Airmata pertama

Valisneria Utami 24 Desember 2011

 

“Berapa kali Ibu katakan kalau tidak ada satupun murid Ibu yang nakal apalagi bodoh disini ! Kalian harus yakin kalau kalian pasti bisa, pasti mampu! Kalau ada orang yang berani bilang seperti itu, Ibu siap membela kalian! “

Bulan Desember tiba. Itu tandanya aku, para guru, dan murid – murid disini akan mengahadapi suatu perayaan akbar, Ulangan semester. Pelaksanaan ujian sendiri dimulai tanggal 19 Desember  dan berakhir pada tanggal 24 Desember. Layaknya pelaksanaan ujian, aku dan guru – guru sibuk menyiapkan soal. Kami berdiskusi. Bukan main ternyata pusingnya membuat soal, karena kami dituntut untuk menyesuaikan dengan standar yang ada, artinya soal yang diberikan tidak boleh terlalu susah atau terlalu mudah sedangkan faktanya dilapangan masih banyak murid – muridku yang belum lancar perkalian sederhana dan membaca padahal mereka sudah duduk di kelas 5 dan 6. Hari itu hari Jum’at usai ku mengajar di kelas 4, aku mencoba membuat draft soal matematika kelas 5. Entah sudah berapa kali kuulang pekerjaan itu. Selalu saja terngiang wajah muridku yang nanti akan berkeringat dingin, garuk – garuk kepala atau bahkan mengantuk dan tertidur nyenyak ketika melihat soal yang kubuat. Aku lalu mencoba kembali menerobos ruang waktu ketika masih seusia mereka. Aku masih ingat betul bagaimana nenek dan kakekku (ketika masih kecil, aku tinggal berjauhan dengan orang tua karena alasan pekerjaan) membangunkanku pagi – pagi buta untuk mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan, lalu sholat subuh, sarapan dan berangkat ke sekolah. Sekembalinya dari sekolah, sudah menunggu buku – buku pelajaran lain untuk dibuka dan dipelajari. Hampir tidak ada waktu untukku buat sekedar bermain atau menonton TV. Satu hari diisi full dengan kegiatan belajar, belajar, dan belajar. Mulai dari PPKN sampai pelajaran bahasa Sunda. Dari soal berjenis pilihan ganda sampai bentuk essay semuanya habis kumakan. Kadang ketika sudah tidak kuat aku menangis sendiri, dan kalau sudah begitu barulah kakek dan nenekku memberikan sedikit kelonggaran.

Tapi bagaimana dengan bintang – bintang kecilku disini ? Bisa dibilang, dibanding dengan pola didikan kakek dan nenekku yang “disiplin”, mereka jauh lebih santai dan bebas. Mereka tahu akan ada ujian, tapi mereka terlihat biasa saja. Entah karena mereka sudah sangat paham dengan materi yang akan diuji atau mereka tidak peduli. Memang ada beberapa anak yang rajin, mereka datang kerumahku, membawa buku catatan pelajaran mereka yang tampak mengeriting, lalu kami mulai belajar bersama. Tapi sebagaimana anak  - anak, benteng pertahanan ini mulai goyah ketika teman – teman mereka yang lain datang memanggil dan mengajak mereka bermain bola atau pergi ke kebun, menunggu durian jatuh atau mengambil buah langsat..

Aku termenung sendiri melihat sikap dan tingkah mereka. Aku mencoba bersikap positif dan berfikir bahwa yang mereka lakukan bukanlah bermaksud untuk menyepelekan pelajaran yang akan diujikan. Mungkin mereka belum mengerti dan paham dan kalau ingin bertanya mungkin mereka terkendala dengan masalah kepercayaan diri, mereka tidak  berani bertanya. Pikiranku ini juga kembali dihantui dengan ketakutan bagaimana nanti dengan pelajaran matematika ? Mata pelajaran yang kubimbing selama ini kepada mereka. Bisakah mereka menjawabnya? Bagaimana kalau nilai mereka jelek? Gagalkah saya sebagai seorang guru ? “Saya harus memberikan mereka les tambahan lagi..” ucapku dalam hati.

Hari selasa sore kupilih sebagai hari untuk les matematika. Kukatakan kepada murid kelas 4, 5, dan 6 agar datang ke sekolah untuk belajar matematika. Tepat jam 3 sore semua anak – anak sudah berkumpul di sekolah sambil membawa buku – buku mereka. Kelas 5 dan kelas 6 kugabung karena kemampuan mereka yang hampir sama, selain itu materi pelajarannya pun mirip – mirip sehingga memudahkanku dalam memberikan soal sementara kelas 4 kuberikan kesempatan untuk bermain dulu menghabiskan energi.

20 menit pertama berlangsung lancar. Kami mengawali kegiatan dengan berdoa dan tak lupa aku memotivasi mereka dengan melihat kembali target nilai yang mereka inginkan untuk nilai ulangan semester ini. Nilai itu mereka tulis besar – besar dalam kertas warna - warni di dinding kelas. Tidak ragu – ragu mereka menuliskan nilai 100 untuk semua nilai ulangan. Ditambah lagi tulisan mantra  sakti “PASTI BISA” yang tak pernah bosan kuucapkan kepada mereka, masih di kertas yang sama. Tidak berapa lama, datang beberapa anak – anak remaja tanggung  yang mengintip dari balik jendela. Awalnya kubiarkan saja, mungkin mereka hanya ingin melihat tapi semakin lama kulihat mereka semakin mengganggu adik – adiknya yang sedang belajar. Ada yang bernyanyi kencang sekali, menjahili bahkan membuat lelucon. Suasana kelas perlahan kacau. Semua sinyal – sinyal yang kuberikan tak lagi mempan. Anak – anak mulai berlarian dan tak lagi memperhatikan. Ditambah lagi murid – murid kelas 1 dan 2 yang daritadi asyik bermain di lapangan, ikut menyerbu masuk kelasku. Bisa dibayangkan bagaimana suasananya. Ramai dan gaduh. Kuletakkan kapur diatas meja dan berdiri mematung disamping papan tulis. Kuperhatikan mereka satu – satu. Wajah mereka yang penuh dengan tawa benar – benar memancing amarahku. Seolah – olah berkata “Hey bu! Kenapa kamu diam saja?? Ayo dong diamkan kami.” Rasanya ingin sekali berteriak atau memukul papan tulis sekencang – kencangnya pada saat itu. Tanganku mengepal, wajahku terasa panas. Rasa tidak dianggap dan tidak diperhatikan memang menyakitkan...

Tiba – tiba salah satu murid, Reki yang tahu perubahan sikapku nampak memberi kode kepada kawan – kawannya untuk diam sebentar. Badannya yang besar disertai suara yang kencang cukup membuat mereka diam.  Suasana kelas pun pelan – pelan tenang, suara –suara gaduh sudah mulai hilang..

“Sebenarnya apa yang kalian ributkan ?” begitu tanyaku kepada mereka..Hening..

“Tolong dijawab, apa yang kalian ributkan tadi ?” masih sama. Semuanya diam menunduk.

“Skali lagi anak – anak! Apa yang membuat kalian ribut?!” ucapku setengah berteriak. Mulutku bergetar. Kedua mataku berair dan pelan – pelan jatuh membasahi pipi..Emosiku sudah tidak mampu kutahan..”Maafkan Ibu....” ucapku dalam hati..

“Nak maafkan Ibu tapi sikap kalian benar – benar membuat Ibu kecewa. Ternyata pelajaran yang selama ini Ibu berikan tidak kalian ingat sama sekali. Sudah berapa kali Ibu katakan bahwa mulailah belajar menghargai orang lain. Siapapun itu. Orang tua, saudara, teman, atau guru kalian. Tidak kalian lihat tadi bahwa Ibu sedang menjelaskan pelajaran di depan, lalu mengapa sikap seperti itu yang kalian tunjukkan kepada Ibu ? “ ucapku dengan airmata yang tak mampu lagi kubendung..

“Kalau memang kalian mulai merasa capek atau bosan, jujurlah pada Ibu biar Ibu berikan kalian waktu untuk bermain sebentar atau istirahat. Pasti akan Ibu berikan, tapi sungguh bukan begini caranya...”

Kulihat kembali wajah mereka satu persatu, mereka tertunduk. Ada rasa bersalah yang kutangkap dari wajah – wajah polos itu. “Ibu masih ingat cita – cita yang pernah kalian katakan pada Ibu waktu pertama kali kita berkenalan. Kalian bilang pada Ibu kalau kalian ingin jadi tentara, pemain bola, jadi guru, jadi angkatan udara, bahkan presiden. Sedikitpun Ibu tidak ragu, Ibu katakan kalau kalian pasti bisa, dan Ibu siap membantu kalian.....”

“Berapa kali juga Ibu katakan kalau tidak ada satupun murid Ibu yang nakal apalagi bodoh disini ! Kalian harus yakin kalau kalian pasti bisa, pasti mampu! Kalau ada orang yang berani bilang seperti itu, Ibu siap membela kalian! “. Kali ini aku sungguh tidak sanggup berkata  apa – apa lagi. Airmataku benar – benar tumpah jatuh membasahi kerudung biru yang kupakai. Aku terdiam lama sambil menghapus airmataku. Kuseka hidungku, kutundukkan kepala. Sungguh yang aku tangisi adalah bukan keributan mereka, tapi lebih kepada diriku yang belum cukup kuat untuk menghadapi mereka. Aku cepat putus asa menghadapi mereka dan tidak seharusnya aku memperlihatkan airmataku di depan mereka.  Selalu kutanamkan dalam hati dan pikiran bahwa mereka bukanlah anak bodoh apalagi nakal seperti yang selama ini masyarakat labelkan pada mereka. Anak - anakku memang anak gunung yang berwatak keras, bersuara lantang, tak ragu masuk hutan juga tak gentar menerobos sungai sekedar untuk mencari kemiri untuk menyambung hidup. Anak – anakku memang biasa berkaki ayam jika pergi ke sekolah, berseragam tak beraturan, dan hanya membawa sebuah buku lusuh tipis serta sebatang pena.Tapi aku yakin mereka mempunyai hati yang lembut dan putih, mereka pintar, mampu bersaing dengan anak – anak lain yang meiliki seragam serta sepatu  yang bersih dan mengkilap bahkan bukan tidak mungkin salah satu dari mereka akan menggantikan pemimpin di negeri ini..Inikah ujian untuk keyakinanku kepada mereka selama ini ?

“Maafkan kami ya Bu...” begitu kudengar Febri dan Putri berkata sambil berlinangan air mata. Kulihat murid – murid yang lain juga menangis. “Iya bu, saya salah. Saya sudah membuat ibu sedih, kurangi saja nilai saya bu atau dihukum berdiri di tiang bendera..” ucap Alamsyah sambil mengusap air matanya.

Ah, hati Ibu mana yang tega menghukum anaknya....

Satu persatu dari mereka lalu maju kedepan, mencium tanganku untuk pertama kalinya, dan mengucapkan kata maaf. Kami berpelukan dan berbagi air mata.  Kubelai rambut mereka lalu kuseka airmata yang membasahi wajahnya. Dulu aku berfikir bahwa pembelajaran adalah kumpulan – kumpulan teori yang harus dihapal dan dimengerti, tapi sekarang kupahami bahwa apalah arti pembelajaran  jika teori tidak diimbangi dengan pengalaman langsung. Hari ini aku dan anak – anakku belajar satu hal,  penghargaan serta kasih sayang. Itulah kawan cerita tentang airmata pertamaku. Entah air mata apa namanya ini, yang jelas kurasakan kelas ini menjadi begitu hangat setelahnya. Sehangat pelukan yang kurasakan dari tiap – tiap tangan – tangan kecil yang melingkari pinggangku. Aku benar – benar mencintai bintang kecilku....

 

“Bu sekali lagi saya minta maaf. Maafkan aku. Saya tidak bisa melihat ibu sedih karna saya juga ikut sedih”

dari usril, kelas 5  (Surat dari salah satu murid yang juga ikut les pada hari itu)

                                                                                                                                                                    

Dusun Rura, Sambabo, Majene

21/12/2011 pkl. 12.00 WITA


Cerita Lainnya

Lihat Semua