Tentang Jatuh Cinta

Arsyad Azizi 22 September 2015

Gerald Hauteas nama lengkapnya. Sosok yang murah senyum ini selalu membuat saya tertawa. Gerald biasa ia dipanggil oleh teman-teman termasuk saya. Ia, anak yang spesial bukan karena kemampuan mengerjakan soal matematika atau membaca. Pun, hingga saat ini Gerald belum lancar membaca, itulah yang membuatnya menjadi penunggu terakhir kelas untuk menulis materi yang saya ajarkan.

 “Pak, angka 7 pake H ko?”

“Pak, kermana pake H ko?”

“Pak, itu ditulis?”

Itulah kata-kata yang sering saya dengar dari Gerald. Di awal saya mengenalnya, ia sebagai anak yang aktif dengan kemampuan menulis dan membaca yang lambat dibanding teman-temannya dan sebagai anak dengan kemampuan kinestetik yang berlebih tak kadang ada saja anak yang menangis karena ulahnya tapi karena dari situlah ia mengajari saya bahwa jalan kemajuan itu tidak lancar ataupun mudah..

Saat jam membaca buku bacaan sebelum pelajaran pagi dimulai saya membagikan majalah Bobo kepadanya. Mungkin karena tak suka ia ngambek sampai-sampai majalah itu dibuangnya di depan saya sehingga majalah itu jatuh di bawah. Saya bergeming dan melanjutkan ritual membagikan buku bacaan kepada anak-anak sambil mencuri-curi perhatian kiranya ia akan mengambil majalah yang telah dijatuhkannya. Mungkin merasa saya tak menggubrisnya dan desakan teman sebangkunya untuk mengambil majalah yang dijatuhkannya, ia pun mengambil dan tanpa menyentuhnya. Itulah kejadian di awal-awal saya mengajar.

Kini?

Gerald sudah membuat saya jatuh cinta.

Nyatanya dia adalah anak dengan rasa kepedulian tinggi kepada teman sekelasnya. Saya menyadari itu saat pelajaran matematika. Kelas begitu tidak terkendali karena kita sedang bermain membaca bilangan dengan media pembelajaran yang saya buat. Setiap anak ingin maju dan ujungnya suasana kelas menjadi ramai karena teriakan tiap anak. Gerald dengan tenang dan serius menyuruh anak-anak untuk duduk kembali ke tempat duduknya setelah suara saya hampir habis memberi instruksi agar anak-anak duduk kembali ke tempatnya.

Pun, saat itu Rilen tempat sebangkunya menangis karena diganggu oleh Alan. Ia, lagi-lagi menunjukan bentuk kepeduliannya dengan menenangkan Rilen dan memeluknya agar berhenti menangis dan bermain bersamanya saat istirahat.

 Walaupun ia masih belum lancar membaca. Saya begitu terharu menginjak bulan ketiga bersamanya dengan berusaha keras mengeja tiap huruf dalam kalimat. Iya, dia memang membuat saya jatuh cinta.

Ini benar-benar kado terindah dan tak dapat dinilai dengan uang. Dia mengeja buku bacaan dengan keras dan saat ada beberapa kata yang tak dipahami ia bertanya kepada teman sebelahnya bagaimana cara menyebutnya.

Saat itu saya jadi mengerti bahwa seharusnya, pendidikan bukan semata upaya mentransfer materi pelajaran. Lebih dari itu, pendidikan adalah sebuah proses menyalakan pikiran dan mematangkan kepribadian. Kalau pendidikan justru memampatkan kreativitas, mengerdilkan keberanian berekspresi, memustahilkan impian, serta membuat anak-anak menjadi asing pada dirinya sendiri dan lingkungannya, maka, sebaiknya, pendidikan tidak perlu ada

Gerald, kelak jika kamu membaca tulisan bapak. Maukah kamu berjanji kepada bapak untuk selalu semangat belajar, berbakti kepada orang tua dan selalu memberi cinta kasih kepada sesama? 


Cerita Lainnya

Lihat Semua