info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Cacing, Kodok dan Belut

Arista Setyaningrum 19 Desember 2015

Selama 6 bulan bertugas disini banyak kisah yang terjadi baik yang suka maupun yang tidak. Begitu juga dengan kisah-kisah tentang hewan-hewan yang saya temui disini. Mereka bakal pasti akan menjadi reminder akan kisah-kisah lucu disini.

Cacing

Setiap pagi memiliki kisahnya masing-masing. Pagi itu (Saya lupa tepatnya kapan), saat saya baru datang dan memarkir motor disebelah mushola. Seorang anak kelas 2 berlari menemui saya dan diikuti oleh teman-temannya. Saya pikir mereka akan berebut salaman seperti biasa tetapi ternyata mereka datang membawa berita.

“Ibu, ada yang nangis”

(ya Allah, pagi-pagi udah mendapat ujian kesabaran)

“Kenapa?”

Saya datang menemui si anak yang sedang menangis sesegukan didapan kelas saya. Ternyata ada anak yang super hiperaktif dan usil memasukkan cacing kedalam tasnya. Si anak ini ternyata sangat takut dengan cacing dan dia tidak mau masuk ke kelas. Setelah bujuk rayu, dia mau masuk ke kelas.

Pelaku yang sedari tadi duduk di kelas hanya diam dan senyum-senyum saat saya masuk ke kelas masih lengkap dengan jas hujan.  Singkat kata dia yang hanya bermotif iseng, saya minta untuk mencari 5 ekor cacing yang harus dia bawa terus selama pelajaran di kantong baju seragamnya dan tidak boleh mati.

Sebagian besar dari anak-anak takut dan jijik terhadap cacing,  melihat saya membawa dan memasukkan cacing ke kantong anak itu dengan tangan saya sendiri mereka hanya bergidik jijik. Mungkin bagi mereka gurunya yang satu ini aneh.

Kodok

Kisah tentang kodok masih tidak jauh-jauh dari apa yang saya lakukan bagi anak-anak murid saya adalah hal yang anah dan menjijkkan. Mungkin bagi sebagian orang emang iya.

Alkisah saat review mata pelajaran IPA ada pertanyaan, mengapa kulit katak tipis?. Anak-anak yang tahu langsung menjawab untuk nafas bu dengan suara lantang. Secara sederhananya memang untuk membantu pernafasan. Saya menyeletuk “besok-besok  kita bedah kodok ya, biar kita tau kulit kodok seperti apa”. Mereka menjawab dengan antusias.

Keesokan harinya, seorang anak murid kelas saya datang dan memberitahukan bahwa ada anak yang membawa kodok kesekolah. Dengan sedikit terkejut saya kekelas dan melihat kodok yang dibawanya. Kodok yang dibawa adalah kodok yang biasa ada di sawah sejenis Bufo sp. Yang sudah lemas karena dimain-mainkan.

“OK, karena sudah dibawa. Kita bedah hari ini ya” (kebetulan hari ini juga ada mata pelajaran IPA).

Saya kembali ke kantor mencari alat-alat yang bisa digunakan. Saya membuka kotak P3K kecil yang lebih mirip peti mumi karena banyak kain kasa yang terburai. Disana saya menemukan gunting bedah kecil dan sarung tangan. Lalu dimeja printer saya mengambil suntikan tinta printer yang belum dipakai,membeli cutter ternyata adanya pisau cukur di warung depan sekolah dan meminta alkohol ke tetangga yang baru memiliki bayi, serta nampan dan alumunium foil bekas di gudang. Saya kembali ke kelas dengan perlengkapan bedah darurat.

Kodok yang sudah dibawa dieuthanasi secara kimiawi dengan alkohol, walaupun terlihat menyakitkan tapi cukup efektif. Anak-anak mengelilingi meja bedah dengan berteriak-teriak, “Ibu guru kejam”. Lalu pisau cukur mengambil peran sebagai pisau bedah, membedah bagian abdominal Bufo. Disitu anak-anak bisa melihat betapa tipis kulit kodok dan banyak pembuluh darah yang terlihat berwarna merah dan biru dibalik kulit tersebut.

Singkat cerita mereka akhirnya praktek pembedahan kodok.

Kodok hasil pembedahan dibungkus dengan alumunium foil dan siap dikubur dihalaman belakang sekolah. Lucunya anak-anak mengantar bangkai kodok ke halaman belakang seakan mengantarkan jenazah ke liang kubur. Mereka berdoa dan bersholawat untuk si Kodok. Bagi mereka begitulah cara mengubur baik manusia atau hewan.

Setelah praktikum darurat itu. Kata penutup dari saya adalah “setiap hari ibu bedah katak lho waktu kuliah”. Mereka serentak bergidik dan berteriak “ hiii, ibu kejam”. Padahal saya praktikum tidak tiap hari dengan Kodok.

 

Belut

Hewan ketiga adalah belut.

Saat musim kemarau kemarin, banyak sawah-sawah yang tidak ditanami karena air yang tersedia kurang. Saya dan beberapa anak laki-laki berjalan-jalan diswah sambil mencari belut. Mereka mengajari saya cara memancing belut dan mengenali mana lubang belut dan mana yang lubang kepiting.

Sampai sore kami hanya mendapat 2 ekor belut. Lalu kami pulang. Dalam perjalanan pulang mereka memberikan belut hasil tengkapan kepada saya.

“Ini, belut buat ibu aja”

“kenapa buat ibu?, buat kalian aja. Ntar dimasak dirumah”

“kami ngga makan belut bu”

“lha, kenapa kalian mancing belut?”

“buat mainan aja bu”

Alhasil saya pulang membawa 2 ekor belut dan saya goreng kering dirumah. Sejak saat itu setiap mereka memancing belut mereka mengantarkan hasil tangkapannya ke rumah saya. Bahkan tetangga pun ikut memberikan saya belut untuk digoreng. Bagi mereka saya aneh karena mau memakan belut. Padahal belut itu enak dan bergizi tinggi.

                Kehadiran saya diantara masyarakat kampung ini mungkin memang terasa anomali. Dengan hobi-hobi saya yang menurut mereka tidak lazim dilakukan oleh seorang wanita di kampung seperti keluar-masuk hutan untuk mencari burung, suka hewan (secara sedikit berlebihan),  memakan belut sawah, bermain catur dan juga bermain gitar. Bagi saya itu adalah sebuah variasi akan pilihan hidup, wanita bukanlah orang yang hanya boleh diam dirumah dan mengurus rumah tetapi wanita juga boleh memiliki ketrampilan untuk hidupnya sendiri.


Cerita Lainnya

Lihat Semua