Terperangkap Jebakan Batman

Arif Lukman Hakim 28 Juli 2011
Pagi itu aku awali dengan menemani bapak memasang voltmeter di genset umum di ujung kampung. Bapak bilang sebentar lagi genset ini sudah bisa dipakai, tinggal persiapan akhir saja. Saat kami di situ, anak-anak sudah mulai berkumpul memperhatikan apa yang kami kerjakan. Setelah voltmeter terpasang, Bapak akhirnya mengajakku ke pantai depan sekolah, diikuti oleh anak-anak; Karim, Ali, Safri, dkk. Sekitar pukul 10.00 aku kembali ke rumah, namun Bapak berpesan kepada anak-anak agar nanti mengajakku untuk berkeliling pulau jika cuaca mengijinkan. Baru satu jam aku memeriksa foto-foto yang kudapat selama di sini, Safri dan Karim terlihat melongok-longokkan kepalanya ke dalam kamarku. Ah, mereka pasti mau mengajakku bermain. Kutanya mereka apakah akan menggunakan perahu, ternyata tidak, jalan kaki saja kata mereka. Baiklah, ini dia petualangan yang kutunggu, sebentar lagi dimulai. Diawali dengan menyusuri bibir pantai di depan sekolah sekitar 200 meter, Safri memimpin rombongan kami yang hanya lima anak naik ke kebun warga. Pohon pala, pisang, singkong, dan beberapa tumbuhan yang sering dimakan warga mulai kami lewati. Trekking masih mengasyikkan walaupun kemiringan tanah mulai menanjak. Sesaat kami menemukan gubuk kecil beratap terpal yang mulai sobek, Safri menawariku beristirahat, kujawab kita terus saja karena tenaga masih banyak. Sekarang giliran menuruni bukit. Terdengar suara manusia yang memanggil kami, ternyata ada rombongan lain; Zainuddin mengajak kawan-kawannya untuk ikut dalam acara petualangan hore-hore ini. Mereka sudah menunggu di bawah sana. Tibalah kami di dasar bukit, alias pantai. Aku baru tahu kenapa mereka tadi memilih menaikki bukit, sebabnya adalah mereka tidak ingin melalui karang-karang di bibir pantai, karena tak ada pasir di bagian ini, semua pasir tertutup karang. Tapi “jalur karang” tak bisa kami hindari. Baru berjalan beberapa meter saja, di depanku sudah tampak medan yang harus kuinjak adalah karang. Sesekali Safri dan Karim yang berjalan paling depan menengok ke belakang, melihatku yang selalu berpikir dua kali saat menyusuri karang. Aku memang sedang berpikir, memikirkan keahlian mereka yang tanpa alas kaki menyusuri karang-karang tajam ini. Risiko jatuh sangatlah tinggi, jika saja terjadi keteledoran dan terpeleset, insyaAllah luka serius pada kaki, tangan, atau bahkan seluruh tubuh mereka. Ah, tapi anak-anak ini cukup hebat. Mereka ahli sekali melangkah, melompat, atau sesekali berlari kecil di atas karang tanpa pengaman. Sudah beberapa menit kami berjalan di atas karang, matahari semakin terik, keringat sudah lelah menetes, air di tenggorokan semakin menepi, tetapi keriangan anak-anak tak pernah berjeda. Langkah kami akhirnya terhenti di sebuah pantai kecil, tanpa kutahu namanya aku sudah membatin, ini dia hidden beach. Di depan hidden beach ini ombak hanya berlari kecil-kecil, seolah sedang tersipu melihat kedatangan guru muda yang masih memakai sandal diantara rombongan yang semuanya tanpa alas kaki. Kucari Safri, eh..ternyata dia sudah naik di ujung salah satu pohon kelapa. Parang yang dibawanya hanya sekali tebas saja buah kelapa sudah jatuh ke pantai seperti bom pesawat udara. Hampir semua rombongan melepas dahaga dengan air kelapa ini. Mereka juga menawariku dengan buah kelapa yang sudah dikupas ujungnya, layaknya suguhan es kelapa muda di restoran-restoran di tepi pantai-pantai Jawa. Aku hanya tersenyum sambil memohon maaf tidak bisa ikut menikmatinya, karena aku masih harus puasa air kelapa untuk menghindari penyakit malaria. Selesai menikmati air kelapa, perjalanan rombongan ini dilanjutkan dengan menyusuri karang lagi. Sekarang karang yang kami lalui semakin bervariasi tingginya. Ada yang dua meter, ada juga yang menjulang empat sampai lima meter. Di sebelah karang itu langsung berhadapan dengan air laut, sehingga pantulan ombak akan berbunyi debam yang cukup keras. Ketika jalur karang tak bisa dilalui, kami terpaksa harus berjalan di dalam air laut. Aksi mencebur ke air untuk melewati karang besar bisa lima menit saja jika jalur karang selanjutnya bisa dilewati lagi, namun kadang juga lebih dari 20 menit jika jalur karang tak bisa dilalui sama sekali. Hidden beach, kami menemukannya lagi. Tak hanya satu, dua, tiga, tetapi banyak sekali kutemukan hidden beach sepanjang perjalanan ini. Kalau di Jawa, pantai-pantai seperti ini mungkin sudah penuh orang yang menjual es, makanan-makanan ringan, lengkap dengan tukang parkirnya. Tapi di sini sunyi senyap, hanya ada deburan ombak, pasir putih, tiupan angin, dan keceriaan anak-anak Papua. Setelah melalui berbagai jalur karang dan bermacam hidden beach, kami melewati suatu tanjung, di balik tanjung ini terlihat sebuah kampung. Kampung Tuberwasak namanya, merupakan kampung yang masih satu pulau dengan Kampung Tarak. Tidak seperti Kampung Tarak, pemukiman masyarakat di kampung ini lebih menjorok ke dalam pulau. Jika air sedang turun (surut), garis pantai terlihat sangat lebar di depan gerbang kampung. Rombongan kami terhenti sejenak untuk sholat dzuhur di masjid Kampung Tuberwasak. Dan tanpa berlama-lama singgah, kami langsung melanjutkan perjalanan dan bergegas meninggalkan Kampung ini. Di balik kampung juga masih terbentang hutan dengan aneka pohon di dalamnya. Suara perutku semakin tak bisa dikompromi di sini, gara-gara belum sarapan sama sekali sedari pagi tadi. Kukira akan sebentar saja petualangan ini, ternyata sudah lebih dari 3 jam kami belum juga kembali. Kenapa mereka tidak bilang kalau perjalanan ini cukup memeras tenaga dan menyuruhku mengisi perut terlebih dahulu sebelum berangkat tadi? Aku memang pernah bilang ke mereka bahwa aku senang berjalan-jalan, senang melihat pantai, senang juga menilik hutan, tetapi dengan keadaan perut seperti ini benar-benar membuat badanku terasa lemas dan ingin segera mengakhiri perjalanan ini. Sepertinya kata-kataku itu menjadi boomerang bagiku sendiri, aku terperangkap jebakan batman! Sementara jalur yang harus dilewati setelah Kampung Tuberwasak adalah jalur hutan yang sesungguhnya, dengan pepohonan yang tinggi, dan bau tanah humus yang pekat di bawahnya. Jalur hutan terlihat tak berujung dan cukup bergelombang dengan berbagai tanjakan dan turunan. Kulihat rombongan mulai terbagi dua, di barisan depan adalah anak-anak yang lebih kecil yang masih saja ceria menyusuri hutan kepulauan ini, dan di barisan belakang adalah anak-anak yang lebih besar yang dengan sabar membukakan jalan dan mencoba memberi guidance untukku ketika melangkah. Ah, kenapa aku harus mengeluh? Aku pikir mereka juga tak ada yang sarapan, karena adat di sini memang tak ada sarapan di pagi hari. Mereka juga sama-sama memulai perjalanan ini di waktu yang sama denganku. Akunya saja yang memang lebih manja. Lihatlah, dengan kondisi jalur seperti ini hanya aku yang beralas kaki, sedangkan mereka trekking tanpa alas apalagi sepatu gunung, mereka memang telah terdidik sangat baik untuk survival alami di alam yang indah ini. Setelah trekking cukup lama, akhirnya kami akan mulai menuruni bukit perbatasan Kampung Tuberwasak. Ups, bukan menuruni bukit, tetapi menuruni jurang! Di awal medan turunan ini memang kemiringannya sekitar 30 sampai 45 derajat, tetapi selanjutnya? Bisa tidak bisa kami harus melalui jalur curam untuk keluar dari hutan, kemiringan mulai bertambah ke 60 derajat, bahkan sekitar 75 sampai 80 derajat. Bahkan di beberapa titik kami menuruni tebing tegak karena tak ada jalur lain untuk turun ke bawah. Tak jarang, aku berpegangan dengan pohon atau rerumputan di kanan-kiri tanah yang kuinjak, karena tanah tersebut cukup basah sehingga semakin membuat licin jika dilalui dengan cepat. Anak-anak rombongan depan mulai berteriak-teriak saat rombonganku mulai menyeruak keluar dari hutan ini. Fyuhhh, pantai juga akhirnya. Mereka mengajakku untuk beristirahat sejenak sambil menikmati air kelapa lagi, tapi aku sudah ingin cepat-cepat pulang mengisi perut dan meluruskan kaki. Yah, akhirnya kami terus berjalan kembali menyusuri sisa pantai sebelum akhirnya tiba di Kampung Tarak. Sekitar pukul 15.50 aku tiba di rumah dengan perut keroncongan, kaki kencang, dan pengalaman petualangan yang menyenangkan. Sarapan! Kata ajaib itu menyelinap di telingaku. Ah, lain kali yang kutanyakan bukan “naik perahu atau tidak?”, melainkan “sarapan dulu atau tidak?”. Juni, 2011.

Cerita Lainnya

Lihat Semua