Pancaran Sinyal Hati

Arum Puspitarini Darminto 13 November 2011
29 September 2011 "Jadi, di daerah kamu gak ada sinyal?” “Iya.” “Bener-bener gak ada?” "Iya. Bener-bener gak ada.” “Terus kalo ada yang penting, ngabarinnya gimana?” “Pake sinyal hati aja.hehehe,” jawabku sembari tertawa kecil. Sepenggal percapakan santai dengan seorang teman sebelum keberangkatanku ke MTB. Sebelum aku benar-benar tahu bagaimana keadaan desaku. Dan sekarang, setelah 3 bulan aku disini, bercandaan itu ternyata menjadi nyata. Sinyal hati memang benar-benar ada. *** Suatu pagi yang berbeda dari biasa. Senin yang kedatangannya selalu aku tunggu-tunggu, sekarang menjadi Senin yang membuatku murung seperti hati sedang mendung. Ada sesuatu hal yang aku rasakan tidak nyaman di dalam dada. Kegelisahan pun mengiringinya. Aku mengabaikan apa yang dirasa. Ini adalah cara yang paling ampuh untuk bertahan di saat kondisi batin sedang tidak menentu. Segala strategi aku coba. Aku bernyanyi di pagi hari. Melantunkan lagu-lagu yang ‘melompat-lompat’ berirama cepat. Aku memakai baju kesukaanku. Aku juga berjalan agak cepat dengan senyum sewajarnya menyapa tetangga yang sedang beraktifitas di luar rumah. Semua itu aku lakukan untuk membuat hariku lebih menyenangkan. Aku tidak ingin awal minggu ini rusak oleh perasaan tidak enak yang belum terlihat penyebabnya. Sampailah aku disekolah. Dikelas aku berusaha untuk fokus pada kegiatan belajar bersama anak-anak. Berusaha mengamati pola tingkah laku anak-anakku untuk melihat kemajuan mereka. Tiba-tiba aku teringat satu buku yang harus aku bawa ke sekolah untuk pelajaran berikutnya. Sayangnya buku itu tertinggal di rumah. Lalu dengan izin pengawas harian sekolah, aku mengambil bukuku. Aku langkahkan kakiku menuju rumah. Dirumah aku bertemu bapak piaraku. Sambari aku melintas di depan bapak, bapak bercerita bahwa nanti sore akan ada motor laut yang pergi ke Saumlaki. Entah kenapa tiba-tiba rasanya aku ingin ikut kesana. Mencari sinyal. Takut-takut ada sesuatu yang terjadi dengan kerabat dekatku. Perasaan ini yang menuntunku. Otakku juga berfikir bagaimana meninggalkan anak-anakku selama satu minggu ini. Apakah aku rela? Tidak. Aku tidak nyaman sama sekali kalau harus meninggalkan anak-anakku terlalu lama. Dengan pertimbangan ini itu, dan melihat beberapa kepentingan di Saumlaki, aku akhirnya memutuskan untuk pergi. Sesampainya disana, betapa terkejutnya aku bisa bertemu dengan Dedi dan Bagus (dua teman PM MTB). Selama lebih dari 1 bulan ini aku tidak bertemu dengan mereka. Aku pergi ke kampung, dan mereka datang di kota. Mereka pun terheran-heran dengan kedatanganku yang sebelumnya tidak ada kabar. “Kamu adalah orang yang paling kami cemaskan, rum,” kata Bagus. “Kenapa?” “Karena kamu sama sekali tidak bisa dihubungi.” “Kamu bisa minta tolong Ratih untuk menitipkan surat ke aku lewat ojek. Bayarnya agak mahal sih. Memang ada apa?” “Kita ada kerjaan yang mingu depan akan dilaksanakan, ada pelatihan guru. Dan kamu jadi trainernya. Kita takut semua informasi ini gak bisa tersampaikan dengan jelas ke kamu. Kita cemas banget sama kamu, bingung gimana ngasih taunya. Eh kok kamu bisa-bisanya disini sekarang. Disaat kita 4 jam lagi kita pulang ke desa. Sini aku jelasin apa yang harus kamu lakuin,” kata Dedi sambil membuka laptopnya. Selama empat jam aku bersama dua orang temanku dari desa terujung di MTB ini, membicarakan rencana kegiatan kami ke depan. Entah bagaimana kalau aku tidak nekat datang ke Saumlaki. Entah bagaimana kalau aku tidak mengikuti kata hati ini. Mungkin aku tidak jadi ke sini, karena aku tidak tega menginggalkan kelas. Mungkin juga aku akan kebingungan atau terkaget-kaget karena harus siap menjadi trainer 100 guru lebih tanpa persiapan apa-apa. Aku jadi teringat perkataan seorang temanku, Wintang namanya (PM Bawean). Dia lulusan teknik fisika ITB yang pada persyaratan kelulusannya membuat penelitian mengenai bebatuan. Di suatu malam tanpa sinar bulan, di atas tanah agak basah terkena rintik hujan, di antara pepohonan di dalam hutan belantara, pada saat itu kami sedang survival di hutan. Mengisi kekosongan waktu, menghindari kebosanan, Wintang bercerita. “Batu itu sifatnya kan menghantarkan elektron. Di dalam tanah itu terkandung bebatuan. Kita ini manusia berasal dari tanah. Tentu kita juga memiliki sifat batu, yaitu menghantarkan elektron. Kamu pernah kan melihat orang yang sedang jatuh cinta? Pasti kamu bisa juga merasakan kebahagiaan yang dia rasain. Orang lain bisa ngerasain apa yang lo rasain. Maka dari itu rum, ketika kita jauh dari keluarga, kita harus menjaga elektron kita tetap positif, supaya yang ‘diterima’ oleh keluarga kita adalah pesan bahwa kita baik-baik saja. Kalau kita sedang dalam keadaan tidak enak, segera cari jalan untuk menjadi lebih positif karena lingkungan kita akan menangkap yang negatif juga.” Perkataan Wintang memang terbukti lewat pengalamanku di akhir bulan ini. Kegelisahan yang Bagus dan Dedi rasakan, terkirim sampai aku bisa merasakannya juga. Sinyal hati yang aku namakan itu memang benar-benar berfungsi. Berarti apa yang kita rasakan dapat terpancar sampai akhirnya terkirim dan diterima oleh orang lain. Pelajaran yang baik untukku agar terus menjaga sinyal hati ini lebih positif.

Cerita Lainnya

Lihat Semua