info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Tulisan untuk yang Kurindukan

Arum Puspitarini Darminto 13 November 2011
29 September 2011

Sebelum dia datang.

Aku menyiapkan ‘amunisi’ yang sekiranya akan aku pakai ketika aku membutuhkan. Aku mengumpulkan biskuit dan makanan-makanan cepat saji (selain mie instan yang kuhindari) yang bisa aku masak sendiri tanpa membutuhkan bumbu-bumbu lainnya. Hanya untuk jaga-jaga saja. Ketika pengalamanku bulan ini harus terulang lagi nantinya (tidak ada ikan segar dan terpaksa makan mie instan hampir setiap hari), aku bisa punya pilihan untuk makan makanan lain yang setidaknya lebih bergizi. Mie instan bisa diganti dengan susu, dan biskuit yang bisa aku andalkan untuk menjaga kesehatanku sebelum menahan lapar dan haus di 13 jam kedepan.

Aku akan segera memiliki pengalaman pertamaku berpuasa di tanah Maluku Tenggara Barat. Bulan ini terlalu istimewa, bukan hanya karena limpahan pahala yang lebih banyak dari bulan lainnya, tapi menjadi muslim satu-satunya di desaku pasti akan jadi cerita yang berbeda tentang ramadhan. Ya, satu-satunya yang puasa hanya aku. Di desa tetanggapun tidak ada muslim. Sudah bisa dipastikan tidak ada adzan yang membangunkanku untuk subuh dan tidak ada juga adzan yang menandai waktu berbuka. Tidak ada tayangan siraman rohani yang biasa aku tonton sesudah saur, tidak pula buka puasa bersama sambil reunian dengan teman-teman sekolah atau keluarga besar. Ramadhan kali ini harus aku siap saur seorang diri, menyiapkan makanan saur setiap jam tiga di tengah gelap. Apa yang akan aku alami sebulan kedepan?

***

Akhirnya dia datang.

Suara ini membangunkan tidurku. Tidak seperti suara biasa yang datang dari ponsel di sebelahku. Saut-sautan kokok ayam terbising selalu berhasil membuatku tersadar untuk segera meraba mencari senter. Penerangan yang aku butuhkan untuk melihat jam.

Selalu aku terbangun tepat di pukul empat. Setiap pagi yang gelap pekat, tidak cukup mampu menggodaku untuk terus terlelap. Terdengar suara aktivitas dari arah dapur, mengisyaratkan sudah ada kehidupan sebelumku terjaga. Masih dengan sarung yang membungkus badan, aku bangkit dari kasur beranjak menuju dapur.

“Loh? Mama kenapa bangun?” ujarku yang terkejut melihat mama piaraku sudah sibuk di dapur.

“Mama kasih panas nasi. Mari nona makan. Nasi su panas. Nona ambil ikang di dalam kas,” kata mama sambil membawa tempat nasi menuju ruang makan.

“Mama jang repot. Arum kasih siap sendiri sa,” kataku yang masih sulit mengucapkan kata beta sebagai pengganti saya.

“Dimana mama pung hati, liat nona saur sendiri. Seng apa-apa mo, mama hari-hari terbangun setiap jam tiga. Jadi mama su biasa. Seng baik makan nasi dingin-dingin, mama kasih panas supaya poro seng sakit. Mama bikin sayur sawi yang kalamarin nona beli di Saumlaki.”

Mamaku, mama piara maksudku, beliau menemaniku setiap saat aku saur. Setelah mama selesai memasak, mama menemaniku makan sambil bercerita tentang banyak hal. Dari cerita lucu sampai pembicaraan serius yang menyangkut kebiasaan adat desa ini. Hampir setiap hari aku tidak pernah saur sendiri.

“Nona makan sampe kenyang. Jang sampe siang poro sakit,” suara Bapak menimpali.

Bapak piaraku selalu rutin menasihatiku untuk menjaga kesehatan. Pernah suatu hari aku tidak terbangun saur. Hari itu aku lupa mengaktifkan alarm, ditambah kokok ayam itu tidak lagi bising di waktu biasanya. Bapak yang baru mengetahui aku tidak terbangun berkata, “sebenarnya bapak su bangun, nona, tapi Bapak seng tahu nona su puasa lai. Jadi bapak seng bangunkan, nona.” Bapak terlihat merasa sangat bersalah. Dalam satu hari itu, bapak bertanya kepadaku berulang-ulang, “poro sakit kah?”, “lapar kah seng?”, “nona lapar toh?”. Sampai akhirnya waktu sudah menunjukkan saatnya berbuka puasa dan mama memanggilku, “nona cepat buka puasa. Bapak su khawatir ska. Takut nona sakit. Nanti mama dapat marah kalau nona sakit.” Begitulah bapak piaraku. Orang yang sangat cinta pada keluarganya. Orang yang tidak bisa pergi bekerja ketika ada anggota keluarganya yang sakit.

Sama seperti mama, bapak juga menemani saat saurku. Bapak biasa menemani mama memasak, sampai akhirnya tertidur di beranda antara dapur dan ruang makan. Bapak biasanya mengatur pencahayaan lentera agar mama dapat melihat masakan yang sedang di masaknya, dan juga untukku agar aku dapat melihat makanan dalam piringku.

Seperti yang sudah aku bilang di awal, aku sudah siap untuk menyiapkan semuanya sendiri. Tapi ternyata segala bahan-bahan makanan yang aku beli sebagai amunisi, tidak dipakai. Pada bulan ini secara mengejutkan banyak ikan yang ‘datang’ di rumahku. Ada banyak yang datang memberikan hasil tangkapannya. “Untuk ibu guru yang puasa,” begitu kata tetangga yang baik hati.

***

Akhirnya dia akan pergi.

Aku tidak menyangka aku sekarang membereskan pakaian berangkat menuju Ibukota Kabupaten. Waktu terasa sangat cepat di bulan ini. Tiba-tiba aku sudah harus berangkat ke Saumlaki untuk merayakan hari besar Idul Fitri bersama teman-temanku. Ah, aku sudah sangat rindu dengan mereka. Kami susah sekali bertemu. Ini baru pertemuan kedua kami selama kami di berada di Maluku.

Sampai di Saumlaki, aku hanya dapat bertemu dengan tiga temanku saja. Tiga orang yang dari kecamatan Larat tidak ada kabarnya. Kami hanya dengar-dengar saja dari masyarakat Saumlaki kalau kapal feri dari Larat itu sedang diperbaiki, jadi ada penundaan pemberangkatan. Lagi-lagi kami gagal berkumpul dengan personil lengkap.

Malam takbiran di Saumlaki tidak banyak berbeda dari pengalaman takbiran di kampung halamanku, Banyumas. Gema takbir terdengar dari mobil-mobil pick-up yang berisi belasan orang memakai pakaian muslim sambil memukul-mukul bedug. Saat itu menandai besok adalah hari kemenangan, memasuki bulan syawal. Namun pada jam setengah 11 malam, pemerintah mengumumkan bahwa tanggal 1 syawal jatuh pada besok lusa. Entah bagaimana ceritanya, keesokan harinya pemerintah mengumumkan sholat ied tetap terlaksana. Aku berlebaran satu hari lebih dahulu dari kebanyakan teman-temanku dan keluargaku.

Bulan suci hampir usai. Tidak ada satupun dari lima ratusan mayarakat di tempat ini yang beragama sama denganku. Aku tidak merasa ada perbedaan antara bulan ini dengan bulan lainnya. Semua masih sama. Pusat perbelanjaan di ibukota kabupaten terlihat tidak bertambah ramai, baju muslim dan kerudung di pertokoan pun tetap sulit dicari, tanyangan religi dan lagu-lagu islami juga tidak pernah aku nikmati. Ya, susana yang tidak berbeda itu juga menjadi istimewa.

***

Dan saatnya dia berlalu.

Aku melihat lagi ke belakang, menengok jejak-jejak ingatanku tentang Ramadhan di desa yang dihuni oleh 138 kepala keluarga. Aku ingat kembali dengan persiapanku sebalum ramadhan. Sebelum aku menikmati puasa di desa yang seluruhnya tertutup pasir ini, aku membekali diri dengan berbagai bahan makanan yang akan aku masak untuk saur dan makanan buka puasa. Aku mempersiapkan diri untuk menyiapkan saur dan makanan buka sendirian. Ternyata tidak terjadi. Aku selalu ditemani kedua orang tuaku. Aku juga sudah menyiapkan amunisi bukan? Ternyata hanya terpakai satu kali di hari terakhir, sisanya aku selalu makan makanan segar dan sehat. Kebetulan sekali di bulan ini ada banyak sekali orang yang berjualan ikan, ada juga yang datang memberikanku dengan cuma-cuma, belum lagi bapak yang pergi mencari bia-bia (sejenis kerang) di laut untukku dan ada juga saudara-saudara angkatku yang memberikan hasil kebunnya untukku.

Ramadhanku di tahun-tahun sebelumnya identik dengan buka puasa bersama, bersilahturahmi dengan kerabat lama, makanan berbuka yang beraneka ragam, saur bersama keluarga, ngabuburit ke tempat-tempat favorit, belum lagi suasana ramadhan yang begitu terasa yang selalu mengingatkanku untuk memperbanyak ibadah dan meningkatkan ketakwaan di bulan ini. Tigapuluh hari istimewa ini bukan sembarang hari. Hari-hari inilah dimana setiap kenikmatan dilipatgandakan. Aku harus ingat itu karena suasana tidak akan ‘mengingatkan’. Suasana biasa saja, sama seperti bulan biasa lainnya. Suasana yang tidak berbeda membuatku tertantang untuk menciptakan nuansa Ramadhan yang biasa aku rasakan. Kali ini aku harus banyak berterimakasih kepada Bimbo, Hadad Alwi, Opick, Amanda, Gigi atas lagu yang mereka karyakan yang menjadi temanku selama sebulan ini. Berkat karyanya, aku benar-benar bisa merasakan saat-saat ini adalah saat terbaik untuk lebih mendekatkan diri pada sang pencipta.

“Aku sudah rindu akan kedatanganmu. Semoga aku dapat bertemu denganmu lagi tahun depan.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua