Beguna Bagi Nusa dan Bangsa

Arum Puspitarini Darminto 24 Desember 2011

25 Oktober 2011

Sabtu siang yang terik, aku dikasih kesempatan untuk berdiri di depan kelas sebuah sekolah menengah atas di ibukota kabupaten. Aku mengajak siswa SMA untuk bermimpi. Bertanya tentang harapan orang tuanya, bertanya tentang harapan mereka tentang hidup merka kelak. Ada sesuatu yang sangat menarik ditelinga.

Mereka bilang, “aku ingin berguna bagi bangsa dan negara.”

Kalimat itu masuk di telinga dan langsung menjalar menyetrum dada. Kata-kata yang membuat saya terbang ke lebih dari 13 tahun yang lalu. Aku melayang ke sebuah tempat di kawasan kalimalang, tepatnya di komplek Kodam. Berada pada memori jam 7 pagi di hari senin. Seperti kebanyakan kegiatan sekolah di hari itu, di awal minggu, selalu diawali dengan upacara bendera. Kegiatan yang sejujurnya malas aku ikuti pada masa itu.

Aku tidak bisa menghayati makna upacara bendera. Aku tidak suka berdiri lama dibawah terik. Tapi aku tidak memilih untuk kabur, atau datang telat agar aku tidak ikut upacara. Pilihanku adalah mengikuti peraturan saja. Aku malas mendapatkan hukuman. Aku malu sama teman-temanku, jika aku dihukum. Biasanya anak yang telat punya barisan yang terpisah dan setelah upacara selesai anak-anak di barisan khusus itu tidak diperbolehkan masuk ke dalam kelas sebelum mendapat hukuman. Dan otomatis mereka akan jadi tontonan siswa satu sekolah yang kira-kira berjumlah 700an orang.

Aku lebih baik menurut. Aku diperintahkan untuk diam dan mengikuti kegiatan. Satu-satunya motivasiku adalah melihat pasukan pengibar bendera. Pasukan pengibar bendera sekolahku selalu terlihat lebih gagah dari siswa lainnya. Dengan memakai sarung tangan, syal merah, peci hitam dengan pin garuda Indonesia, sepatu hitam dan seragam putih-putih, mereka membuat barisan dengan rapih. Aktraksi baris berbarislah yang menjadikan hiburan di tengah kepenatan untuk diam dan rasanya sebagai penyegar di kala panas terik yang menusuk dan kekakuan kaki yang berdiri tegang selama satu jam.

Setelah pasukan pengibar bendera selesai melaksanakan tugasnya dan kembali ke tempatnya, saatnya aku berada pada bagian upacara yang paling membosankan dari seluruh rangkaian upacara. Amanat pembina upacara. Aku bosan mendengarkan nasihat yang setiap minggu selalu sama, aku disuruh belajar dengan rajin, menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa.

Berguna bagi bangsa dan negara. Ketika aku berumur 6 tahun, kalimat yang aku pahami pada waktu itu berarti aku menjadi pahlawan super yang bermanfaat dari ujung barat Indonesia sampai ujung timur Indonesia. Susah sekali. Kenal kerabat di Aceh atau Papua saja tidak.  Untuk bangsa sebesar ini, aku bisa berbuat apa? Apa aku harus jadi presiden sebagai bentuk pengabdianku untuk negeri ini? Aku ingat sekali, pada saat itu 17 tahun yang lalu, hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang melintas di pikiranku ketika guru-guruku kembali mengulang kalimat keramat itu.

Berguna bagi bangsa dan negara. Di umur 23 tahun, dikala aku memutuskan menjadi pengajar muda, aku teringat kata-kata itu. Aku manfaatkan 1 tahunku untuk bisa berguna bagi bangsa ini. Membagikan ilmu yang aku punya dan mengerahkan tenaga yang aku miliki untuk sebuah desa di pinggir Indonesia.

Berguna bagi bangsa dan negara. Ada banyak caranya. Menjadi seorang ibu rumah tangga yang mengasuh anaknya dengan kasih sayang dan tanpa kekerasan sehingga tumbuh anak bangsa dengan sifat jujur. Menjadi pencipta lagu yang bisa menginspirasi pendengarnya untuk selalu berusaha dalam kesulitan atau menjadi seorang penari yang mempromosikan kekayaan negeri ini sehingga negara lain ikut mengagumi kemewahan yang kita miliki atau pekerjaan mulia lainnya.

Pilihanku sekarang adalah menjadi seorang guru yang terus mengingatkan kepada siswanya kenapa kita harus belajar, kenapa kita harus harus sekolah dan kenapa kita harus menghargai orang lain.   Bagaimana dengan kamu? Apapun caranya, yang terpenting satu cita-cita kita bersama. Berguna bagi bangsa dan negara. Tersenyumlah, bangsaku!


Cerita Lainnya

Lihat Semua