info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Setahun Berharga di Ujung Selatan Indonesia

Arsyad Azizi 18 Juni 2016

Arsyad, menurutmu apa yang bakal kamu kangenin dari Rote?” Ucap Ela rekan sepenempatan saya di Rote setahun ini.

Sejenak saya menarik nafas amat dalam. Seketika pula saya memutar ingatan pertama kali saya menginjakkan kaki di pelabuhan Ba’a. Perjalanan 2 jam perjalanan kapal cepat dari Kupang sampai ke Rote begitu membuat saya benar-benar takut. Hal yang selalu muncul adalah

apakah saya mampu bertahan di Rote?

Apakah saya masih bisa menjalankan ritual keagamaan seperti solat, puasa dsb?

Apakah saya mampu menjadi guru yang baik untuk anak-anak?  Atau serta pertanyaan lainnya yang merupakan kekhawatiran kami para pengajar muda.

Saya tak mungkin bertemu Kak Ela dan Nova, begitu panggilan saya kepada mereka. Mereka adalah sejoli yang begitu sangat akrabnya dengan anak-anak. Mereka jugalah yang mengajarkan saya bahwa pendidikan paling utama adalah keluarga. Tak hanya itu kemampuan mereka menjelaskan kepada para mama dan bapak bahwa mendidik anak itu harus dengan kasih sayang juga membuat saya terkesan.

Ada juga cerita dari Sherwin Ufi dan Erli yang mendefinisikan kesempatan sebagai cara kita untuk memberikan hal lebih kepada orang lain. Keduanya adalah PNS di Pemerintahan. Pangggilannya adalah Sherwin anak muda yang menurut saya mempunyai peran penting untuk membakar teman-teman anak muda Rote baik itu membuat gerakan 1000 buku, Kemah Pemuda Rote dan Rote Mengajar. Pun, Kak Erli anak Rote yang baru pulang dari sekolah master di Amerika. Menatap ke depan mereka-mereka inilah harapan agar Rote selalu tersenyum. Dari merekalah saya jadi mengerti arti kata “lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan”.

“Pak, nanti lupa kotong ko sonde” (Pak, nanti lupa kita tidak?) Ucap Movita saat hari terakhir saya masuk ke kelas. Hati mana yang terisak mendengar murid yang diajarnya berpesan demikian.

 

Farlen anak murid saya di kelas 2 yang berjualan es di lingkungan sekolah. Dengan perawakannya yang mungil iya membawa termos es nya berjalan sejauh 1 km. Teriakannya yang melengking agar teman-temannya membeli juga tak kalah menarik dengan Farlen yang begitu telaten menghitung kembalian dan uang yang didapatkannya.

Saya mungkin akan merindukan saat saya mengatakan “Yang dengar suara mister, tepuk 2 kali” atau “Dalam hitungan kelima semua jadi patung”. Iya,  berdiri di depan kelas menatap lekat mata mereka rasanya ada magnet magis bahwa mereka begitu semangat belajar. Percayalah bahwa setahun saya mengajar banyak sekali tantangan, proses belajar diri serta menjaga mood yang kemudian menjadi proses belajar saya. Dari kelas saya belajar bahwa setiap anak memiliki bakat. Tugas kita sebagai guru menemukan apa bakatnya dan membuatnya ia menjadi percaya akan bakatnya.

Mungkin hanya setahun bapak menemani kalian tapi percayalah bahwa bapak selalu berharap dapat menggandeng tangan, membuka pikiran dan mengantarkan kalian menjadi individu yang peduli dengan sesama.

Terimakasih banyak untuk setahun ini Tuhan. Kaki saya begitu kuat untuk berjalan, bersyukur atas kesehatan yang melimpah, bertemu dengan begitu banyak orang yang menginspirasi, tak lupa kepada orang tua saya yang mengijinkan anaknya untuk sejenak meninggalkan rumah.

Kelak setahun ini juga akan menjadi bagian cerita yang akan selalu saya ceritakan kepada anak cucu bahwa Negeri ini begitu indah jadi jangan kau rusak hanya karena rasa ego dan kepentingan pribadi semata. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua