Perjalanan Anak Bangsa: Indonesia Mengajar (Chapter 9)
Ratih Diasari 13 November 2011Di sebuah negeri yang berlatarkan pasir putih. Hiduplah lima orang anak negeri yang kuat lagi pemberani. Mereka dibesarkan dari dua keluarga yang tidak pernah mengerti, apa itu hari raya yang membuat orang berbondong-bondong harus pergi ke Saumlaki.
Di sebuah negeri yang beratapkan bintang betaburan, hiduplah mereka dalam dua keluarga inti. Sama-sama hidup dalam keluarga pedagang, lima orang anak ini telah hidup lama dalam mayoritasnya sebuah perbedaan. Baru mendengar ada huruf a, ba, ta dan ja. Baru mendengar ada lagu tentang rukun islam yang enak dibaca. Baru mendengar kalau mengaji ada aurat yang harus ditutup dari ujung kaki sampai ujung kepala. Baru mendengar kalau islam mengajarkan untuk selalu berpuasa. Baru mendengar kalau pintar mengaji akan mendapatkan banyak pahala. Baru mendengar caraku mengucapkan nama Tuhan, dengan pengejaan yang akhirnya sama. Ya Allah, mereka baru mendengar di saat yang lain sudah bergerak ke zaman yang berbeda.
Pernah aku bertanya, “Tahu? Apa yang dilakukan orang-orang saat waktu lebaran?” Mereka serentak menjawab “sholat”. Di hari agung ini, yang mereka ketahui hanya soal sholat. Di hari lebaran, kami harus ke Saumlaki untuk pergi sholat. Sholat bersama yang harus dilakukan di sebuah lapangan besar milik Kepolisian Resimen daerah MTB. Hanya satu tempat saja, kami dikumpulkan untuk melakukan sholat bersama dalam lingkup kabupaten. Tidak ada pikiran lain-lain. Tidak beli baju baru, tidak membuat opor atau ketupat lebaran, tidak ada satupun yang kembali berniat mudik lebaran. Mereka hanya berniat sholat. Titik.
Lagi-lagi aku terheran-heran, mengapa hanya ingat sholat? Padahal anak-anak ini tak tahu bacaan sholat. Anak-anak ini hanya dididik untuk tahu bahwa mereka terlahir sebagai seorang muslim. Tak pernah tahu esensi kata maaf, apalagi bicara soal kemenangan atas upaya satu bulan penuh berpuasa di Bulan Ramadhan. Tak pernah mengerti apa yang orang-orang lakukan saat hari raya, yang mereka tahu hanya pergi untuk menyemarakkannya saja. Walau kemudian kembali kuingat sebuah kata-kata yang ku resapi begitu dalam maknanya sungguh mengena. Mereka tahu sebuah hal esensial yang tak semua anak terpikir untuk mengucapkannya. Mereka hanya menyebut kata ‘sholat’, tanda mengingat Allah lebih dekat dari orang yang telah lama berkutat atau sebelumnya telah lama mengikuti sanlat.
Sederhana. Mereka sungguh sederhana, dan karena kesederhanaan inilah aku banyak belajar dari anak yang baru belajar tumbuh dewasa. Aku diingatkan untuk selalu hidup sederhana. Aku diingatkan untuk sholat dengan seksama.
----------
Di negeri yang berbeda. Di negeri seberang yang tak jauh dari negeri yang membesarkan lima orang anak kuat lagi pemberani. Ternyata hidup pula sekelompok manusia sederhana, yang menetap ada di Saumlaki. Mereka berpakaian gamis panjang-panjang seperti gambaran masyarakat Jazirah Arab yang pernah aku temui. Mereka memiliki jenggot lebat-lebat, dengan pandangan yang selalu ke bawah, tak kusangka lambat laun mereka kerap bisa dikagumi.
Kira-kira kudapati mereka, ada sekitar sepuluh sampai tiga puluh orang laki-laki yang selalu sholat di dua masjid yang berbeda. Kebanyakan dari mereka memiliki suara lengkingan yang baik saat kudengar bacaan sholat dilantunkan di masjid kala sholat berjamaah. Aku selalu menyempatkan sholat bersama, jika aku sedang berada di kota. Sampai sejauh ini, tak pernah aku berinteraksi dengan mereka. Tapi anehnya aku selalu merasa tenang, walau cukup mengenal alunan khusyu suara mereka.
Di mataku mereka sungguh teramat istimewa. Mereka begitu dekat, dan terlihat saling mencinta. Berpakaian terbaik saat waktu sholat tiba. Mengharumkan diri dengan minyak wangi yang entah apakah sebotol dihabiskan semua. Selalu melihat ke bawah, mengikhtiarkan malu untuk menatap wanita. Kadang aku dibuatnya malu pula, jika kami bertemu dalam pertemuan yang kadang tak disengaja. Dan lagi-lagi aku kagum dengan mereka semua, karena secara merata semua lihai tahsin dengan pengucapan yang fasih sungguh terdengar sempurna.
Allah maha pembolak-balik hati. Semoga aku tidak dibuatnya galau dengan keadaan yang sungguh mempermainkan hati. Tapi ada satu hal menarik yang sampai dengan saat ini, seakan aku diiingatkan mereka untuk terus mengintrospeksi diri. Ini adalah soal sholat, dan lagi-lagi ini adalah soal sholat. Mereka mengajarkan aku, bagaimana seharusnya kita sholat dengan khusyu dan sepenuh jiwa. Bahwa ketika kita sholat sebenarnya kita sedang berbicara dengan siapa itu Maha Pencipta. Bahwa di waktu sholatlah sebenarnya kita sedang meminta kepada Yang Maha Mengabulkan doa.
Mereka mengajarkanku secara perlahan bagaimana harus menghayati setiap detil bacaan sholat. Mereka mengajariku bagaimana seseorang bisa kuat dengan sekedar khusyu ketika melakukan sholat. Yang kuingat setiap kali sholat adalah cara imam yang begitu halus mengajak kami untuk meresapi setiap jenak gerakan sholat. Imam selalu menarik kami hanyut dalam bacaan sholat, hingga akhirnya kami dapat larut berinteraksi dengan Zat pemilik jagad. Mereka adalah pasukan yang begitu dekat dengan Allah. Mereka adalah para penghapal Al-Qur’an yang berasal dari suku Bugis, Buton, dan Makassar. Begitu dekatnya mereka dengan Allah, rasanya cukup bagiku hanya dikenalkan dengan caraNya yang begitu sederhana, yaitu lewat sholat.
-------------
Di sebuah negeri yang juga berlatarkan pasir putih. Sepatah-sepatah akupun mendengar suaranya mengalir masuk ke telinga menembus sanubari. Ia mengkontak hati yang lama mendekam, kering, tak pernah terus diingati. Teman dekatku yang ada di utara jauh sana, menelponku untuk membicarakan masalah kegiatan kabupaten sampai kemudian mengajakku untuk membicarakan masalah hati yang semakin lama semakin menjadi.
Awalnya kami bergumam soal mimpi. Mimpi perubahan yang akan dituai, jika suatu hari nanti kan datang menjemput kami dan menjadi batas sebuah dedikasi. Waktu enam bulan yang tersisa, rasanya hanya sebentar dan mau tidak mau menuntut kami bergerak cepat menyelesaikan capaian indikator yang perlu ditilik kembali. Namun lambat laun, kami pun melemahkan obrolan dengan menyentil masalah hati yang seharusnya kali ini dapat dinasehati dengan gumamam bijak seorang kiai. Tapi apa daya, tangan tak sampai menjemput kiai ke pulau santri. Akhirnya hanya dapat mendengarkan suara temanku saja yang semakin lirih memberikan segenap kata sandi.
Hidup...hidup... Mengapa ya wanita selalu mau saja setia menunggu kedatangan mentari? Padahal bisa saja mentari hanya menyinari daerah yang ada di sebelah kiri. Artinya, bisa saja daerah sebelah kanan sedang mengalami hujan badai dan akhirnya tak dapati sinar teriknya tuk menjemur tumpukan pakaian yang semakin menjadi. Gumamku menyimpulkan pembicaraan kami, yang berkelok kesana-kemari. Sebenarnya malu juga karena pagi-pagi sudah menyampah dengan obrolan yang tak bertepi. Membicarakan hal-hal yang belum jelas akan dibawa kemana arah perjalanan gadis belia ini. Galau!
Tapi untungnya kami dapat menyelesaikan obrolan penting ini dengan sebuah tausiyyahnya yang cukup berarti. Entah dipikirkannya atau tidak, ia mengingatkanku untuk selalu banyak sholat. Ya, lagi-lagi sholat. Aku disuruhnya sholat tahajud. Banyak sholat. Banyak sholat. Banyak mendekatkan diri kepada Allah dengan cara sholat. “Lu itu ngak punya siapa-siapa lagi Tih, di sini. Hanya sholat yang bisa membantu lu menjawab keruwetan masalah dan menenangkan gelombang hati yang ngak jelas itu.” Ungkapnya seakan tak berarti, padahal bagi yang mendengar sungguh mengena sampai ke liang sanubari. “Lu tiap hari sholat tahajud ya?”, tanyaku penasaran pada teman dekatku ini. Jawabnya, “iya, emang lu enggak?”. Akupun lagi-lagi diam, malu tak bisa menjawab apa-apa. “Emang berapa jam kalo sholat?”, ungkapku seakan lupa dengan yang namanya sholat tahajud. “Ya satu jam deh, minimal”, katanya segera menjawab pertanyaanku, menjeplak tak lagi berpikir apa-apa.
Sholat, pray for ourself. Bukankah itu yang seharusnya kita lakukan untuk menolong diri kita sendiri? Mendekatkan diri kita kepada Sang Maha Pencipta. Mendekatkan diri kita kepada penentu takdir kehidupan kelak yang sebaik-baiknya. Mendekatkan diri kita dari kegalauan yang tak pernah jelas arah juntrungannya. Problem solving seorang muslim ketika mendapati berbagai ujian yang deras kian melanda. Bukankah sholat sebagai jawaban dari segala pertanyaan yang ada? Buat apa lantas lebih banyak bercerita, karena Yang Maha Tahu sebenarnya sudah menunggu kita untuk mulai segera berdoa.
------------
Kembali ke sebuah negeri yang berlatarkan pasir putih. Hiduplah lima orang anak negeri yang kuat lagi pemberani.
“Kak Ratih, sini aku cuciin saja bajunya”, seketika satu dari lima orang anak ini tiba-tiba saja mengungkapkan isi hatinya saat aku sedang mencuci piring di samping halaman rumah. “Untuk apa? Kan kakak masih punya tangan untuk mencuci” gumamku biasa galak kalau dengar hal-hal yang tidak semestinya. “Kami kan ngak bisa ngasih apa-apa ke kakak. Kami biasa kak mencuci di rumah, mencuci semua pakaian keluarga”, balasnya menandakan tidak ada tendensi apa-apa. Aku langsung membalasnya dengan senyum simpul, tanda hati yang sebenarnya duka. Berduka karena aku malu dengan diriku, jika teringat ketika aku sepantaran dengan mereka.
Anak-anak ini masih kelas V, namun sudah mencuci pakaian seluruh anggota keluarganya yang rata-rata berjumlah lima. Tak pernah terbayang bagaimana pembagian kerja diantara mereka. Harus menjaga warung, menjaga adik balita dan mengerjakan semua pekerjaan yang ada di rumah. Belum lagi menambah uang jajan dengan mencari rumput laut, teripang atau sekedar besi tua untuk ditimbangkan berapa besarannya. Kesedernahaan berbalut kerja keras, itulah dua nilai dasar orang tua yang mereka ajarkan untuk mendidik anaknya.
Pernah suatu ketika mereka mengajakku untuk mencari teripang di laut. Mencari teripang, guna hasilnya dapat dikeringkan selama satu hari, kemudian baru ditimbang guna mendatangkan hasil berupa uang. Membeli berbagai macam kebutuhan yang diinginkan dari uang yang didapatkan dari hasil mengais di tengah siang. Mereka mandiri dan jauh lebih mandiri dari pandanganku sebelumnya. Bersama mereka lebih lama semakin aku belajar tentang mahalnya mereka, andai saja sutradara tahu mana seharusnya bayi yang harus ditukar sebelum tayangkan film di layar kaca. Begitu hebatnya mereka dalam memanfaatkan peluang, membuatku selalu terkesima setiap kali mendengar mereka bercerita. Hidup sederhana. Lagi-lagi nilai itu yang selalu membuatku jatuh hati pada mereka berlima.
Sampai sebuah kesederhanaanpun akhirnya juga menakdirkan mereka menerima ‘takdir’ dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Suatu ketika hampir tiba waktu lebaran yang jatuh pada hari minggu berikutnya. “Kakak akan pergi ke Saumlaki untuk sholat pada idul adha esok?” tanyanya padaku begitu tiba-tiba. “Iya, insyaAllah. Emang Isna enggak?” Tanyaku kembali singkat padanya setelah pulang mengaji. “Emm...enggak kayaknya kak. Aku tidak punya mukena.” Akupun sekejap diam. Kabur. Tak tahu harus berbuat apa. Dalam hati akupun hanya bisa menyesali:
Mengapa di sini tidak dijual mukena?
Dan mengapa aku tidak begitu serius untuk sholat, padahal aku memiliki mukena?
*Adaut, 13 November 2011. Tepat dua bulan berlalu dan masih menunggu bantuan mukena dari Yogja yang hingga kini belum juga sampai ke alamat yang ada di kota.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda