Tidak Seburuk yang Kukira Dulu
Arum Puspitarini Darminto 14 April 2012Werain, 10 Maret 2012 Ini bulan yang ke-9 aku menjadi bagian desa ini. Desa di ujung pulau selaru. Jauh dari jangkauan listrik apalagi sinyal ponsel. Kali ini, ingin rasanya aku berbagi cerita tentang dua kebutuhan pokok masyarakat perkotaan itu. Tentang listrik. Pet! Listrik mati! Panik, resah, teriakan “yaaahhh..” pasti mengiringi. Apalagi setelah orang rumahku yang mengecek ... berteriak, “bukan anjlok! Mati lampu!”
Tidak ada listrik biasanya membuatku malas belajar dan sulit tidur. Setiap ruang dirumahku diberi pencahayaan dari api lilin. Lumayan menurunkan rasa takutku dalam kegelapan. Aku resah melihat ponselku yang sebentar lagi akan mati karena tidak bisa mengisi baterainya. Aku juga resah, takut-takut besok tidak bisa mandi sebelum pergi ke sekolah. Kalau lampu mati, rumah kami pasti kekurangan air. Untuk mengurangi kecemasan, biasanya aku berdoa supaya penderitaan ini segera berakhir. Cepatlah listrik ni kembali menyala.
Sekarang, aku tinggal di rumah bahkan di desa yang tidak ada fasilitas penerangan yang memadai. Desaku hanya dilengkapi dengan genset yang dimiliki beberapa warga. Terang di malam hari hanya bisa dinikmati dari jam 7 malam sampai jam setengah 11. Tidak lebih dari 4 jam. Setelah itu, penganti penerangan jalan di desaku adalah terang bulan. Aku yakin, masih banyak orang yang resah ketika listrik di rumah mereka mati. Sama sepertiku dulu. Aku tidak membayangkan bagaimana aku bisa menjalani kehidupan dengan listrik yang tersedia selama 3 setengah jam saja. Setelah aku merasakannya, keadaan ini tidak seburuk yang aku kira. Aku hanya perlu mencermati cara pemakaian laptopku di pagi-sore hari, mengerjakan hal-hal yang prioritas, tidak ada lagi games atau film, menurunkan level brigtnessnya sampai titik terendah dan mematikan musik. Aku juga harus membuat perencanaan bahan pengajaran apa saja yang butuh untuk di print di malam hari, agar 3,5 jamku yang penuh terang itu dapat aku pergunakan dengan optimal. Segala kegiatan yang membutuhkan listrik menjadi kegiatan wajibku setiap malam: charge laptop, print bahan perangkat mengajar dan setrika baju. Oh ya, mengisi baterai ponsel tidak lagi dalam kegiatan wajib setiap malam.
Tentang sinyal ponsel
Aku tidak lagi membutuhkan pengisian baterai ponsel sekarang. Ponsel smartphoneku yang biasanya dicolok dua hari sekali, kali ini hanya lima hari sekali. Di desa, ponselku hanya berfungsi sebagai alarm, kaca dan senter. Kadang-kadang lagunya menemaniku mencuci baju. Sebelum aku disini, hidup di tempat yang tidak bersinyal lebih tidak bisa aku bayangkan daripada hidup di tempat tak berlistrik. Berkunjung ke kota menjadi hal yang istimewa. Biasanya diperjalanan aku sulit memejamkan mata dan tertidur pulas. Di Perjalanan yang membutuhkan waktu 6 jam dengan motor laut itu, aku sering-sering melihat ponsel berkali-kali. Siapa tau sinyal ponsel dari kota sudah sampai terpancar di tempat ini. Di tengah laut ini. Biasanya setelah 4 jam perjalan, baru satu bar sinyal muncul. Harapan datang. Segera aku sms orang tuaku, mengabarkan 2 jam lagi aku sudah berada di kota. Setelah itu hampir dapat dipastikan aku tidak bisa tidur pulas. Banyak sms yang aku kirim untuk menjalin silaturahmi yang selama sebulan terputus. Sinyal menjadi sangat istimewa. Aku lihat list note ku yang berjudul “LIST To Do kalau bersinyal” melihat apa saja yang harus aku lakukan yang membutuhkan komunikasi dengan orang-orang di luar desa. Absennya listrik dan sinyal di desaku aku harap tidak selamanya. Bagaimanapun dua hal ini dibutuhkan agar desa pelosok bisa semakin maju. Harapanku belum terpenuhi sekarang. Tapi aku tetap bisa bersyukur dengan keadaan ini. Bersyukur masih ada genset, bersyukur tidak ada sinyal membuatku bisa lebih fokus dan tidak lagi terganggu dengan kegiatan BBM-an atau melihat timeline twitter, bersyukur bahwa aku bisa mengetahui lebih dalam arti kesabaran, bersyukur aku bisa belajar mengatur waktu di situasi yang belum pernah aku temui. Selalu ada yang bisa disyukuri dalam segala situasi.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda