info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kuhae !!! * (Bahasa Sangir yang diterjemahkan jadi “Sudah Jo!”)

Sazkia Noor Anggraini 15 November 2011

 

Sekolah sudah satu minggu berjalan, tetapi anak-anakku belum tahu “nasibnya”, nilai rapornya, bahkan statusnya yang naik kelas atau tidak. Padahal, murid kelas 1 baru sudah siap dengan pakaian seragam baru dan polesan bedak yang tebal nan belepotan setiap pagi. Mereka masih bersama-sama dengan siswa kelas 1 lama, duduk saling berdampingan, satu kursi panjang untuk empat orang saking sesaknya. 

 

Salah satu muridku, bernama Ongki Kahimpong. Dia terlihat paling necis dibanding teman-temannya. Rambutnya selalu terlihat basah dan “berdiri”. Ongki harusnya duduk di kelas enam pada tahun pelajaran ini. Tapi aku sudah mendengar berita buruk untuknya sebelum laporan hasil belajar dibagikan. Ongki adalah salah satu yang jadi perbincangan guru-guru dalam rapat. Di hari pertamaku masuk sekolah, bukan antusiasme dan harapan baru, melainkan obrolan mengenai kecurangan dan tidak naik kelas. Cerita tentang hari pertamaku di sekolah akan kubagi di lembar yang lain. 

 

Meski telah dirapatkan, laporan hasil belajar tidak langsung dibagikan. Hingga persisnya di hari Selasa minggu kedua waktu sekolah efektif, laporan baru dibagikan. Acaranya sederhana meski bersuguh kukis (kue) dan teh. Acara bagi rapor tanpa undangan ini baru dimulai jam 9, padahal kemarin disampaikan lewat anak-anak bahwa acara akan dimulai jam 8 pagi. 

 

Pembagian rapor kelas 5 adalah yang paling dramatis. Selanjutnya, acara pembagian rapor ini pun tak ubahnya sebuah pertunjukan yang dinanti sekaligus dibenci. Pagi hari sudah dimulai dengan berita tidak baik, yaitu bahwa ada dua orang yang tidak naik kelas di kelas 5. Jumlah murid kelas 5 hanya lima orang, itu berarti kalau ada dua orang yang tidak naik kelas, jumlah total murid kelas 6 hanya tiga orang. Pak Marthinus Makatanging, wali kelas 5 membacakan dengan berat hati nama-nama anak yang tidak naik kelas berikut panjang lebar alasannya. Nilai harian, ulangan, semester yang tidak mencukupi dan absen dari ujian akhir semester adalah beberapa dari alasan Jovandris Makawewe atau Juang dan Ongki tidak dinaikkan. Skala nilai Ongki hanya 10-30 dari total nilai maksimal 100 yang diharapkan. Aku sempat mengusulkan untuk remidi, tetapi persis anak kemarin sore. Usulku, akhirnya ditolak dengan alasan bahwa guru wali kelasnya adalah orang yang paling mengetahui kondisi muridnya. 

 

Saat pak guru membagikan rapor, dua orang ibu dari murid tersebut terlihat sangat marah. Wajah mereka berkeringat, menunduk atau malu karena anaknya tidak lulus. Ibunda Ongki kembali ke tempat duduknya setelah menerima rapor dan bersalaman dengan para guru yang berjajar rapi. Tidak lama duduk, Pak Guru masih melanjutkan nasehatnya untuk murid-murid yang tidak naik kelas. Tiba-tiba, ibu Juang sudah lebih dulu meninggalkan tempat duduknya menuju pintu keluar dari ruang kelas 3 dan 4 yang dibuka sekatnya. Ibu Juang mungkin merasa tidak butuh lagi mendengarkan petuah para guru karena anaknya sudah terlanjur tidak naik kelas. Tak lama, Ibu Ongki ikutan beranjak dari tempat duduknya, melipat kembali buku rapor anaknya dan berujar dengan lantang, “Kuhae!” sambil berlalu cepat-cepat keluar. 

 

Esoknya, baru dimulailah hari efektif. Seperti dugaanku sebelumnya, Ongki tidak hadir di kelas 5 yang kini berjumlah sembilan orang dengan dua orang perempuan dan tujuh orang laki-laki. Tapi diluar dugaan, Juang malah semangat sekali sekolah. Aku menjumpainya sedang duduk dan mencatat, pemandangan yang sangat langka dari saat pertama aku melihatnya. Aku menyempatkan diri berbicara dengannya, apa yang dia rasakan dan bagaimana yang seharusnya dia lakukan untuk bisa memperbaiki keasalahannya. Juang mulai sejak itu menjadi anak yang tadinya “liar” menjadi lebih tenang. Juang juga satu-satunya anak lelaki di kelas 5 yang paling rajin datang ke tambahan pelajaran. Tapi Ongki? Ke mana dia? Hari pertama masuk sekolah setelah pengambilan rapor dia tidak kelihatan. 

 

Cemas karena ketidakhadirannya, aku meminta beberapa anak yang harusnya menjadi adik kelasnya untuk menjemputnya di rumah. Mereka bergegas untuk pergi ke rumah Ongki yang tidak jauh dari sekolah. Ternyata mereka membawa kabar buruk, mama Ongki tidak mengizinkannya lagi untuk sekolah di SDN Kalama, tempatku mengajar dan tempat dia menghabiskan masa sekolahnya selama lima tahun ini. Mama Ongki menitipkan pesan padaku untuk tidak lagi menyekolahkan anaknya di SDN yang hanya berjumlah total 46 anak didik ini. Aku kebingungan sekaligus kalut, cobaan sudah dimulai sejak awal tugasku. Laporan dari anak-anak, Ongki sedang menangis merengek minta untuk tetap sekolah di Kalama. 

 

Esok harinya, keajaiban terjadi. Ongki, masih dengan rambut klimisnya yang berdiri tegak karena gel rambut andalan “Gatsby” telah hadir kembali ke kelas lima. Matanya yang bulat seperti telor mata sapi menatapku dengan penuh harap. Kulontarkan senyum paling manisku di pagi itu. Aku begitu bahagia sampai rasanya degup jantungku berjingkrak di dalam sana. Kubelai rambutnya yang keras dsan basah. Penasaran, langsung aku bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ongki awalnya tidak mau menceritakan hingga aku memulai topik dengan, “apa yang mama ada bilang?”

 

Ongki bercerita tentang keinginannya untuk tetap sekolah sedangkan mama bersikeras untuk memberhentikannya sekolah. Opsi lain, sang mama akan memindahkannya ke sekolah lain di Pulau Kahakitang, pulau induk dari Kecamatan Tatoareng yang jadi asal ibundanya. Sungguh sebuah keputusan yang tidak berimbang, kataku dalam hati. “Lalu apa yang membuat mama deng papa membolehkanmu lagi sekolah ulang di sini?”, tanyaku lagi. “Kita (saya) yang menangis minta tetap sekolah di sini Bu”, jawabnya. Aku menghela nafas. “Trus, sekarang mama bagaimana? Ada bilang boleh ngana pigi sekolah sini?”, tanyaku lagi penuh keraguan. “Iya...” ucapnya berat. Aku tidak percaya begitu saja mengingat ibunya penuh amarah saat penerimaan rapor. “Ibu akan datang ke rumahmu untuk bicara deng mama ya..”, saranku singkat. Ongki pun langsung mengangguk setuju. 

 

Esoknya, sepulang sekolah aku menunda makan siangku dan datang ke rumah Ongki yang letaknya di atas sekolah. Jalanan berlumpur sengaja aku lewati bukan untuk mendramatisir, tapi itulah satu-satunya jalan menuju rumahnya. Ongki sendiri yang mengantarku menemui mamanya. Saat aku mulai berbicara, ia berganti baju dan meninggalkan kami berdua. Aku memulai “kunjungan” itu dengan sebuah kalimat pujian, “saya senang sekali punya murid seperti Ongki yang cerdas, tidak malu berpendapat dan berbakat”. Aku lihat sunggingan senyum dan gigi yang berjajar rapi dari mama Ongki yang berwajah unik. Aku lanjutkan dengan sedikit penghiburan bagi sang mama yang terlihat cemas akan kedatanganku. “Ibu, kegagalan itu adalah teguran untuk menjadi lebih baik. Artinya, Ongki diberikan kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi. Bukankah hidup ini adalah rentetan pelajaran, kita tidak akan pernah berhenti belajar. Alangkah baiknya kalau kekecewaan yang ibu rasakan diganti dengan rasa bersyukur karena anak ibu diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi”, kataku lamat-lamat takut kalau ada ucapan yang salah penerimaannya. Perbedaan budaya bertutur membuatku lebih berhati-hati dalam berkomunikasi. Sejenak sang ibu melunak. Aku melihat binaran di matanya seperti mengiyakan ucapanku. 

 

Mama Ongki membalas ucapanku dengan kata-kata yang membuatku tersanjung sekaligus takjub. “Iya, Encik (panggilan untuk ibu guru muda) kelemarin (kemarin) Ongki nangis seharian minta sekolah ulang (kembali bersekolah) di sini. Kita (saya) suka dia pindah saja ke Kahakitang karena kalau ulang kelas lima di sini, gurunya masih sama dan muridnya tambah banyak jadi kemungkinan Ongki tidak bisa ikuti pelajaran dan bisa nyanda naik kelas”, serunya bergetar. Aku menelan ludah sambil tersenyum pahit. “Tapi Ongki bilang, sayang Ma kalau nyanda dilanjutkan di sini. Sekarang sekolah so bagus, guru so banyak, kegiatan so banyak. Cuman setahun Ibu (guru muda) ada di sini, sayang kalau kita (saya) malah pigi Kahakitang”. Aku takjub dnegan yang baru saja kudengar. Benarkah? Ongki mengulang kata-kataku untuk tidak menyia-nyiakan waktuku di sini. Aku pernah berbicara di depan kelas bahwa waktuku tidak banyak, hanya setahun, silakan diserap sari pati yang kupunya untuk kemajuan kalian. Aku tersenyum agak tersanjung. “Kita akhirnya juga setuju deng Ongki, toh tinggal sebentar lagi dia lulus”. Kalimat itu tiba-tiba menyiram kerongkonganku yang kering karena cemas dan haus. 

 

Kemudian suasana menjadi santai. Aku pun mencoba memastikan apakah sang ibu benar-benar ikhlas membiarkan Ongki tetap bersekolah di sini. Untuk lebih meyakinkan lagi, aku membuka banyak hal dariku untuk diceritakan padanya. Aku bercerita betapa buruknya aku dulu di sekolah. Aku juga berkeluh dan bersyukur akan pendidikan yang kudapatkan, lengkap dengan perjuangan ketika harus membiayainya sendiri. Aku berbagi tentang ketidakpuasanku dengan pedidikan formal dan betapa aku tidak ingin mengulanginya pada generasi penerus bangsa ini kelak. Ini baru kumulai di sini dengan Ongki sebagai salah satu dari harapanku. Aku yakin tidak ada yang sia-sia. 

 

Meski aku tahu, kekecewaan akan Ongki yang tidak naik begitu mendalam baginya. Aku mencoba memastikan hatinya bahwa pilihan yang Ongki buat kemudian disetujui bukanlah pilihan yang salah. Tidak ada alasan untuk menunda keberhasilan seseorang, tidak juga orangtua sendiri. Mama Ongki masih saja berkeluh tentang bagaimana cara pak guru menorehkan garis yang menerangkan bahwa ia tidak naik ke kelas 6 dengan dua garis tebal dan tegas. Padahal, kalau dibandingkan dengan keterangan naik kelas pada tahun lalu hanya dibubuhi satu garis tipis saja. That’s simple thing is matter here! Yah , inilah yang membuatku kebingungan untuk menjawabnya. Akhirnya dengan sedikit jawaban diplomatis aku mencoba tidak membela siapapun. Aku mencari alasan yang paling logis dan sederhana dari simple matter ini. 

 

Di akhir pertemuan ini, aku melihat hati sang mama yang terus melunak. Dari dalam kamar, aku lihat mata bulat Ongki makin bulat dan senyum di bibirnya membuatnya makin terlihat seperti anak India. Kulitnya yang gelap mengkilat memantul dari sinar yang masuk ke kamarnya. Aku mengerlingkan satu mataku padanya lalu tersenyum sangat lebar. Aku pamit dan sejak saat itu Ongki tidak pernah seharipun bolos sekolah, meski aku tidak masuk sekolah karena jadwal mengajar di SMP. 

 

Catatan:

Sejak saat itu juga aku percaya bahwa kata-kata “kuhae” memang seringkali digunakan dalam berbagai konteks. Aku mengartikannya sebagai sikap membiarkan, kalah dan tidak solutif. Pembiaran ini tidak boleh dibiarkan. Sebab pembiaran sejak kecil berakibat pada sikap apatis di kemudian hari.

 

Sazkia Noor Anggraini (Anggi)

28 Agustus 2011, saat menunda keberangkatan berlebaran di Tahuna karena obak kencang


Cerita Lainnya

Lihat Semua