. Tenang sekali persaanku melihat ilalang yang seperti berdansa mengikuti hembusan angin. Kenikmatan akan pemandangan ini ternyta hanya sebentar dan segera tergantikan oleh pemandangan baru. Ada perkampungan yang aku lihat.

Dua jam berlalu. Aku sampai di sebuah desa, dengan pasir yang menutupi jalan dan rumah-rumah yang seluruhnya berwarna abu-abu. Desa ini desa Lingat. Desa terakhir yang aku lewati sebelum aku sampai di desa Werain. Aku singgah sebentar di rumah warga untuk menitipkan hasil Ujian Nasional. Sepuluh menit beristirahat, kami melanjutkan perjalanan.

Perjalanan antara Lingat-Werain adalah perjalanan dengan pemandangan paling indah. Aku melihat pantai dengan gradasi warna biru sangat muda, biru muda, dan biru tua dengan jelas. Pantai yang selama ini aku lihat di dalam gambar. Pantai itu sekarang ada di hadapanku. Ini benar-benar nyata. Tak berhenti aku mengucap syukur melihat keindahan alamNya karena aku melihat pemandangan ini di Indonesia.

“Selamat datang di Werain,” begitu kata kepsek yang aku tumpangi. Ternyata laut indah itu adalah pekarangan rumahku. Ini desaku. Desa ini lebih sunyi dan lebih kecil daripada desa Lingat. Pemandangannya tidak jauh berbeda dengan desa sebelumnya. Tidak ada tanah merah di halaman rumah. Semua jalan dan halaman tertutup pasir berwarna abu-abu muda.

Aku menghela napas panjang. Tersenyum sambil masuk ke dalam rumah. Disambut oleh istri kepala sekolah Werain dengan senyumannya yang lebih lebar dari senyumanku. Sayangnya aku tidak bisa langsung membalas sapaannya karena aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Bahasa kami berbeda, namun aku melihat ada kasih sayang yang menjalar dari matanya. Aku sepertinya akan cepat menyayangi desa ini.

Aku menyegerakan mengambil wudhu, sambil menikmati air yang jernih aku benar-benar bersyukur. Alhamdulillah. Aku akan punya rumah yang sangat berbeda dengan rumahku di Jakarta. Alhamdulillah. Aku akan punya lingkungan yang akan mengajarkan aku banyak hal. Alhamdulillah. Aku akan banyak belajar. Aku akan belajar banyak. Alhamdulillah.

 

Werain, 21 Juni 2011

-APD-


Cerita Lainnya

Lihat Semua