Sabtu bersama Pak Marten

Arsyad Azizi 6 November 2015

Obrolan disetiap sabtu ini saya beri nama “Sabtu bersama Pak Marten”. Kami yang akan selalu dipertemukan karena di jam pertama pembelajaran kelas kami diisi oleh guru Agama dan Olahraga sehingga kami pun bisa mengobrol atau sekedar bertukar pikiran.

Awalnya tak ada yang spesial saat bagi saya untuk menghabiskan sabtu di jam pertama bersama beliau sampai kemudian saya menanyakan apa hal yang menyenangkan saat mengajar?

Hal yang membuat saya tertampar adalah saat beliau mengucapkan “Ketulusan hati bukan terletak pada banyaknya pemberian tetapi pada memberi di saat yang tepat”.

Sebelum menjadi guru di sekolah tempat saya mengajar. Beliau adalah pengiris tuak (pohon lontor) seperti masyarakat Rote pada umumnya. Dengan mengiris tuak dari jam 4 pagi itu ia bisa memberi penghidupan untuk keluarga kecilnya.

Melihat sekolah di tempat tinggalnya kekurangan guru. Ia, pun memberanikan ke sekolah untuk mengajar. Dengan ketekunan dan tekad mau belajar, beliau yang suka matematika ini belajar bagaimana caranya mengajar yang baik.

Lalu, saat saya tanya apa alasan beliau mendedikasikan untuk mengajar. Ia, hanya menjawab bahwa dengan bertemu anak-anak ia akan seperti sehat kembali. Benar sekali, sejak setahun terakhir ini beliau terserang stroke sehingga tongkat adalah andalan benda wajib yang harus dibawa.

Baginya tongkat adalah kaki yang selalu menguatkan dirinya untuk berjalan dari rumahnya ke sekolah yang terbilang cukup jauh. Tongkat itulah yang membuat kecintaannya pada mengajar menjadi energi yang kemudian menyebar menembus semua batas.

Saya mulai menarik kursi plastik dan kemudian menggesernya di depan beliau sambil sedikit memijat kakinya. Mulailah ia bercerita, dulu di awal mengajar tidak ada sama sekali sepeser pun gajinya. Tak ada yang ia tuntut, semua itu ia lakukan karena dengan melihat tawa anak-anak adalah rahmat Tuhan.

Pun, jadwal mengiris tuak diatur sedemikian rupa agar tidak menggangu jam sekolah, itu artinya sebelum atau seusai sekolah. Alhasil, pagi-pagi buta tepatnya jam 4 pagi ia mulai menaiki pohon lontar yang tingginya bisa mencapai 5 meter itu dengan kelincahan kaki dan cengkraman tangannya ia mulai mengiris tuak.

Beberapa tahun kemudian sekitar 1980-an, atas inisiatif para orang tua. Beliau pun mendapatkan gaji yang dikumpulkan oleh para orang tua setiap semesternya yang jumlahnya juga tak begitu banyak. Selain itu, beliau juga sempat mendapatkan gaji sebesar 3000 rupiah tapi itu semua tak membuat nyalinya ciut untuk mengabdikan dirinya sebagai guru.

Atas dedikasi dan ketulusannya. Ia,pun lolos sebagai PNS pada tahun 2004 dan doanya pun dijawab Tuhan dengan hadirnya seorang anak pada tahun 2014.

Di tahun 2014 juga, Ada rasa berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Saat itu dunia begitu gelap dan sempit baginya. Sekujur tubuhnya menegang dengan nafas tersengal-sengal, dan kemudian bagian tangan dan kaki kanannya tak bisa digerakkan.

Hari sabtu yang mengajarkan saya bahwa lakukan langkah pertama dalam iman. Kita tidak harus melihat seluruh tangga, ambil saja langkah pertama. Sabtu bersama Pak Marten akan menjadi hal yang saya kenang selama beberapa setahun saya di pulau ini. Kami yang hanya dipertemukan di jam pertama pembelajaran dan mari kita doakan agar beliau selalu diberikan kesehatan.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua