Toleransi di Pulau Paling Selatan Indonesia

Arsyad Azizi 7 Juli 2015

Perjalanan memang selalu menghadirkan cerita yang serba tidak bisa ditebak. Pun, cerita dari pulau paling selatan Indonesia. Bagi saya perjalanan adalah kekuatan, kekuatan untuk berani memulai dan keluar dari zona nyaman.

Sebagai satu-satunya warga yang beragama Muslim di tengah pemeluk Protestan, begitu juga dengan orang tua angkat. Toleransi yang mereka berikan pada saya sangat tinggi.

Saat itu ketika Mama dan Bapak hendak makan dan melihat saya sedang di depan mereka, Mama dan Bapak pasti meminta izin untuk makan dan minum. Hal demikian juga terjadi saat masyarakat desa berada di depan saya mereka akan langsung meminta izin atau bahkan mereka akan berhenti makan dan minum di depan saya.

 “Kak Arsyad sahur jam berapa ko? Nanti biar Mama masakan sahur!” Ungkap Mama sebelum esoknya puasa. Sebenarnya saya tak ingin memberatkan Mama dan Bapak untuk bangun tengah malam. Setiap jam 2 pagi, berhubung di dusun kami tak ada listrik Mama memasak nasi menggunakan kayu bakar.

Pendengaran bapak berkurang dan tak bisa berbahasa Indonesia tapi dari cara dia menggunakan bahasa isyarat dengan dibantu Mama. Beliau meminta izin pada saya apakah dirinya boleh membangunkan saya untuk sahur atau tidak. Beberapa kali ketika saya sahur Bapak juga bangun, sekedar memastikan saya sahur dengan makanan yang memadai atau membantu saya memasak.

Menjadi minoritas saat Ramadhan membuat saya menjadi lebih bersyukur atas segala nikmat yang datang pada saya sebelum ini. Kini saya bersyukur tinggal di sekitar Masjid sehingga saya bisa dengan mudah Tarawih dan lima waktu di Masjid. Saya bersyukur bisa menikmati es pisang ijo yang membuat buka puasa saya menjadi sangat istimewa. Saya bersyukur karena saya punya pengalaman ini yang membuat saya menjadi bersyukur atas apa yang telah saya dapat selama ini. Benar memang kata orang bijak terkadang kita perlu jauh dari apa yang selama ini kita miliki agar kita tahu arti cara menghayati perjalanan.

 

Di kesempatan lain, saat acara pisah sambut dengan Pengajar Muda. Saya ditugasi untuk menyembelih dua kambing hasil iuran wali murid. Kata mereka saya harus memotong kambingnya agar bisa bersama-sama menikmati daging kambingnya. Sejatinya, ini pengalaman kali pertama saya menyembelih kambing. Selama perjalanan dari Kota menuju desa, saya sempatkan untuk browsing cara-cara menyembelih kambing sesuai tuntunan agama yang saya anut. Walaupun ilmu dasar menyembelih ini sudah saya dapat saat duduk dibangku sekolah tapi untuk mempraktekkannya saya tak pernah sama sekali.

“Mana da pu kambing, Ibu Erri”ucap saya kepada Ibu Guru Erri rekan guru di sekolah kami. Sambil memegang pisau yang panjang dan tajam beliau mengarahkan pisau itu ke ujung pohon di samping sekolah.

Skill menyembelih makin meningkat ketika Kepala Dusun Bebelain 1 meminta saya menyembelih satu ekor ayam agar saya bisa nikmati saat berbuka puasa bersamaan dengan acara pesta di dusun Bebelain. Walaupun ayam lebih kecil, nyatanya saya harus gigit jari karena warga dusun menonton saat saya menyembelih ayam tersebut. Dengan gaya sok sudah ahli saya menghadapkan kepala ayam ke kiblat dengan komat-kamit doa saya berhasil memotong ayam.

Hari ini saya bersaksi bahwa apa gunanya Burung Garuda mencengkram pita putih bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika” jika untuk menghargai perbedaan pun terasa amat sulit? Kini saya bisa melihat Bhinneka Tunggal Ika di pulau paling selatan yang berbatasan langsung dengan Australia.


Cerita Lainnya

Lihat Semua