Energi Yang Tidak Pernah Habis

AminahTul Zahroh 5 November 2015

Musim kemarau masih berlangsung di desa Parado Wane. Banyak masyarakat melakukan aktifitas MCK di sungai la Campo,  labesi dan sungai rato.  Meskipun tinggal di dataran tinggi kami masih kesulitan mendapatkan air. Banyak sumur yang kering. Meskipun begitu setiap kali saya melewati rumah-rumah masyarakat, saya selalu mendapatkan tawaran untuk mengambil air atau membersihkan diri di rumah warga,  padahal saya tahu betul air yang mereka miliki hanya cukup untuk MCK dan minum saja. Masyarakat Desa Parado selalu berbaik hati kepada saya musafir yang hanya singgah selama satu tahun. Tentu saya senang dengan kebaikan-kebaikan yang terkucur setiap detiknya.  Melihat kondisi demikian saya memutuskan menolak kebaikan masyarakat.  Saya sungguh bersyukur mendapati orang-orang dengan tangan terbuka.  

 

Seperti biasanya rumah saya selalu ramai di datangi anak-anak.  Pagi ini mereka menjemput saya di samping jendela kamar sambil menaiki pohon jambu yang tepat berada di samping jendela kamar.  Mereka menagih janji saya yang ingin mengajak ke "Uma Baca Dai". Tempat baca yang diinisiasi oleh Pengajar Muda angkatan I dan kini terus berjalan di angkatan berikutnya.  Rumah ini tadinya rumah untuk guru yang hendak singgah atau yang rumahnya jauh semacam rumah dinas.  Sekarang yang menempati rumah ini hanya bu Nurhassanah wali kelas 1 dan satu ruang yang tidak digunakan, dimanfaatkan untuk rumah baca. Di dalam uma baca dai bukan hanya buku-buku saja,  tapi ada juga hewan-hewan melata yang singgah dan betah di sana. Cat dan kayunya sudah mulai rapuh di makan serangga.  Anak-anak tidak pernah protes dengan kondisi rumah baca yang seperti ini.  Mereka tetap tenang membaca buku di dalam. Justru mereka membantu saya membersihkan "Uma Baca Dai". Anak-anak ini hanya butuh teman untuk melakukan aktifitas yang bermanfaat ini. Setelah membersihkan "Uma Baca Dai" mereka menginginkan dibacakan cerita yang menggunakan bahasa inggris. Sebelum membacakan cerita kami berpindah tempat karena saya kwatir anak-anak tertimpa bahan bangunan, saya mengajak anak-anak membaca buku di kebun depan "Uma Baca Dai". Duduk di atas tumpukan kayu-kayu besar, berada di bawah pohon kapuk dan diantara sapi-sapi mencari makan serta di selimuti angin semilir. Sesekali mereka mengikuti bagaimana saya membacanya.  Semua berebut berada di sekeliling saya, kalian semua menggemaskan sama seperti mentari yang menawarkan senyum cerah. Setelah cerita selesai dibacakan Agniah anak kelas 5 SDN Paradowane bercerita "buk kakak bintang ngasih crayon dan buku bacaan bagus, saya senang sekali buk". "Iya kakak bintang HoshiZora Yayasan memberikan itu supaya kalian rajin ke sekolah dan sungguh-sungguh mencari ilmu"jawab saya.  "Tiwara bengke iyo tah buk" tanya anak lainnya. "iya jangan nakal nak". "Maira baca mena".Sungguh hari minggu yang produktif.

 

Hasyim namanya... Pertama kali saya bertemu Hasyim saya dibuat kagum, karena ia mengajukan diri minta diajarkan menghafal Al Qur'an.  Entah informasi dari mana anak ini mengetahui profile saya. Ini antara kagum dan rasa malu saya.  Malu karena dulu saya tidak pernah minta belajar mengahafal Al Qur'an sejak dini.  Malu karena dulu saat kecil mesti diiming-imingi hadiah klo sudah hafal.  Malu karena motivasi belajar saya saat kecil tidak sebesar ini. Hasyim anak yang perhatian dan sangat hormat. Tidak cukup satu kali untuk bersalaman dengan saya. Anak ini patuh sekali.  Hasyim juga sering minta diajarkan tausyiah.  Ia selalu minta materi yang berbeda.  Dalam kesempatan lomba Dai dan Dai'a Hasyim selalu diutus untuk menjadi perwakilan.  Saat malam Nuzulul Qur'an bulan lalu Hasyim juara 2 untuk lomba Dai dan shalat berjamaah. Selepas mengajak anak-anak pergi ke "Uma Baca Dai" anak-anak mengajak saya pergi berkunjung ke rumah Hasyim. Ya tentu saya mengiyakan permintaan anak-anak.  Kami berjalan kaki menuju rumah Hasyim.  Awalnya saya mengira rumahnya dekat dengan rumah saya. Butuh waktu 25' untuk sampai ke sana. Saya melewati rumah-rumah masyarakat Desa Parado.  Cukup jauh juga untuk ukuran anak-anak dengan berjalan kaki.  Saya sering mengajak Hasyim belajar dan berkegiatan di rumah mama.  Ternyata jauh juga rumah Hasyim dari rumah saya. Tapi ia tidak pernah mengeluh datang ke rumah saya untuk belajar dan mengaji.   Hasyim memiliki empat saudara,  rumahnya sepi tidak banyak prabot rumah tangga di dalamnya hanya tikar dan dua lemari yang tampak saya lihat.  Di dinding rumahnya juga terdapat foto-foto. "Mama dan Dae kemana nak?" tanya saya.  "Tiwara ibuk, lao akan daro" jawabnya.   "Setiap hari kamu di rumah sendirian nak? "iyo tah ibuk". Di rumah Hasyim saya memutar film dari Pustaka Anak Nusantara.  Anak-anak yang ikut berebut ingin melihat. Suara dan aroma tubuh khas anak-anak tidak kalah seru, saya sangat menikmati hal ini. Senyum saya mengembang merekah menyaksikan anak-anak yang selalu takjub melihat hal-hal baru yang saya bawakan.  Saya belajar ketulusan dan kesederhanaan dari anak-anak ini. Di akhir perjumpaan kali ini Hasyim memberikan buah asam yang sudah dibersihkan kepada saya.  Buah asam ini adalah hasil dari perkebunan orangtuanya.  Hasyim selalu begitu,  setiap pertemuan memberikan apa yang dimiliki. Terimakasih Hasyim dan anak-anak lainnya hari ini sungguh ibu mendapatkan pembelajaran yang berharga. #Desa Parado Wane,  Bima,  NTB.


Cerita Lainnya

Lihat Semua