info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Pengorbanan

Maisya Farhati 14 Juni 2012

Aku melihat senyum Arif pagi itu. Senyum yang sama yang kudapat setiap aku bertemu dengannya di sekolah. Senyum yang menampilkan deret giginya yang tak sempurna. Senyum yang tulus dan apa adanya.

“Ibu...” sapanya.

“Halo, Arif... Selamat pagi,” aku membalas senyumnya.

“Pagi ibu...hehehe...” kemudian ia berlalu ke warung dekat sekolah untuk jajan.

Hampir setahun sejak kali pertama aku mengajar di SDN 4 Telukjatidawang. Selama ratusan hari yang kuhabiskan bersama murid-muridku, ada sisi-sisi pribadi dari tiap mereka yang terbuka. Ada sisi-sisi lain dari keseharian mereka di sekolah yang semakin kutahu, salah satunya tentang keluarga. Ironisnya, semakin banyak aku tahu, satu per satu rasa perih muncul di hatiku.

Di Bawean, banyak orang yang bekerja di Malaysia sebagai TKI.Tak hanya kaum pria, kaum wanita pun banyak yang meninggalkan kampung halamannya demi mencukupi kebutuhan hidupnya. They leave for a reason. A better life. Namun ketika hal itu dilihat dari sudut pandang anak-anak, maka ceritanya akan panjang. Bukan sekedar cerita tentang bekerja dan mendapatkan uang. Lebih dari itu, ada cerita tentang kasih sayang yang hilang.

Arif salah satunya. Anak kelas satu yang dikenal sangat iseng oleh teman-temannya itu, ternyata sudah lama ditinggal kedua orang tuanya. Arif sering datang ke sekolah dengan baju yang kumal. Ia pun lebih sering memakai sandal ke sekolah ketimbang memakai sepatu. Dan parahnya, ia juga punya kebiasaan memakai sandal terbalik antara kanan dan kiri. Aku sering sekali mengingatkannya namun keesokan harinya ia muncul lagi dengan sandal kanan di kiri dan kiri di kanan. Arif nyengir, aku geleng-geleng kepala.

Awalnya, aku mengira seorang ibu yang pernah kutemui di rumah Arif adalah ibunya. Di bulan kedua barulah aku tahu bahwa ia adalah nenek Arif. “Ini orang tuanya ada di Malaysia dua-duanya, Bu..” katanya menjelaskan.

“Oh...” aku mengangguk. Tanpa diminta, ia menambahkan, “Arif ditinggal waktu masih kecil sekali, Bu. Mungkin sekarang sudah tak ingat wajah ayah ibunya bagaimana.” Tiba-tiba sebuah rasa mampir di hatiku. Perasaan sedih, atau mungkin perasaan iba.

“Jadi ini tiga bersaudara ya, Bu? Rosadi, Arif, dan Kacong,” kataku seraya tersenyum kepada anak berusia sekitar empat tahun yang duduk di sampingnya. “Ini lain lagi, Bu. Kacong ini sepupunya Arif. Orang tuanya juga di Malaysia. Jadi sejak kecil mereka ini saya yang rawat semuanya,” ujar sang nenek.

Percakapan itu selalu kuingat dan membuatku mafhum akan semua perilaku Arif di sekolah. Pakaian yang tidak rapi, sandal terbalik, ‘LKS yang keriting’, buku tulis yang sering hilang (yang membuat ia tak bisa menemukan catatan sebelumnya. Itupun jika ia menulis), dan lainnya. Di rumah memang tak ada seorang ibu yang membimbingnya, memerhatikannya, mengajarkannya membaca, atau sekedar bertanya hari ini ia belajar apa.

Arif sebenarnya punya potensi di bidang akademik. Ketika aku berhasil mengambil perhatiannya untuk bisa fokus pada pelajaran, ia bisa menangkap materi dengan cepat. Ia juga aktif dan tidak malu-malu untuk menjawab pertanyaan atau mengemukakan pendapat. Sayang sekali aku hanya mengajarnya dua jam dalam seminggu, hanya di pelajaran Bahasa Inggris.

Di kelas satu, ternyata tak hanya Arif yang punya cerita demikian. Suatu hari tak sengaja aku mengetahui tentang keluarga Idris. Sampai pertengahan semester dua, Idris belum bisa membaca. Setahuku, sepanjang semester pertama, Idris jarang bisa diam di kelas. Ia sering menghilang. Apalagi dulu ruang kelasnya masih kayu setinggi dada orang dewasa, dimana ia bisa memanjat dan melompat sesuka hati. Oleh karenanya, ia baru bisa membilang angka dan tahu nama-nama huruf, namun ia belum tahu bagaimana menuliskan huruf dan angka. Kemudian aku yang bukan wali kelasnya ini berinisiatif memberikan PR menulis setiap hari bagi Idris.

“Rusdah, tolong ingatkan dan bimbing Idris ya. Ibu kasih PR untuk Idris,” pintaku kepada Rusdah, kakaknya.

“Idris tidak tinggal sama saya, Bu. Dia tinggal di rumah Kunding.” Jawab Rusdah. Kunding adalah sepupunya.

Lalu aku menghampiri Kunding dan meminta hal yang sama kepadanya. Dengan santainya Kunding berkata, “Tapi Idris bukan adik saya, Bu. Dia diurus ibu saya karena orang tuanya di Malaysia.”

Gosh. Rusdah tinggal bersama neneknya. Idris tinggal bersama bibinya. Sedangkan kedua orang tua mereka berada jauh di negeri orang. Idris seperti kurang diakui dimana-mana. Dan entah pola asuh seperti apa yang dijalani keduanya. Dan hatiku teriris lagi. Pernahkah mereka merasa rindu dipeluk ibu? Pernahkan mereka ingin bermain-main dengan ayah? Sedihkah mereka ketika rindu itu hadir? Dan seketika itu pula aku merasa lebih rapuh dari murid-muridku yang selalu kuat dan tidak protes akan apa yang terjadi pada mereka.

Setelah Arif dan Idris, di hari yang lain, aku menyapa seorang ibu saat hendak rapat wali murid. “Ibunya Irfan ya?” sapaku. Ia mengangguk ragu. “Sebenarnya Irfan itu bukan anak saya, Bu. Dia keponakan. Ibu dan ayahnya sudah bercerai,” ujarnya ringan.

“Orang tuanya?” tanyaku hati-hati.

“Kerja di Malaysia dua-duanya, Bu. Irfan dititipkan ke saya. Kasihan juga kalau tak ada yang urus,”

Sedikit demi sedikit puzzle tentang Irfan membentuk suatu gambar yang utuh. Aku teringat ketika pertama aku mengenal Irfan, ia adalah anak yang jarang tersenyum. Wajahnya tak jauh dari suram setiap hari. Kalau bicara nadanya seperti orang marah-marah.

Saat aku mengajar menggunakan boneka tangan, aku pertama kali melihat Irfan tersenyum. Itupun ia sembunyikan seolah tak mau aku tahu. Seolah ia takut jika orang lain melihatnya tersenyum. Jika aku menoleh ke arahnya, wajahnya datar lagi. Namun aku tak bosan menyapanya setiap pagi. Ia harus terbiasa dengan sapaan dan senyuman. Awalnya sapaanku dibalas Irfan dengan senyum yang tertahan. Kini, jika aku menyapanya, ia sudah bisa dengan lantang menjawab, “Selamat pagi, Ibu...” Dan kini tersenyum bukanlah sebuah pantangan baginya.

Arif, Idris, dan Irfan adalah tiga anak yang disatukan oleh sebuah benang merah. Mereka punya problematika masing-masing. Satu hal yang sama adalah mereka sama-sama terpisah jauh dari orang tuanya. Sebagian anak di dusunku berhasil melalui fase itu. Bahkan salah satu muridku kelas 6 yang berhasil mengikuti semifinal olimpiade sains, juga ditinggalkan orang tuanya ke Malaysia sejak kecil.

Banyak muridku yang kunilai kuat. Mereka tidak cengeng karena memang sudah terbiasa jauh dengan orang tua sejak kecil. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa pasti ada yang hilang dalam hari-hari ketika mereka tumbuh. Ada kebersamaan yang hilang, yang tak bisa digantikan dengan kiriman uang. Aku tak bisa menyalahkan orang tua. Dan aku percaya semua orang tua menyayangi anaknya. Mungkin ini adalah suatu hal bernama pengorbanan. Arif, Idris, dan Irfan adalah tiga dari banyak pemeran dalam episode pengorbanan dalam kehidupan ini. Semoga kelak pengorbanan ini berbuah manis.


Cerita Lainnya

Lihat Semua