Sinyal itu mahal, Jenderal!

Arif Lukman Hakim 28 Juli 2011

Dari awal, seolah tak yakin kalau lokasi penempatan mengajarku itu tak ada sinyal telekomunikasi sama sekali. Pikirku mungkin di sana ada sinyal tapi harus memakai penguat, mungkin juga harus pergi ke spot tertentu baru menemukan sinyal. Kemungkinan-kemungkinan itu pasti ada.

Di saat kedatanganku pertama kali di kampung ini, aku langsung mengaktifkan telepon selulerku untuk mengecek sinyal, dan bapak yang waktu itu melihatku langsung bilang kalau di Kampung Tarak ini memang tak ada sinyal. Kemungkinan-kemungkinan yang kurekayasa sendiri sebelum berangkat ke Papua telah lenyap di hari pertamaku di sini.

Tetapi aku belum menyerah. Aku masih ingat sewaktu Pak Bless (Pengawas dari Dinas Pendidikan yang mengantarku dari kota Fak-fak ke Kampung Tarak) mengatakan bahwa di Tanah Besar (pusat distrik atau pusat kecamatan) ada sinyal telekomunikasi. Jadi jika ingin menggunakan handphone silahkan menyeberang saja. Hari ini aku akan menguji salah satu kemungkinan itu. Ada ajakan manis dari Pak Abdullah (kakak bapak) sore ini untuk pergi ke Tanah Besar.

Sebenarnya cuaca agak tidak mendukung untuk menyeberang, namun tujuan utama perjalanan ini adalah mengantar salah satu saudara yang akan bekerja secara outsourcing di salah satu perusahaan minyak yang baru beroperasi di Tanah Besar, jadi bisa tidak bisa harus berangkat. Jangkar sudah diangkat, mesin longboat sudah berdesing, perjalanan dimulai. Untuk membuktikkan hipotesis Pak Bless, maka sore ini aku tidak hanya membawa kamera, tetapi juga handphone lengkap dengan kartu dari sebuah provider besar yang katanya cukup kuat dengan jaringan di seluruh kecamatan di Indonesia. Kalau dapat sinyal, sore ini aku akan menghubungi aparat keamanan Papua sebagai tindak lanjut telepon beliau saat aku masih di Jakarta.

Perjalanan yang kunikmati bersama gerimis dan guncangan ombak, masih terasa menyenangkan karena tak ada polusi sama sekali dan tatapan mataku dipenuhi dengan keindahan kepulauan Karas. Tak terasa sekitar 40 menit terlewati, akhirnya kami menginjakkan kaki di Tanah Besar. Kulihat bangunan-bangunan di sini cukup bervariasi, mulai dari rumah panggung dengan papan sebagai dindingnya, rumah bergaya seperti rumah-rumah di Jawa, sampai bangunan seperti balai pertemuan namun masih menggunakan kayu. Arena pertokoan mulai muncul di hadapanku. Ada warung makan yang menyediakan masakan lokal dan interlokal antar pulau juga. Bangunan publik yang pertama kulihat adalah Koramil. Bangunannya terbuat dari papan, ukurannya sederhana, tak seperti Koramil yang selama ini pernah kulihat. Setelah itu berturut-turut kulihat SD, kantor polisi, masjid, gereja, dan rumah-rumah penduduk yang jaraknya bervariasi. Kembali kuambil handphone dari saku celana, tetap tak ada sinyal! “Fyuh, kalau seperti ini H0 di tolak atau H1 diterima Pak Bless?”, Batinku mulai berargumen. Sambil menemani Karim yang juga ikut dalam perjalanan ini berbelanja aku melihat satu toko yang menyediakan layanan telepon, namun setelah diselidiki itu telepon satelit.

Dengan perbekalan uang yang kubawa hanya seadanya, rasanya enggan untuk mengucap “halo” di telepon satelit itu. Bapak pernah menuturkan kalau sekali isi ulang pulsa untuk telepon satelit seharga Rp 750.000,-, artinya biaya telepon satelit juga tidak semurah pulsa handphone biasa atau warung telepon pada umumnya. Kemudian bagaimana cara mereka berkomunikasi satu sama lain di kepulauan ini?

Selama ini mereka menggunakan RRI, jaringan radio yang melegenda di nusantara. Tetapi informasi hanya satu arah saja. Itupun hanya di jam-jam tertentu, seperti pagi dan sore hari. Selain itu, mereka menggunakan sistem direct communication, atau langsung berkunjung satu sama lain dengan menempuh jarak berkilometer-kilometer atau menyeberang lautan untuk mengabarkan sesuatu entah berupa undangan, pemberitahuan, atau informasi lainnya.

Tapi dari cara mereka berkomunikasi itulah aku melihat sebuah arti kekerabatan. Di sini mereka benar-benar menghargai silaturahim, sehingga kekerabatan antar keluarga, saudara, dan sesama warga cukup kuat meski terpisah ke beberapa pulau. Dengan tak ada sinyal, ironi tidak terjadi dalam keluarga seperti yang ada di beberapa kasus kehidupan kota; ibu rumah tangga tak sempat memasak karena sibuk menelepon dengan teman arisannya, seorang kakak akan lalai menjaga adiknya karena sibuk membalas komentar di jejaring sosial atau chatting dengan teman sebayanya.

Coba perhatikan kawan, saat kita sudah benar-benar dimanjakan teknologi, begitu banyak hal-hal sederhana yang mengeratkan hubungan kita secara nyata dengan orang-orang dekat kita perlahan terkikis bahkan hilang. Terkadang keadaan nyaman membuat penggunaan teknologi secara berlebihan sampai tak menghiraukan nilai-nilai adat tentang kekerabatan. Mungkin ini pelajaran yang penuh makna bagiku,untuk lebih menggunakan asas manfaat dengan baik di manapun dan kapanpun.

Mulai sekarang aku akan memanfaatkan kecanggihan untuk hal-hal yang lebih berguna. Mungkin ungkapan tersebut terbaca cukup klise. Tetapi di sini, aku merasakan sendiri susahnya menghubungi aparat keamanan yang masih satu propinsi, bahkan satu kabupaten denganku. Andai saja ada yang berani menancapkan menara BTS untuk mempermudah media telekomunikasi di Kampung Tarak ini, aku tak perlu mengarungi 3 sampai 4 jam perjalanan laut hanya untuk melaporkan keadaanku, keadaan kampung dan sekolahku, menghubungi pihak-pihak yang harus kumintai koordinasi selama masa penugasan di Papua.

Mungkin masyarakat satu kecamatan di sini akan berterimakasih penuh karena jalur komunikasi dan berbagai informasi akan dapat dengan mudah diterima dan dikirim via sarana telekomunikasi yang lebih canggih. Jadi saat anda membaca tulisan ini, ini bukan murni tulisanku, melainkan kerjasama dengan bapak angkatku, masyarakat Kampung Tarak, pemilik long boat, ombak, dan cuaca yang bersahabat yang mengijinkanku mengarungi lautan Kepulauan Karas sampai dengan Fak-fak selama lebih dari 3 jam. Juni 2011.


Cerita Lainnya

Lihat Semua