Pelukan Mama

Arsyad Azizi 18 Juni 2016

Seorang Ba’i (Kakek) tetangga sebelah sudah duduk di sebelah saya. Dengan tenang beliau merapalkan begitu panjangnya doa dalam bahasa Rote yang tak ada satu pun yang saya pahami.

Seusai doa, bapak pergi ke kamar mengambil tenun lalu berjalan terseok-seok sambil meneteskan air mata dan menaruh tenun ke pundak kanan lalu berkata kepada mama.

Beberapa menit kemudian mama berkata “Bapak ada bilang kalo bapak jangan lupa untuk pulang ke rumah di sini”.

Begitulah gambaran moment detik-detik pagi itu saat saya dan mama akan bertolak ke kota Ba’a. Iya, hari itu akan menjadi hari terakhir saya mengurai kebersamaan dalam keluarga Bapak Whelhelmus Ketti dan Mama Lina.

Mereka adalah orang tua angkat saya selama setahun di Pulau Rote. Saya masih ingat saat pengajar muda sebelumnya mengatakan kepada saya bahwa dia belum mendapatkan rumah tinggal untukku, hanya ia mengatakan bahwa ada sepasang suami-istri yang berminat untuk menampung saya setahun ke depan.

Dengan komunikasi terbatas tersebutsaya mengatakan “Okey Kak, nanti kita berkunjung ke rumahnya dahulu”.

Setibanya saya di Rote. Mampirlah saya ke rumah yang berada di dusun Olangga. Lokasinya cukup jauh dari sekolah dan bisa dikatakan bahwa rumah tinggal ini cukup jauh dari pengajar muda sebelumnya-sebelumnya yang dekat dengan sekolah.

Butuh sekitar 10 menit menggunakan motor dengan jalan berbatuan dan jalanan curam serta 30 menit berjalan kaki. Jauh?

Ya, dari dusun inilah terdapat murid-murid terjauh di sekolah tempat saya mengajar. Mungkin itu juga alasan saya diberi kesempatan untuk menyelami kehidupan mereka.

Bapak dan Mama begitulah panggilan saya kepada mereka, sebenarnya tidak memiliki anak dalam pernikahannya hanya saja ada seorang cucu dari pernikahan mama sebelumnya yang juga turut bersama kami.

Bapak sudah berumur, saya juga lupa pastinya berapa antara 59 atau 63. Di usianya yang begitu tua, beliau masih cukup kuat memanjat pohon lontar lalu mengambil air nira. Selain itu aktivitasnya adalah petani. Dari sanalah penghidupannya selama ini.

Di usianya sekarang pendengaran bapak pelan-pelan berkurang sehingga jika mengobrol dengannya harus menggunakan nada beroktaf-oktaf. Pun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Rote.

Jadi, bagaimana saya setahun ini dengan beliau?

Interaksi saya dengan beliau bisa dibilang hanya sekedar senyum dikala saya bangun pagi, sepulang sekolah dan akan pamit tidur. Selebihnya, kami berinteraksi dengan bahasa universal yaitu bahasa kalbu dan bahasa isyarat.

Kalo pun bahasa Rote itu hanya “Mae ta leo” (Ayo makan) dan Lao Leo (Jalan dulu) seperti itulah bahasa yang kami gunakan. Toh, yang penting adalah rasa sayangnya yang begitu besar kepada saya.

Suatu ketika saat saya mengkoreksi hasil ulangan di ruang tamu. Tiba-tiba bapak dari kamarnya membawa bantal dengan harapan agar saya nyaman mengkoreksi ulangan.

Lain lagi ceritanya saat itu saya baru pulang dari sekolah. Hanya ada mama saat itu sehingga tanpa pikir panjang kepala ini sudah siap lepas landas di kasur lalu terlelap.

Beberapa menit kemudian rumah sepi hanya ada bapak duduk di teras depan. Saya tanya dimana mama (lagi-lagi menggunakan bahasa universal) dan lagi-lagi tak ada jawaban yang memuaskan sehingga saya meminta anak murid yang bermain dekat rumah untuk bertanya kepada bapak. Kemudian, jawaban bapak adalah mama ada pergi ke pesta.

Setelah mendapatkan jawaban yang pasti kalo mama pergi pesta. Saya menuju dapur dengan tujuan mengisi perut tapi rasa lapar harus saya ganjal karena mama belum memasak nasi dengan sayur marungga (daun kelor) masakan favorit yang selalu tersedia setahun ini.

Singkat cerita, mama yang pergi ke pesta sampai menginap karena membantu tuan rumah memasak kena marah oleh bapak.

Kata mama, bapak marah kepadanya karena pergi ke pesta tapi tak membuat masakan untuk saya. Dari sana saya jadi mengerti bahwa saudara itu bukan hanya dalam ikatan darah tapi juga orang-orang yang baru kita temui.

Kisah setahun bersama mereka selalu membuat saya tertawa terpingkal ketika saat dusun saya akan ada listrik masuk.

Iya, akhirnya dusun terdapat pelita listrik. Bapak dan mama berdebat televisi apa yang harus ia beli kelak. Saat itu saya masih dalam kamar beberes beberapa pakaian dari luar saya seperti ada obrolan serius.

Seusai obrolan itu baru saya tahu saat saya bertanya ke mama “Mama, tadi ada baomong apa ko sama bapak? Talalu baribut sampe”.

Perut saya terpingkal-pingkal, karena obrolannya adalah si mama ingin membeli televisi yang kecil saja sedangkan bapak ingin televisi yang besar dengan alasan yang menurut saya sangatlah mulia yaitu tujuan beliau membeli televisi besar agar orang-orang dusun dapat menonton di rumah sehingga rumah menjadi ramai, dan satu alasan yang super mengharukan adalah agar kelak Pak Arsyad bisa puas nonton televisi yang besar dari pada yang kici (kecil).

Lain bapak, lain juga cerita mama bersama saya setahun ini.

Kami memiliki tipe yang sama yaitu sama-sama doyan menggoda. Mama itu sering sekali menggoda saya, semisal tiba-tiba bilang begini “Pak, pi makan babi su. Itu enak lho” ucapnya sambil mengedipkan mata dan senyum yang lebar.

“Pak ni bikin air habis sa” ucapnya saat melihat saya berwudhu di ember kamar mandi.

Sekitar medio November saat air di tandon dusun kami sudah tak jalan 3 bulan tak ayal mama harus memikul air cukup jauh ke sumur. Saya cukup sering mengatakannya "Awii, Mama ini cantik talalu pasti ada banyak nyong".  Itulah cari kami berinteraksi yaitu melawan guyonan dengan guyonan agar tak ada sekat antara kami berdua.

Kadang saya kasihan melihat mama begitu banyak yang harus dikerjakan. Mulai dari pikul kayu untuk memasak, memikul air dan beberes rumah tapi tak pernah sekalipun saya melihat beliau mengatakan capek atau lelah.

Sudah pernah saya tanya apa yang bisa beta bantu mama. Lagi-lagi ia hanya menjawab “sonde, Pak. Pi tidur su”.

***

Saya dan pengajar muda bukan hanya hadir sebagai orang baru yang menumpang menginap dan makan tapi juga turut serta menjadi bagian keluarga. Membaur dalam kultur dan tradisi yang terdapat di keluarga tersebut.

Pada tulisan ini saya yakin bahwa tidak hanya saya yang merasakan kebesaran hati para bapak dan mama yang menjadi orang tua angkat para pengajar muda di penempatan.

Nyatanya 5 tahun Indonesia Mengajar tidak hanya guru, kepala sekolah, pengawas, dinas atau pemerintah yang menjadi bagian gerakan ini. Ada mereka yang juga BEKERJA dan akan TERUS BEKERJA memastikan bahwa para pengajar muda nyaman dengan lingkungan barunya, perut yang terisi penuh atas makanan yang super lezat serta tak lupa beribu-ribu kasih sayang.


Cerita Lainnya

Lihat Semua