info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Berita Siang Bolong

Arum Puspitarini Darminto 15 Juni 2012
Siang ini sangat cerah. Malah cenderung terik yang panasnya menusuk kulit. Orang di luar rumah berjalan beriringan. Tak peduli panas, mereka berjalan tanpa payung. Mengabaikan bedak di muka mereka yang akan luntur jika berkeringat. Baju terbaik dikenakannya, sepatu mengkilat tak lupa menyertai, ditemani dengan alkitab yang di bawa di sebelah tangannya. Hari Minggu yang ditunggu telah datang kembali. Hari libur dari pekerjaan, beristirahat bersama keluarga di rumah dan beribadah di gereja. Begitulah rutinitas Minggu milik masyarakat di desa terujung di pulau Selaru. Berbondong-bondong mereka menuju gereja karena lonceng sudah terdengar. “Bapak dan ibu, tidak ada yang keluar dari ruangan ini karena kita akan berdoa bersama. Ada salah satu anggota masyarakat ini yang sedang berjuang dengan penyakit demam berdarah. Kita semua doakan agar beliau mendapatkan kekuatan dan kesembuhan,” suara pendeta menggema di dalam gereja setelah ibadah Minggu selesai. Seketika anggota jemaat semua khusuk dalam satu doa. Untuk seorang masyarakat, yang tidak disebutkan namanya. “......Semoga dan selama-lamanya. Amin.” Pendeta menutup doa, lalu mempersilahkan jemaat untuk meninggalkan ruangan gereja dan kembali ke rumah mereka masing-masing. Satu persatu orang, dari anak kecil sampai nenek kakek, melangkahkan kaki meninggalkan gereja. Sampai di dalam gereja hanya tinggal ibu pendeta dan beberapa mantri yang baru datang dari desa tetangga. “Mama, jangan pulang dulu! Ada perlu sebentar.” Ibu pendeta menghentikan langkah seorang ibu paruh baya yang biasa dipanggil mama Lin. Si ibu menoleh, menghentikan kakinya. Melihat muka pendeta yang memasang pancaran kesedihan, sepertinya ada yang tidak beres, mama Lin pun menerka-nerka dalam hati. “Mama, katong dapat kabar ini. Ibu guru sedang sakit demam berdarah. Ini mantri-mantri ada datang, mau periksa nona.” Pendeta terdengar berhati-hati mengabarkan berita tentang anak piara mama Lin karena mama Lin sebenarnya masih dalam suasana duka. Salah seorang saudara dekatnya kemarin meninggal. Tak karuan pikiran mama Lin. Was-was sekali dengan keadaan anak piaranya yang sedang tidak dirumah. Baru kemarin anaknya pergi ke Adaut. Penyakit deman berdarah yang sudah memakan korban sangat ditakuti oleh masyarakat desa dan ini juga yang membuat mama Lin khawatir. Mama Lin mengingat-ingat keadaan terakhir anak piaranya. Seingatnya tidak ada keluhan apa-apa yang keluar dari mulut anaknya. Tidak ada wajah pucat ataupun badan lemas. Walaupun tidak ada tanda-tanda sakit, mama Lin tetap saja percaya dengan berita ini. Artinya nona Arum ini menyembunyikan penyakitnya dari keluarga. Kenapa nona tidak lalu bercerita sehingga keluarga segera mencari tindakan penyembuhan? Seketika terasa hati seperti mendung, gelap, cemas menyelimuti. Mantri lalu menjelaskan tentang diagnosa terhadap si nona kepada mama Lin. Mantri-mantri yang belum pernah bertemu dengan nona Arum sekalipun, menjelaskan seakan-akan diagnonasa berdasarkan hasil pemeriksaannya. Sampai mama Lin benar-benar percaya bahwa memang anaknya menyembunyikan penyakit berbahaya ini. Segera mama Lin melangkah pulang, menemui suaminya, bapak Onggo. “Bapak, sini cepat. Masuk kamar. Katong doa sama-sama.” “Kenapa?” Bapak tentu saja kebingungan. Kenapa tiba-tiba mama mengajaknya berdoa? Tanpa jawaban, mama Lin menyegerakan bapak untuk datang menghampirinya di dalam kamar. Herannya, bapak ikut saja. Walaupun bingung dan tidak tahu apa yang membuat mama Lin terlihat resah, bapak Onggo menyatu dalam doa yang mama Lin pimpin. Keheningan sesaat di dalam rumah. Bersama menyetel satu frekuensi berkomunikasi dengan Tuhan agar doa mereka di kabulkan. “Tidak mungkin. Nona tidak mungkin sakit.” kata bapak sesaat setelah mama Lin mengucapkan kata amin. “Bagaimana mungkin, nona seng pucat, muka ada baik-baik saja itu. Nona seng mungkin sakit.” “Bapak ini seng percaya? Tadi mantri-mantri dorang datang kasih kabar sekali par mama kalo nona lagi sakit. Katong kirim doa tadi par nona di gereja, tapi seng sebut nama. Pas mama keluar, ibu pendeta panggil mama, kasih kabar ini.” Saling membantah terjadi di kamar antara mama dan bapak. “Kalau begitu, bapak besok pigi ke Saumlaki, lewat Adaut. Singgah dulu di Adaut par liat keadaan nona dulu.” Akhirnya bapak memutuskan untuk lebih baik percaya saja, dan melihat langsung keadaan anak angkatnya di ibukota kecamatan. Menempuh 3 jam perjalanan yang tidak mudah dengan ongkos Rp 150.000 demi melihat keadaan anak piaranya. Hari ini. Di tempat yang tidak bersinyal ini. Mereka hanya bisa harap-harap cemas. Tidak bisa langsung memastikan kebenaran berita yang dibawa oleh mantri-mantri itu. Lantunan doa terus ada di dalam hati. Sampai menunggu besok, kepastian kabar ini baru ada. *** Dua jam kemudian ada suara orang berjalan mendekati dapur. Tempat mama Lin sedang sibuk menyiapkan makan siang. “Mama! Lagi apa?” “Heh? nona su datang? nona! nona kalo sakit itu bilang-bilang mama. Nona dengar e, ada mantri-mantri datang tadi cari nona. Katanya nona itu sakit demam berdarah. Ada bintik-bintik merah di badan. Itu penyakit yang seng boleh kasih biar saja.” Nona Arum mengerutkan dahi mendengar keanehan berita ini. Sepuluh hari yang lalu, Arum memang sakit. Badannya panas, mukanya memerah dan mual sehingga makanan tidak bisa banyak ia konsumsi. Panasnya tak kunjung turun sampai di hari ketiga, sehingga ia memutuskan untuk melakukan cek darah. Memastikan penyakitnya. Hasilnya malaria vivax ternyata yang sedang bersarang mengerogoti kesehatannya. Tidak perlu di rawat, hanya perlu mengkonsumsi obat secara teratur selama 2 minggu, makan minum teratur, istirahat yang banyak, lalu melakukan cek darah ulang setelah 2 minggu. Dua hari setelah mengkonsumsi obat, kondisinya jauh lebih baik. Lalu keesokan harinya, dia memutuskan pulang ke Werain. Demi istirahat yang lebih tenang, makanan yang lebih bergizi dan menikmati pemandangan kelincahan anak-anak didiknya dari balik jendela kamar yang menghadap ke alun-alun desa. Setelah sampai di desa, dia merasa badannya gatal. Seperti di strum di sekujur tubuh. Sungguh kagetya nona ini ketika dia melihat tangannya yang penuh dengan bintik-bintik merah yang menyatu membuat kumpulan bintik-bintik besar-besar. Lalu dilihatnya kaki dan sekujur tubuh. Merah semua. Penuh bintik. Ingin rasanya dia menangis melihat keadaannya yang seperti kepiting rebus. Segera ia menitipkan surat untuk temannya, Ratih, ke seorang guru yang mau menuju Adaut. Tempat sinyal dan puskesmas terdekat berada. Di surat itu, dia mengabarkan keadaannya dan meminta obat kepada dokter kepercayaannya di sana. Guru itu mengabarkan bahwa Ratih sudah membaca surat dan akan ke Werain esok untuk melihat keadaan Arum. “Ya Allah, sesungguhnya engkaulah yang memberikan penyakit ini dan engkaulah yang menyembuhkannya. Jadikanlah penyakit ini sebagai penghapus dosa-dosa hamba dan pulihkan keadaan hamba ya Allah,” doa, doa dan doa terus menerus dia ucapkan atas kesehatan yang sedang diuji. Dengan sabar ia menggosokkan tangan dan kakinya dengan doa yang tak henti-henti. Sampai lelah lalu tertidur. Bangun di pagi hari, empat hari yang lalu bintik itu hilang. Alhamdulillah, Allah mendengar doaku, desisnya dalam hati. Badannya sudah sehat kembali. Tanpa lemas, tanpa bintik, tanpa keluhan Arum berjalan ke sekolah seperti rutinitasnya setiap pagi di desa. Hari itu juga Ratih datang, aku dipanggil untuk segera pulang ke rumah. Ternyata dia sudah sampai. Melihat keadaan Arum yang sudah sehat, Ratih pun berucap syukur. Hanya sejenak Ratih menengok Arum, lalu dia kembali pulang dengan motor yang dikendarai pak camat. “Arum, kamu sudah sembuh? katanya keluar bintik-bintik merah?” kata pak camat ketika melihat Arum yang keluar dari kamar. “Sudah pak, sudah lebih baik sekarang. Iya kemarin memang begitu, tapi sekarang sudah hilang.” “Oh, syukurlah. Bapak sudah panggil mantri dari Namtabung biar datang periksa nona.” Oh...Jadi ini mungkin sebabnya, mantri-mantri ini datang ke desa dan mengabarkan Arum sakit. Arum memang sakit, tapi sudah sembuh empat hari lalu. Huh, bikin heboh rumah saja, kalo demam berdarah itu panas naik turun dan bintik-bintiknya tidak seperti kulitku kemarin, belum melihat keadaanku saja, sudah bilang aku ini demam berdarah. Untung aku segera kembali dari Adaut, kecemasan di dalam rumah tidak berlarut-larut, katanya sebal di dalam hati. Tapi Alhamdulillah, bukan hanya Arum, satu rumah pun bersyukur kedatangan mantri itu tidak diperlukan lagi. -APD- Werain, 10 Juni 2012

Cerita Lainnya

Lihat Semua