Karena Tidak Mandi

Arum Puspitarini Darminto 13 November 2011

Angin kencang menyapu halaman rumah, membawa sampah yang semabarang berterbangan bersamaan. Menaburkan debu-debu pasir di depan mata sampai kamu sulit melihat jauh ke depan. Dingin yang menyertai menambah perjuanganku untuk tetap bertahan disini. Di atas sante-sante, begitu biasanya masyarakat sini menyebut beranda.

Angin barat menemani kesendirianku, melantukan cuplikan bayangan-bayangan indah kemarin-kamarin. Seribu bintang mengatakan esok bukankah masih ada. Pohon yang rindang ikut terbawa lantunan angin bergerak kiri dan kanan seperti memberikanku nasihat untuk melupakan kerisauan dan segera bergembira saja. Setidaknya berpura-pura gembilah dahulu. Di bawah pohon di atas beranda milik keluargaku, aku melipat kaki, mendekapkan tangan mencari kehangatan dan memandang sekeliling.

Mencoba menajamkan segala indera untuk merasa, membatu hati untuk meraba. Mencari bukti tentang apa yang aku duga. Aku pejamkan mata agar telinga maksimal bekerja. Tidak ada yang aku dengar. Tidak ada bisik suara apalagi tawa. Lalu mata ku buka, menduga seriap bayangan adalah kehidupan padahal hanya pantulan cahaya dari bulan ke arah pepohonan. Malam ini tidak seperti biasa.

Aku sendirian saja.

Aku dengar hari ini ada yang berbicara dibelakangku. Bercerita tentang aku sebagai anak angkat seorang mantan pengawas sekolah dan elit desa yang sangat di dihormati di Werain –nama desaku-. Ada yang sampai ditelingaku sebuah nasihat dari rekan guru kepada murid-muridku agar tidak bermain denganku. Begitu peraturannya, jika ada yang melanggar rotan siap dengan gagahnya menghampiri badan.

Perih seketika rasanya aku mendengar ini. Bukan hanya karena kenyataannya malam ini aku tidak lagi bermain dengan anak-anakku. Bukan karena aku tidak lagi menghabiskan waktu dengan bercerita, bernyanyi dan belajar seperti biasanya sampai hampir tengah malam. Bukan hanya karena aku duduk di bawah pohon ini sendirian dan tidak ada lagi yang menghampiri seperi kemarin. Tapi lebih karena aku tahu pagi ini anak-anakku mendapat hukuman karena berani melanggar.

Aku merasa ada kejanggalan. Aku memang baru 2 bulan berkegiatan dengan guru-guru ini. Aku tidak yakin bahwa guru-guru ini sampai tega menghalangi aku untuk bermain dengan anak-anak ketika mereka tahu bagiku anak-anak adalah napasku di desa ini.Tapi apakah karena bermain denganku anak-anak ini lalu mendapat hukuman? Ini tanah Maluku, tempat yang katanya masyarakatnya bisa terbuka dan sulit memendam. Aku yakin ini hanya masalah kesalahan komunikasi atau ada sesuatu lain yang belum aku ketahui.

***Siang, keesokan harinya di sekolah**

Sepulang sekolah kami mengadakan rapat guru. Aku membicarakan masalah kemarin. Apa yang sebenarnya terjadi. Benar saja dugaanku. Mereka mengaku menasihati seluruh anak sekolah untuk tidak bermain denganku dalam keadaan kotor. Sebagai guru mereka malu jika anak-anak masuk ke dalam rumahku dengan perilaku yang tidak sopan (menurut mereka) yaitu dengan kaki yang penuh pasir, badan yang penuh keringat dan muka yang kotor. Mereka tidak mau dikira oleh orang tua angkatku tidak mendidik anak-anak dengan baik.

***Malam harinya di bawah pohon di tempat santai milik keluargaku***

“Ibu, tadi bapak guru deng ibu guru bilang la katong boleh main lai deng ibu. Bet su mandi habis, Ibu!”


Cerita Lainnya

Lihat Semua