info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mari Berproses!

Arum Puspitarini Darminto 16 April 2012

Berbicara mengenai kekerasan terhadap anak di sekolah, bukan barang yang baru untukku. Sebelum aku menjadi guru, aku bersama Yayasan SEJIWA menyebarkan misi kedamaian di sekolah-sekolah. Kami menginginkan bahwa sekolah-sekolah tersebut adalah tempat yang damai. Tempat dimana penerus bangsa yang bermoral dan berintelektual tumbuh optimal.

Aku pergi ke bermacam-macam sekolah di Jakarta untuk mengadakan berbagai kegiatan pelatihan, kampanye atau penelitian. Tidak jarang aku betemu dengan rekan dari NGO lokal lainnya dan juga pemerhati pendidikan untuk membicarakan isu kekerasan yang memprihatikan ini.

Kegiatan yang aku lakukan bersama SEJIWA ternyata belum cukup memberikanku gambaran tentang praktik kekerasan di dunia pendidikan. Aku belum memahami sepenuhnya tentang fenomena kekerasan yang ada di lapangan. Fenomena kekerasan terhadap anak di sekolah ini jauh lebih aku pamahami ketika aku benar-benar terjun sebagai pendidik. Apalagi pendidik di desa ini. Di Maluku. Dimana sterotip orang Maluku yang dikenal keras.

Di tempat ini, jarang sekali ada yang percaya dengan kekuatan pengajaran tanpa kekerasan. Setiap aku pergi ke rumah siswa, bertemu dengan orang tua mereka, banyak yang menitipkanku sebuah amanah. Aku diberi pesan yang mereka anggap paling mujarab untuk mengatasi kenakalan anaknya.

Orang tua berpesan: “Ibu, pukul dia saja.” Kalau orang tua berucap kalimat itu, aku tidak bisa tidak tersenyum. Rasanya rasa sayangku pada anak-anak ini bertambah besar. Senyumku mengiringi ucapanku kepada mereka, “maaf ibu/bapak, saya tidak tega. Saya akan membimbing mereka, sampai mereka mau belajar.”

Aku berucap dengan hati-hati, mengatur kata-kata agar tidak terkesan menggurui. Setelah aku pamit pulang, rasanya langkah kaki ini berjalan lebih cepat. Aku selalu pulang dengan semangat yang besar. Pesan itu selalu jadi bensin yang menyulut kobaran semangatku untuk terus berproses.

Aku akan tunjukkan anakknya akan lebih pintar tanpa kekerasan. Aku memilih untuk tidak berhenti, lalu balik badan. Mari berproses!

Jarang sekali ada yang percaya dengan kekuatan pengajaran tanpa kekerasan. Seperti contoh kejadian yang baru aku alami.

***

Sabtu, 4 Maret 2012 di SD Kristen Werain, pertemuan orang tua digelar. Sebuah kabar baik tentang sekolahku. Pertemuan orang tua murid yang diselenggarakan demi meningkatkan komunikasi orang tua dan guru adalah sebuah hal yang membuatku gembira akhir-akhir ini. Sekolahku sekarang satu langkah lebih maju.

Tak disangka, di pertemuan ini namaku disebut-sebut oleh orang tua murid yang berprofesi sebagai guru SMP di desaku. Beliau menyampaikan pendapatnya mengenai cara mengajarku yang menurut istilahnya ‘ke jawa-jawaan’.

“Kita berbicara mengenai karakter. Karakter orang Jawa itu bisa kita kasih tau sedikit, dia sudah menurut. Tapi kalo karakter orang Maluku ini, dia harus pake rotan kalo mau menurut. Kalau Ibu tetap pertahankan cara mengajar ibu yang seperti ini, pendidikan di desa ini tidak akan maju. Kita semua harus sepakat di dalam ruangan ini bahwa anak kita harus diberikan hukuman jika dia bersalah. Tidak bisa dibiarkan,” ucapnya dengan lantang.

Gaya bicaranya sangat meyakinkan. Aku pandangi orang tua murid di ruang itu. Banyak dari mereka yang mengangguk-angguk. Apakah ini pertanda mereka setuju dengan yang dikatakan bapak guru ini? Apakah di ruangan ini tidak ada yang mendukung cara mengajarku?

Bapak kepala sekolahku memberikan tanggapan atas pernyataan dan pertanyaan dari orang tua murid. Beliau menegaskan bahwa yang terpenting bukan memukul atau tidak, tapi bagaimana cara guru dalam mengajar dan juga cara guru dalam memberikan peringatan. Aku mungkin bisa dibilang beruntung. Di antara kepesimisan pengajaran tanpa kekerasan yang aku temui, aku masih menemukan orang yang mendukungku. Dari beliaulah datang bukti bahwa orang Maluku tidak semuanya memiliki sikap keras dan mengerasi orang lain. Beliau adalah sosok yang sangat menghormati orang lain,dan mampu bersikap asertif walaupun orang tersebut memojokkannya.

Dalam rapat-rapat guru, tidak jarang beliau mengingatkan kami (para guru) untuk mengajari anak dengan kasih sayang bukan dengan kekerasan. Jarang ada yang percaya pendidikan tanpa kekerasan itu bisa berhasil. Tapi yang perlu diingat, ketidakpercayaan ini tidak berlaku di sekolahku.

Pelan-pelan sekolahku menjadi tempat yang damai. Hasilnya sudah mulai terlihat. Para guru menjadi semakin percaya. Sambil guru-guru berproses dalam kelas, kepala sekolah berperan sebagai pengawas dan motivator untuk tetap istiqomah. Tidak ada yang tidak mungkin menurut kami.

Lalu apakah pendidikan tanpa kekerasan itu bisa berhasil? Kami percaya bisa.


Cerita Lainnya

Lihat Semua