Jatuh Cinta

Arum Puspitarini Darminto 16 September 2011

Minggu terakhir di bulan Agustus ini  akan diadakan acara Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) se-kecamatan Selaru. Acara terbesar dan bergengsi di tingkat kecamatan ini dihadiri oleh 700an peserta  dan 22 diantaranya adalah anak-anakku di SDK Werain.

Pagi ini aku berada di desa tuan rumah, menemani anak-anakku di acara pembukaan acara yang paling ditunggu-tunggu masyarakat Selaru. Sayangnya, sore hari nanti aku harus pulang. Aku tidak bisa secara penuh mendampingi mereka sampai 4 hari kedepan. Sampai acara ini selesai.

Berat rasanya ketika aku harus meninggalkan anak-anak ini. Waktu Porseni yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri memaksaku untuk berpisah sementara dengan anak-anakku  untuk pergi berlebaran di Saumlaki. Sejujurnya aku tidak tega meninggalkan mereka."Kenapa aku harus pergi?" "Mencari sinyal untuk meminta maaf kepada kedua orangtuaku dan keluarga besarku." "Harus?" "Ini lebaran. Bagaimana seharusnya?" Dialog dengan diri sendiri bilang aku tidak punya pilihan. Aku kumpulkan semangatku pergi ke ibukota kabupaten. Aku hadirkan  wajah keluarga besarku di dalam pikiranku. Membayangkan berbincang-bincang dengan mereka, saling meminta maaf dan berbagi keceriaan hari besar bersama mereka. Lebaran hanya setahun sekali. Aku tidak punya pilihan.

"Ibu pergi dulu e" "Ibu mau pi Jakarta?" "Seng. Ibu pi Saumlaki sa." "Ibu seng tinggal saja mo" "Hari selasa Ibu lebaran,sayang. Ibu harus sholat di Saumlaki." "Ibu tinggal dolo bersama kita satu malam."

Tawaran mereka tidak bisa aku pikirkan ulang. Seperti yg sudah aku bilang, aku sudah tidak punya pilihan untuk bermalam di Fursui. Akalku berfikir demikian, namun hatiku berkata berbeda. Kakiku mendadak seperti terikat, melekat di tanah, sulit bergerak, enggan diangkat. Tidak tega sungguh melihat wajah anak-anakku yang akan aku tinggalkan. Aku sepertinya ingin disini saja. Keinginan dari hati yang berbicara. Semakin lama aku melihat mereka, semakin sulit raga ini meninggalkannya. Lebih baik aku bergegas pergi.

Matahari tampak sudah tertelan oleh permukaan air laut. Aku sekarang sudah berada di desaku, desa Werain, bergegas buka puasa dan bergerak cepat memasukkan peralatan ke tas yang akan aku bawa ke Saumlaki. Ojek sudah menungguku di luar rumah. Malam ini rencananya aku akan bermalam di Adaut, di rumah temanku sesama pengajar muda, sebelum aku melanjutkan perjalanan dengan motor laut ke Saumlaki.

Itu rencanaku yang ternyata berbeda dengan rencana Allah. Aku tidak diperbolehkan Bapak angkatku menempuh perjalanan dengan motor darat di malam hari. Aku harus menundanya sampai besok subuh. Ah, rasanya senang sekali mendengar larangan ini. Langsung terbayang desa fursui di otakku. Aku bisa kembali ke sana, menemani anak-anakku yang rencananya akan lomba puisi malam ini. Aku bisa kembali menemui mereka. Segera aku naik ke atas motor sambil mengatakan, "kakak, katong ganti tujuan. Ke Fursui ya, kakak."

Malam ini begitu lucu. Muka heran anak-anak akan keberadaanku sungguh membuat aku tersipu-sipu. Melihat reaksi pertama mereka ketika melihatku, membuat aku seperti sedang kembali merasakan bertemu dengan cinta pertama. Malu yang mendalam sampai membuatku salah tingkah.

"Ibu, bet rasa sayang sama Ibu. Ibu tadi pigi, bet menangis." Kata Ona, anakku yang hatinya gampang tersentuh. Disambut dengan upacan Lila, "katong hampir menangis semua, Ibu." Aku langsung memeluk mereka, "kenapa harus menangis? Ibu kan balik lagi." Mereka berdualah yang awalnya menyadari keberadaanku di tengah kegelapan bangunan Puskesmas yang menjadi tempat kami berteduh di desa ini.

Setelah itu, anak-anak banyak sekali yang mengerubungiku. Yanti memelukku tanpa kata. Cici (dan entah siapa, aku tidak dapat melihat dengan jelas) menarik-narik bajuku berusaha menarik perhatianku agar pertanyaannya segera dijawab: "ibu pi (pergi) dengan siapa?". Serasa aku ratunya malam ini. Aku sampai tidak bisa banyak bicara. Aku hanya banyak memeluk mereka satu per satu. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan dekapan dari belakang. Riki memelukku tanpa suara. Merangkulkan tangannya di leherku dengan sangat erat. Aku merasa oksigen begitu banyak di tempat ini. Aku bernapas dengan leluasa dengan hati berbunga-bunga. Belum selesai sampai disini mimpi indahku. Nico menghampiriku. Anak yang sulit didekati dan suka memukul ini menggenggam lenganku, "Ibu tadi bet sangat berharap Ibu ada. Ibu kembali lagi. Dan ternyata sekarang Ibu kembali. Bet benar-benar rasa semangat kalau ada Ibu," ujarnya dengan suara lirih dan lembut. Suara indah yang kudengar pertama kali dr mulutnya. Bukan suara Nico biasanya.

Keindahan malam ini bukan hanya bersama anak-anak yang selama ini dekat denganku. Nyongker, anak ganteng satu pulau Selaru mungkin, adalah salah satu keindahan yang istimewa buatku kali ini. Sebagai anak tertinggi di sekolah, nyongker selalu terdepan dalam hal bola voli. Dia selalu cuek denganku dan tidak pernah mau mengerjakan tugas. Aku tidak banyak berbicara dengan dia sebelumnya karena dia tidak mau aku dekati. Tapi malam ini dia berbeda. Keajaiban nyongker malam ini adalah ketika dia mengatakan sesuatu kepadaku sambil menunduk, "ibu, bet (beta) dengar suara ibu langsung semangat. Ibu disini sa (saja). Bet senang ada ibu. Bet bisa kasih smash buat lawan. Kasih mati semua."

Indahnya ucapan mereka semakin membuat aku jatuh cinta pada anak-anakku. Aku ingin mengungkapkan bahwa sejujurnya aku merasa terlalu beruntung. Anak-anak ini terlalu indah untukku. Untukku mereka adalah segalanya ditempat ini. Karena mereka aku bertahan, karena mereka aku selalu mengusahakan diriku yang optimal. Segala pengorbananku untuk mereka, anak bangsa yang memiliki hak mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas.

 

Werain, 28 Agustus 2011

-APD-


Cerita Lainnya

Lihat Semua