This is Papua, isn’t it?

Arif Lukman Hakim 6 September 2011

 

Papua… Papua… Torang datang ka Papua, torang datang bawa cinta!”

Itu dia penggalan nyanyian yang kami nyanyikan sebagai yel-yel sebelum berangkat ke daerah penempatan. Syair yang kami modifikasi dari lagu Sajojo itu kerap terdengar di akhir pelatihan intensif pengajar muda angkatan 2 dari peserta yang akan ditempatkan di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Bumi cendrawasih, bumi kaya sumber daya. Papua, tanah penuh keelokan yang mempesona yang masih banyak terkandung keistimewaannya. Papua, sebuah kepulauan besar penuh dengan kecantikan, dan penuh cinta. Here I am, aku sekarang di sini, di pucuk timur republik bergelar zamrud khatulistiwa.

Tak perlu kujabarkan tentang indahnya alam papua dengan surga pemandangan di berbagai garis kepulauannya. Sepertinya tak cukup kuutarakan di sini kekayaan sumber daya yang terkandung di Papua. Papua, tanpa kutulis pun tetap cantik, penuh pesona, lengkap dengan cinta.

Orang Papua, yang tergambar adalah orang Indonesia berkulit legam, rambut keriting, dengan segala keterbatasannya. Papua seolah menjadi pulau hitam dengan segala berita tentang kekurangannya, informasi tentang konflik, dan sejuta bahasa tentang dunia yang masih primitif.

Itu tidak sepenuhnya mutlak benar, kawan!

Pendapat yang selama ini berkumandang miring tentang Papua perlu dikoreksi. Lakukanlah pembenaranmu jika kau sudah mengalaminya sendiri, di sini.

Aku, dan 7 orang pengajar muda Fakfak bisa membuktikan, bagaimana keramahan Papua menyentuh bulu rona bahkan kalbu kami semenjak kami belum menginjak ufuk timur negeri ini. Torang datang bawa cinta, kami datang membawa cinta, cinta yang selama ini disebarkan oleh cakrawala Papua ke seluruh penjuru dunia. Kami ingin menemukan potongan sketsa cinta kami di Papua.

Papua adalah koteka, iya kalau kau masih di pedalaman Timika. Lalu apa yang salah dengan koteka? Apakah seluruh dari kita pernah dilahirkan dalam keadaan penuh busana? Ini Papua, di sini, kalaupun kau malu bahkan takut melihat orang berkoteka, di Fakfak ini tidak ada.

Kawan, di Fakfak ini pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bukan hanya ada di soal pilihan ganda. Penerapannya bahkan secara riil mendarah daging ke semua lapisan warga. Satu tungku tiga batu, itu istilahnya. Terserah apapun agamamu, islam, kristen, katolik, semua hidup sama rata, hidup rukun bersama, dan saling bekerja sama.

Papua, ditakdirkan menjadi gerbang timur republik ini. Pesatnya perkembangan “kabarin”—kawasan barat Indonesia—memang ibarat selisih dua jam lebih cepat dibanding di Papua, berbeda dengan aturan garis bujur dalam peta. Tetapi keelokan Papua sedang menggeliat, pembangunan dan peningkatan kualitas manusia sedang gencar dihelat.

Mereka sadar, lahir dan hidup di bumi cendrawasih membuat mereka diperlakukan sebelah tangan. Tetapi keinginan untuk menyejahterakan hidup mereka penuh gelora laksana ombak yang menggelegar di pantainya. Usaha mereka untuk terus berubah lebih baik sangat terpancar, sama terangnya dengan matahari pagi yang mereka rasakan lebih dulu dibanding kawasan barat.

Kawan, kehidupan Papua penuh keeksotisan. Harmonisasi adat, agama, dan pemerintahan disatukan di setiap pertemuan, tidak untuk formalitas saja di depan atasan. Lelucon mereka benar-benar tulus, tidak menertawakan yang bukan kaumnya, apalagi menghina selain bangsanya.

Rupanya perlu seribu bidikan media untuk membuktikan keramahan Papua. Dan aku hanya bisa iuran cerita sederhana ini sekedar untuk meyakinkanmu, bahwa Papua adalah bagian yang tak boleh tergores dari Indonesia.

7 Agustus 2011, di atas perairan Papua, menuju Kepulauan Karas tercinta.


Cerita Lainnya

Lihat Semua