info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Sekolah Kami, Laskar Perjuangan

Noveri Maulana 4 Desember 2011
Masih ingat bukan dengan SD Muhammadiyah yang ada di film Laskar Pelangi? Well, jangan heran kawan, ternyata di seantero nusantara ini, masih banyak sekolah lain yang bernasib sama, atau bahkan lebih parah dari kondisi sekolah yang ada di film itu. Lihat saja sebagian besar sekolah yang menjadi lokasi penempatan para Pengajar Muda. Bukan saja sekolah yang memiliki keterbatasan dalam hal kualitas dan kuantitas guru, namun juga merupakan sekolah yang terbatas dari segi hal sarana dan prasarana penunjang lainnya. Kekurangan yang dimiliki masing-masing sekolah itu begitu kompleks dan rumit. Mulai dari bangunan sekolah yang lapuk, fasilitas belajar yang kurang memadai, peralatan sekolah yang minim, guru yang tidak disiplin, murid yang belum teratur, dan masih banyak persoalan lainnya. Secara umum, begitulah kondisi sekolah yang didatangi oleh para Pengajar Muda di seantero negeri. Dan, salah satunya ialah sekolah yang saya tempati saat ini, SD Inpres 33 Buttutala, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Secara geografis, SD ini terletak di atas bukit yang relatif tinggi. Namanya bukit Buttutala, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene. SD ini terletak di tengah dua dusun, yaitu Dusun Beroangin dan Dusun Buttutala. Hanya dua dusun itu saja yang merupakan satu-satunya perkampungan di atas perbukitan ini. Jadi, tak heran, jika kondisi di sini begitu sepi karena kedua dusun ini hanya diisi 70 keluarga dan sisanya di sekeliling kami hanya ada hutan dan perkebunan kakao milik masyarakat. Mungkin, kalau saya perkirakan, bukit ini berada pada posisi 500 hingga 800 meter di atas permukaan laut. Tidak terlalu tinggi memang, namun, dengan kondisi geografis seperti itu, akses jalan dan transportasi menjadi persoalan utama di sini. Dari jalan raya kecamatan, satu-satunya transportasi yang digunakan untuk bisa sampai di sekolah kami ialah dengan menggunakan motor. Dibutuhkan waktu 30 menit hingga satu jam mengendarai motor untuk sampai ke kampung kami. Kondisi jalan? Hheeeuummm, sebagian besar jalan konturnya tidak rata. Ada sedikit aspal, namun sisanya banyak berbatu kerikil, tanah merah, dan bahkan ada beberapa jalur yang melintasi batu-batu besar perbukitan layaknya arena motorcross. Dan, semua itu merupakan perpaduan antara tanjakan dan turunan. Jalan datar di sini, tidak ada yang lebih dari 15 meter. Jadi, jangan kaget kalau di sini mengendarai sepeda motor hanya menggunakan gigi satu sepanjang perjalanan. Yah, kalau sudah mahir, sesekali bisa bermain di gigi dua J. Tapi, kalau musim hujan, kondisi jalan di sini akan jauh lebih parah. Butuh keberanian dan kecermatan yang tinggi untuk mengendarai motor. Salah strategi, motor bisa jatuh ke tebing yang membentang di sisi jalan. Kesulitan akses transportasi itulah yang membuat dusun ini terpencil. Sampai sekarang, listrik dari PLN pun tak pernah sampai ke kampung kami. Tiap malam. hanya aliran listrik dari genset saja yang menerangi rumah-rumah di sini. Namun, itu pun hanya bertahan dari pukul 6 sore hingga pukul 10 malam. Sisanya, kami hidup bercahayakan pelita atau obor kecil. Namun keterbatasan akses dan sarana ini tidak membuat warga kampung di sini menjadi orang yang tertinggal. Walau dengan aliran listrik yang seadanya, sebagian kecil rumah di sini sudah memiliki televisi dengan antena parabola. Yaah, walaupun sebagian besar hanya bisa nonton sinetron karena timing listrik yang hidup pada saat jam-jam sinetron, namun, kondisi ini juga memberi dampak positif bagi pola interaksi masyarakat di sini. Setidaknya dengan terbiasa menonton sinetron, warga kampung di sini cukup lancar berbahasa Indonesia, ya, walau masih dengan logat Suku Mandar. Karena itu, sejak awal kedatanganku, persoalan bahasa tidak menjadi kendala utama di sini. Karena posisi kampung yang berada di puncak bukit, keberadaan jaringan telepon seluler atau sinyal HP relatif lancar. Bagi PM, keberadaan sinyal HP menjadi harta karun tersendiri yang selalu dicari-cari. Jika teman-teman PM lainnya butuh usaha buat nyari spot yang bisa menangkap sinyal, di sini, sambil tiduran pun di kamar saya juga tetap bisa memainkan HP. Sungguh, dibalik keterbatasan yang ada, Allah memberikan kemudahan di bagian yang lainnya #ttsssaaahhh :D Sebagai sebuah perkampungan yang ada di perbukitan, kondisi geografis perkampungan ini tentu tidak rata karena mengikuti kontur perbukitan yang naik-turun. Penyebaran posisi rumah warga pun cukup acak, tidak terpusat pada satu titik. Begitu juga posisi sekolah, dari rumah tempat tinggalku, aku harus menempuh jarak sekitar 300 meter naik turun jalan menuju puncak bukit lainnya tempat sekolah berada. Tapi, sebagian besar muridku justru ada yang berjalan lebih jauh untuk datang ke sekolah. Sungguh, itulah sebuah semangat dan usaha maksimal untuk menimba ilmu. Karena posisi sekolah yang langsung bersebelahan dengan hutan dan perkebunan warga, terkadang, menurut pengakuan siswa, pada pagi dan malam hari, sering ada babi hutan yang berkeliaran di belakang kelas. Tapi, syukur sampai saat ini –dan hendaknya juga sampai nanti – saya tidak pernah melihat keberadaan babi hutan itu. Akan tetapi, walau dengan berbagai rintangan dan kendala yang kami hadapi, satu hal yang membuatku tetap bersemangat di sini adalah karena semangat dan antusiasme anak-anak itu. Di sini aku belajar bahwa memang benar, di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Seberapa besar pun rintangan dan masalah yang kau hadapi, ketika semangat dan optimisme yang kamu punya jauh lebih besar dari itu, niscaya semua hal akan bisa diatasi. All is well, begitulah semangat yang ditularkan oleh murid-muridku, sang laskar perjuangan, berjuang untuk mendapatkan secercah ilmu pengetahuan.

Cerita Lainnya

Lihat Semua