info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ada Satu Cara Lagi untuk Berbagi

Arum Puspitarini Darminto 23 September 2011

Di Werain, desa tanpa listrik dan sinyal telpon, masyarakat mengandalkan genset milik desa atau milik tetangga untuk menyalakan penerangan di kala gelap. Pada saat malam hari, pemandangan yang terlihat adalah pemusatan keberadaan masyarakat Werain di rumah yang memiliki televisi. Menyatukan kebersamaan mereka. Tontonan yang dianjurkan “di bawah pengawasan orang tua” ini memang benar-benar dipatuhi. Bukan hanya anak-anak, tapi juga orang tua mereka, om, tante mereka, kakak, adik mereka, kakek, nenek mereka terhipnotis pada cerita yang tak kunjung selesai. Tua, muda, besar, kecil membaur menyatu dalam drama sinetron fiktif yang bertele-tele. Sinetronlah yang menjadi jendela untuk mereka melihat ke kehidupan di luar desa yang dihuni oleh 438 jiwa ini.

Di sisi lain, aku melihat adanya antusiasme anak-anak yang besar untuk meninggalkan kebiasaan malamnya itu. "Dong e parlente, Ibu,” begitu ucap mereka ketika aku bertanya alasan mereka tidak menonton tontonan malam seperti biasa. Anak-anak berpendapat bahwa sinetron itu banyak bohongnya, dan mereka menambahkan, “nonton sinetron la dapat uang? lebih baik katong belajar dan membaca.”

Membaca. Aku tidak menyangka buku-buku yang aku bawa dari Jakarta yang jumlahnya tidak lebih dari 20 saja, menjadi rebutan sana-sini. Bukan hanya anak SD saja, tapi anak SMP juga ikut meminjam. Mereka ingin tahu banyak hal. Perputaran bukuku sangat cepat. Tidak heran keadaannya sekarang ini tidak semulus pada saat aku membelinya. Mereka senang melihat gambar-gambar binatang selain ikan, penyu, lumba-lumba, atau ular yang biasa mereka lihat sehari-hari. Mereka senang menghafal kosakata baru dalam bahasa inggris yang dikemas dengan gambar-gambar yang dicetak berwarna. Mereka juga senang dengan tebak-tebakkan pengetahuan yang aku ambil dari buku pintar atau flash card  karyaku.

Buku jadi salah satu alatku untuk bisa lebih dekat dengan anak-anak. Menyelami dunia mereka dengan mendongeng dan menceritakan kisah penuh moral dari bukuku. Aku selalu bangga mendengar mereka dapat mengucapkan dengan lantang pesan moral apa dari cerita yang mereka baca. Aku juga suka terheran-heran akan ingatan anak-anakku tentang isi cerita dalam buku yang mereka baca. "Ada bu, di buku yang besar itu cerita tentang bagian-bagian tubuh." Bahkan aku yang lupa.

Aku tidak perlu usaha yang terlalu keras untuk menanamkan budaya membaca pada anak-anakku. Tanpa diminta, ketika tugas mereka selesai, mereka meminta buku-buku yang aku bawa untuk dibacanya. “Buku apa saja yang bisa dibaca,” begitu katanya. Buku adalah benda yang mewah dan langka di tempat ini.

Menengok perpustaan milik sekolah bisa diibaratkan kandang kambing. Kotor, penuh debu pasir, jaring laba-laba, bau tidak enak dan berantakan. Perpustakaan ini sepertinya perpustakan "jadi-jadian". Buku-buku yang ada di lemari itu sebagian besar adalah buku pelajaran yang sudah tidak bisa menjadi sumber pengajaran di kelas karena diciptakan sesuai kurikulum terdahulu. Tapi buku ini juga masih berguna untuk anak-anakku, setidaknya masih ada buku yang mereka baca.

Di sekolah yang memiliki 98 siswa ini, tidak ada ada satupun yang memiliki buku bacaan. Disaat antusiame baca dari anak-anak sangat terasa, tentu kelangkaan buku di Werain menjadi hal yang sangat disayangkan.

Aku lalu berencana menambah koleksi bukuku. Aku merencanakan akan berburu buku ketika aku berada di Ibukota Kabupaten. Saumlaki namanya. Aku kelilingi satu kota ini. Ya, satu kota ini. Dari toko ke toko. Sulit sekali aku mendapatkan buku. Buku apapun. Yang banyak dijual hanyalah kamus. Aku mencari buku cerita, aku mencari LKS, aku mencari buku pelajaran, bahkan koran atau majalah yang aku dapatkan adalah “seng jual, Ibu.” Ternyata kelangkaan buku juga terjadi disini, di tempat teramai dan termaju di Maluku Tenggara Barat.

Begitulah keadaan di tanah Tanimbar. Cerita ini yang bukan hanya terjadi di desaku, tapi juga di enam desa tempat teman-teman pengajar dari Indonesia Mengajar tinggal.  Adakah dari kalian yang ingin berbagi dengan anak-anak kami? Menjadi penyala, penerang dalam kegelapan pengetahuan di tanah timur Indonesia dengan berbagi buku-buku yang kalian punya atau dengan mengumpulkan buku-buku dari kerabat yang kalian kenal. 

Ada beberapa cara untuk berkontribusi:

1. Menjadi “Penyala”di Indonesia Menyala dengan menghubungi Mimi (koordinator Pokja MTB) di 081283604236. Belum tau tentang Indonesia Menyala? klik http://indonesiamengajar.org/dukung-indonesia-mengajar/jadi-penyala/

Atau

2. Jika teman-teman ingin mengirimkan langsung buku-buku tersebut, bisa ke alamat:

Arum P. Darminto (Indonesia Mengajar)

d/a Bapak Marthen Bebena

Jl. Ir. Soekarno (dekat polres)

Saumlaki, MTB

Setelah pengiriman, harap menghubungi Mimi (koordinator Pokja MTB) di 081283604236 untuk mengabarkan no.resi dan tanggal pengiriman agar bisa dilacak keberadaan paket yang dikirim.

Mari kita berbagi, karena dengan berbagi hati ini menjadi lebih terisi.

 

Follow:

@Penyala (Indonesia Menyala)

@pengajarmuda (Indonesia Mengajar)

@earyuem (Arum P.Darminto – Guru di desa Werain, MTB)


Cerita Lainnya

Lihat Semua