6 Kelas, 4 Guru

Milastri Muzakkar 15 April 2012

Salah satu visi Gerakan Indonesia Mengajar adalah mengisi kekosongan guru di SD terpencil, di seluruh Indonesia. Visi ini betul-betul terlaksana dengan menempatkan Pengajar Muda di SDN Kepayang, Sumatera Selatan. Tepat sasaran. Umumnya, beberapa sekolah di desa, jika kelasnya ada enam, minimal gurunya juga enam.

Tapi di sini tidak. Cukup empat saja guru (semua non PNS) tambah satu kepala sekolah (PNS), untuk enam ruangan kelas, dengan delapan rombongan belajar. Setelah saya datang ke sini, saya langsung ditugaskan menjadi wali kelas 5. Namun, dalam keseharian-seperti pengajar muda lain umumnya-saya juga harus berkeliling ke kelas 6, 4, 3 (dan kadang-kadang kelas 2 dan 1).

Dengan semangat empat enam, saya mengangkat rok untuk mempercepat langkah dari satu kelas, ke kelas lainnya, dalam jam pelajaran yang sama. Belum lagi harus mengurus kelas yang ditinggal tadi - yang selalu keluar-masuk kelas jika tidak ada guru di dalam kelas. Kepala sekolah juga akhirnya menjadi wali kelas 4 untuk mengisi kekosongan. Jadilah sementara ini, gurunya cukup enam sehingga, paling tidak, tidak lagi setiap hari anak-anak terlantar.

Namun, karena kepala sekolah terkadang punya urusan dinas, maka kelas 4 pun harus dipegang wali kelas lain. Enam guru pun tidak cukup membuat anak-anak belajar sesuai jadwal apalagi intensif. Alasannya sederhana saja. Status guru honor sekolah, sebagaimana kita tahu, adalah faktor yang seolah-olah memaklumkan mereka (guru-guru) untuk belajar-mengajar sesuai caranya masing-masing.

Misalnya, wali kelas izin sampai berminggu-minggu untuk alasan menjenguk anak. Pihak sekolah tak bisa berbuat banyak atas kondisi ini karena alasan yang disebutkan di atas. Bagi sekolah, ada guru saja yang mau mengajar sudah cukup. Karena konon kabarnya, sudah ada beberapa guru (baik dari dalam maupun luar Sumatera) yang pernah ditugaskan di sekolah ini, tapi tak mampu bertahan lama. Sebelumnya, ada beberapa guru honor, yang juga putera asli daerah ini. Sayangnya, beberapa di antara mereka kemudian lebih tergiur bekerja di CV milik desa.

Yah, tentu saja ‘ampaunya’ jauh lebih besar, dan lebih pasti, dibanding harus menunggu ‘ampau’ sekolah yang kadang tak menentu. Ada lagi wali kelas yang dulu izin untuk menemani orang tuanya yang sedang sakit di luar desa. Namun, hingga sebulan lebih saya memegang sementara kelasnya, ia tak kunjung pulang. Malah, kabar yang baru saja terbersit, ia tidak akan kembali lagi ke sekolah. “Sebelum ibu datang, kami jarang belajar bu. Kami seperti anak terlantar, he... he..., lajulah (terus/lalu) kami main-main aja,” kata seorang anak suatu hari. Lalu, apakah semua kondisi itu menjadi penghalang untuk belajar? Tentu tidak. Bagi anak-anak di sini, mereka sudah sangat bersyukur karena di desa ini sudah ada sekolah. Sebelumnya, jika anak-anak di desa ini ingin sekolah, mereka harus mengikuti kelas jauh di desa lainnya. Belum juga lama didirikan, tahun 2006 lalu, sekolah ini terbakar beserta beberapa rumah penduduk. Buku-buku pelajaran pun ludes dilahap api.

Beruntunglah pemerintah kembali membangun sekolah ini sehingga anak-anak di sini bisa melanjutkan sekolah. Lagi-lagi, kondisi di atas tidak membuat anak-anak di sini patah semangat. Buktinya, anak-anak tetap semangat sekolah. Bahkan beberapa kali menjuarai lomba olahraga badminton, tarian daerah, dan dance modern. Dengan semangat itu pula, saat ini di sekolah kami sudah ada Perpustakaan Mini dan Majalah Dinding.


Cerita Lainnya

Lihat Semua