Seperempat Abad untuk Selamanya

Sazkia Noor Anggraini 8 Agustus 2011

Hari ini umurku sudah seperempat kalau memang diberi kesempatan hingga genap seratus. Entah kenapa, melankolinya kontras dengan hura-hura ala tujuh belas tahun. Atau memang karena akhir-akhir ini aku menjadi lebih melankoli saja? Entahlah, tapi yang pasti ulang tahun yang biasanya tak ubahnya ritual kali ini begitu tidak biasa. Tidak ada senyum ibu dengan raut kusut baru bangun tidur di pagi hari. Tidak banyak telepon berdering, rentetan SMS, banjiran ucapan laman facebook, apalagi makan-makan bersama sembilan teman terbaikku.

Pagi hari sekali, aku sudah mulai terbiasa dengan sahur sendirian di tengah gelap dan dini hari yang dingin. Aku menyebutnya sahur kegelapan. Aku lalu tidur lagi dan tersadar kalau belum sempat membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) untuk jam mengajarku pagi ini. Aku juga ingat kalau hari ini adalah jadwalku berjaga piket, itu artinya setengah 7 aku sudah harus sedia di sekolah. Kebahagiaan pertamaku di hari itu adalah datang tepat waktu saat murid masih sepi sehingga aku bisa “menghindari” panggilan “ibu...ibu...” dan “serbuan” anak-anak di pagi hari. Kebahagiaan keduaku adalah ketika anak-anak mulai senyum dan memberikan selamat ulangtahun padaku. Kebahagiaan ketiga adalah saat menemukan cara untuk mengelola kelas 5 dan menemukan materi yang tepat untuk kelas 4 meski tanpa RPP (ups...). Kebahagiaan keempat adalah saat doa terucap dari seorang ibu guru sebelum memakan berkat makanan yang kusiapkan saat istirahat. Aku bahkan sempat menitikkan air mata karenanya. Aku haru karena sempat disinggung tentang jauh dari keluarga. Mudah sekali menyentuh hatiku karena ini kali pertama aku berulang tahun dengan jarak sangat jauh dari keluarga dan orang-orang terdekatku. Kebahagiaan keenam adalah karena aku berhasil menemukan cara membuat makaroni skutel kesukaanku dengan modifikasi dan bahan seadanya. Meski sudah dibeli di kota, tetap saja makaroniku tidak seistimewa biasanya. Tetapi bisa makan makaroni di sini? Sungguh kemewahan yang luar biasa. Tibalah pada kebahagiaan di ujung malam yaitu saat kunjungan ibadah dari organisasi pemuda. Organisasi ini adalah organisasi agama. Organisasi pemuda satu-satunya di desa dan pulau ini.

Tulisan ini kutulis tidak jauh dari waktu aku menyadari betapa banyak kebahagiaan yang kudapat hari ini. Sungguh seperempat abad yang istimewa, di tengah bulan suci, di antara perbedaan, di mana aku jadi satu-satunya orang yang memeluk keyakinan yang berbeda dengan semua penduduk pulau ini. Aku diberi waktu untuk kesaksian saat ibadah. Aku tidak tahu apa itu kesaksian dan merasa agak gugup bercerita tanpa persiapan. Akhirnya, aku menemukan kebahagiaan lain di balik kesaksian itu. Aku bilang di depan semua pemuda dan remaja yang datang bahwa aku akan bercerita dalam koridor pendidikan (bukan kata ini yang kupakai tapi kira-kira begitulah singkatnya). Aku lalu bercerita tentang cita-cita awalku untuk menjadi kasir atau penjaga loket karena kupikir orang-orang itu mempunyai banyak uang. Aku lalu bercerita tentang sulitnya bersekolah, kuliah sambil bekerja dan biaya yang sedikit banyak kutanggung sendiri, kehidupan keluargaku, cita-citaku yang terus berubah, dan alasanku ada di sini. Ulang berulang aku ceritakan ke teman-temanku di sini betapa aku pernah ada di titik terendah hidupku sampai akhirnya sampai ada di sini, berada di tengah teman-teman baruku. Kubilang juga bahwa berada di sini juga adalah salah satu cita-citaku. Aku ingin bisa menghirup udara yang pengap, ketidakadilan yang dibiarkan dan gurat kecemasan (yang ini tidak kusampaikan demikian tapi tersirat dalam ucapanku).

Aku juga cerita tentang pembuktian. Pada akhirnya manusia memang butuh pembuktian. Untuk dirinya sendiri, keluarga dan orang banyak. Aku memiliki cara sendiri dalam membuktikan bahwa ada check point tertentu yang manusia harus capai. Aku memastikan hal ini tidak hanya bisa didapatkan oleh satu seorang, tapi oleh semua orang. Di depanku saat bercerita ada Sopian yang lulus SD dan mendaftar SMP tapi sampai sekarang bahkan tidak menginjakkan kaki di sana, Lidya yang berhenti sekolah saat tidak naik ke kelas 6 SD, Pian yang sempat bersekolah di kota tapi kembali lagi ke desa dan tidak melakukan apa-apa, serta beberapa pemuda lain seumuranku tapi tidak lagi masuk sekolah sejak umur mereka 10 tahun.

Pada akhir kalimatku, kira-kira mungkin ringkasannya begini : Aku sudah berumur 25 tahun, umur di mana orang seringkali merefleksikan banyak hal, punya banyak rencana jangka panjang, dan bahkan sudah mencapai cita-citanya. Mungkin aku tidak demikian, aku hanya punya banyak mimpi dan dua minggu tidak habis kalau diceritakan pengalaman hidup, tapi semoga cerita dan mimpiku juga sampai ke kalian. Semangatku akan kutularkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin, aku telah membuktikannya. Patah semangat hanya akan menjadi senjata yang makan tuan. Aku juga telah membuktikannya.

Seperempat abadku memang tidak penuh dengan pencapaian, tidak juga titik di mana aku sudah mapan dan mampu menata rencana jangka panjang. Seperempat abadku bahkan masih jauh dari cita-citaku, seperempat abadku mungkin tidak spektakuler dan patut dirayakan. Seperempat abadku masih diisi api muda yang penuh resiko dan ego akan ketidakpuasan. Tetapi seperempat abadku yang kukenang di sini, meski singkat, waktunya cuma dua puluh empat jam, kuingat dan semoga mereka ingat juga untuk selamanya. Bahwa hidup tidak singkat, bukan sebatas jarak pandang mata dan berkejaran dengan keinginan adalah esensi untuk mengisinya. Kali ini, aku mencoba untuk membuktikannya.

-refleksi seperempat abad (you have been that far)-

Sazkia Noor Anggraini

Pengajar Muda Angkatan II Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara


Cerita Lainnya

Lihat Semua