Tolong Jaga Arum

Arum Puspitarini Darminto 1 Agustus 2011

“Kenapa namaku ada di kertas berjudul MTB? Apa itu MTB? Mungkin mereka salah. Pasti salah ketik. Iya kan? Salah kan?”

Sepertinya sore itu membutakan mataku dari pemandangan semangat dan keindahan optimisme. Sore yang mendung, dengan dua sisi mukanya: sorak-sorai dan tangisan kekecewaan. Aku sendiri masih berdiri kaku. Sesekali aku menggelengkan kepada dan mengusap muka tanda tidak percaya. Aku kembali mencermati kebenaran sebuah nama “Arum Puspitarini Darminto” yang tertulis persis berada di bawah tulisan “MTB”. Aku tidak tahu apa itu MTB. Aku hanya mempersiapkan diri untuk berada di Bima, Fak-Fak, Sangihe, Bawean, Rote Ndao dan Kapuas Hulu. Tidak. Tidak ada pilihan MTB di kepalaku. Aku harus memastikan nama itu berkali-kali  sampai aku tersadar. Ya, itu benar nama kamu, Arum.

Aku seketika bingung. Sejenak aku putarkan kepala ke segara arah. Tiba-tiba aku semakin tak punya arah. Pemandangan di sekelilingku ini seakan membuatku berada dalam ruang waktu yang berbeda. Aku merasa asing. Bergegas aku mencari tangan untuk menggenggam, aku mencari bahu tempat bersandar. Tidak ada yang bisa aku harapkan. Aku tidak mendapat apa-apa.

Aku sendiri berdiri di tempat biasanya aku dan teman-teman berbagi keriangan. Suasana yang biasa sekarang tidak tampak sama. Aku memutarkan badanku. Aku masih belum lelah berharap ingin ada yang menemani. Hanya aku dan teman-teman baruku disini. Aku jauh dari berita kekotaan juga keluarga dan teman lama. Sudah 3 minggu aku dengan alat komunikasi hanya di akhir pekan, mempersiapkan pemberangkatanku satu tahun di sebuah tempat yang baru kami ketahui hari ini. Hari ini lah pertanyaan bernada pengharapan dan kecemasan akan terjawab. “Dimanakah aku setahun kedepan?”. Inilah suasanya ketika jawaban itu dimunculkan. Sebuah keputusan yang tidak bisa di tawar. Sangat aneh melihat kawanku sedang terlarut dalam lingkaran dunianya masing-masing. Melompat-lompat tanda sebuah doa yang terkabul, tanda sebuah harapan menjadi kenyataan. Ada pula yang duduk terdiam memandangi rumput dan sesekali memalingkan wajah ke kolam renang. Aku juga melihat isak tangis yang menarik perhatian dan disana ada belasan pasang telinga yang siap melayani keluh dan kekecewaan. Aku menikmati pemandangan cerminan perasaan di sekitarku sesaat setelah ada jawaban dari “dimanakah aku setahun kedepan?”

Inilah suasanya ketika jawaban itu dimunculkan. Seketika aku tersadar dengan keadaan diri. Akan kegelisanan yang menyelimuti. Aku tidak menemukan tempat untuk menampung kata-kata dan luapan emosi, kecuali ruang di dalam hati sendiri. Di dalam ketakutan, aku mengamati dari kejauhan. Seorang teman dekat yang takut aku dekati setelah aku tahu kita akan ada di tempat yang berbeda. Dia berjalan ke arah teman-temanku yang ditempatkan di daerah yang sama denganku. Ada saling salam, ada tepukan bahu dan pembicaraan sepenglihatanku. Aku lalu mendengar ada namaku disebut. “Tolong jaga Arum”, katanya. Seketika penampungan air mata penuh dan menumpahkan segalanya. Aku kemudian tersadar. Mungkin inilah yang aku khawatirkan. Mungkin inilah yang membuat aku gelisah. Ketidakberadaan nama teman-teman kesayangan di kolom MTB-lah membuat aku resah. Aku membutuhkan waktu untuk berfikir, mencari penjelasan yang logis atas keputusan ini. Aku akan memulai dari awal. Benar-benar dari awal karena tanpa mereka. Aku bukan anak petualang sebelumnya. Aku juga tidak begitu luwes berbicara dengan orang baru. Aku suka kebingungan dengan topik pembuka pembicaraan. Lalu kenapa aku disini? Kenapa aku bisa berani? Aku juga suka menganggap pilihan ini adalah kegilaan. Aku mencari ketidaknyaman. Aku mencari situasi dimana aku terus memerasakan tantangan. Tantangan yang menjadi sebuah kalimat pengganti kata “masalah” yang terdengar lebih pesimis. Melewati satu dan lainnya adalah sebuah perjuangan. Hanya dobrakan dari masa krisis ini yang membuatku terus melanting jauh kedepan. Lalu kenapa aku terlalu resah? Bukankah suasana seperti ini yang kamu inginkan? Bukankah sebaiknya kamu bersyukur karena situasi hari ini membuatmu lebih berfikir dan lebih hidup? Aku segera kembali ke kerumunan dengan senyum kecilku. Aku akan belajar untuk memiliki kehidupan yang luar biasa. Tanpa orang-orang terdekat, tanpa kenyamanan yang aku miliki sekarang. Walaupun begitu, aku yakin bahwa aku akan mendapatkan kenyamanan yang baru dan teman dekat yang baru disana. Kita akan berpindah dari satu kenyamanan ke kenyamanan yang lain dengan diperantarai oleh ketidaknyamanan. Tidak perlu kecemasan,  hanya sebuah keyakinan bahwa hal yang baik akan datang tepat pada waktunya. Inilah jalan menuju kebahagian yang lain, yang mungkin bisa membuat kamu lebih bahagia. Siapa yang tahu? Lebih baik aku menikmati perjalanan ini. Sampai jumpa di Maluku Tenggara Barat, kawan.

 

Bogor, Mei 2011

-APD-


Cerita Lainnya

Lihat Semua