info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Byuuurrr!!! Ini belum seberapa!

Arif Lukman Hakim 28 Juli 2011
Jumat 24 Juni 2011, sudah seminggu aku hidup di tanah Papua. Sejak hari pertama aku menyatakan pada diriku sendiri dan pada masyarakat Kampung Tarak, Distrik Karas, Kabupaten Fak-fak ini bahwa aku sudah betah di sini. Entah perhitungan seperti apa dari tim Indonesia Mengajar kenapa aku ditempatkan di salah satu kampung indah di kepulauan Karas ini. Aku yang suka pantai, aku yang hobi main perkusi dan gemar makan pisang, aku yang berkulit hitam dan suka makan ikan, aku yang senang berenang dan menjelajah alam seperti bocah petualang jadi-jadian, semua itu seperti alunan sinergis yang menyatu denganku dan dengan mudah kutemukan ada di sini. Pagi ini aku memang bangun tidur seperti biasa, tapi kupikir-pikir aku harus bersyukur lebih banyak dengan irama takdir yang telah Tuhan berikan.  Hidup di sini seperti kisah yang aku impikan, sedari membuka mata di pagi hari aku bebas melihat pemandangan pantai dan menikmati kehangatan sinar mentari. Belum mandi saja kakiku bisa bermain air laut dengan suguhan senyum ramah masyarakat kepulauan di kampung terpencil yang jauh dari kehedonisan kota. Ah, aku betah di sini, sekalipun ini belum seberapa. Selesai minum teh bersama, pagi ini bapak mengajakku ke samping rumah. Oh, ternyata bapak sudah menyiapkan papan untuk membuat meja. Semalam memang aku menanyakan apakah bapak punya gergaji, bapak balik bertanya untuk apa gergaji itu? Kujawab untuk membuat meja untuk alas laptop dan nanti untuk menulis atau memeriksa pekerjaan rumah anak-anak kalau kegiatan belajar mengajar sudah berjalan. Tetapi bukan hanya gergaji yang disediakan bapak, di situ ada papan, paku, dan palu yang sudah disiapkan. Bapak hanya bertanya, “Berapa ukuran mejanya?”, sebelum kujawab aku hanya bisa membatin, “Luar biasa bapak angkatku ini, sangat pehatian kepada anak sulungnya yang baru seminggu beliau kenal”. Di tengah pelaksanaan proyek pembuatan meja untuk anak angkat kesayangannya ini, bapak harus jeda sejenak karena ada tamu dari salah satu perusahaan minyak yang akan melakukan survei di perairan kampung ini. Tapi, respon masyarakat cukup cepat padaku. Melihatku yang sedang sibuk memotong kayu untuk kaki meja, Pak Hasan menyerahkan dua lembar papan kayu susuk sambil bekata “Pak Guru, kalau papan selebar ini bisa tidak untuk membuat meja?”. Oh Tuhan, sekali lagi terima kasih untuk keramahan kampung ini. Akhirnya sebelum sholat jumatan dimulai, proyek pembuatan meja bersama berdasar asas swadaya telah terlaksana, dua meja telah siap untuk bergerilya bersamaku di tanah Papua. Selesai sholat jumat, dua orang anak —Safri dan Sabar— sudah menungguku di depan rumah. Aku memang sudah berjanji akan memutar film jika meja sudah jadi. Tak ketinggalan, pasukan anak-anak telah menyusul mereka, sekitar sepuluh anak memperhatikan dengan serius caraku mengoperasikan laptop. Pasukan semakin bertambah dan mulai memenuhi ruangan. Siang itu, sekitar 16 anak ditambah beberapa pemuda dan bapak-bapak menyaksikan layar laptop yang menayangkan “Garuda di Dadaku”. semacam nonbar Film sudah selesai, secara tertib mereka meninggalkan ruang tamu rumah bapak yang disulap layaknya kursi bioskop bertiket Rp 25.000,-. Efeknya, hampir semua anak ingin langsung bermain bola. Tapi aksi jugling, heading, atau sekedar passing sore ini tidak di lapangan depan sekolah, melainkan di depan rumah bapak. Sekitar pukul 15.30, selesai sholat ashar kuhampiri mereka. Giliran aku datang, mereka malah mengajakku bermain bola bersama, tetapi sekali lagi tidak di lapangan depan sekolah, kali ini kami bemain tepat di bibir pantai dan berhadapan dengan ombak. Benar-benar anak pantai! anak pantai, main bola pantai! Dua gol sudah Sabar ciptakan, keunggulan tim-ku belum goyah. Pertandingan bola pantai sore itu kami akhiri karena semua orang sudah merasa turun stamina. Tapi ada yang ingin kulakukan sore ini, merayakan kedatanganku selama seminggu di sini. Sore ini aku tak hanya ingin melihat adik angkatku si Dedi asik bermain dayung di laut, tetapi aku juga ingin mencobanya! Ketika kupanggil Dedi, dia malah menawarkan dayung yang lain dan mengijinkanku untuk mendayung sendiri, asik sekali. Ali, Safri, Ibrahim, dan Ramli ternyata menyusul kami, dan menantang untuk balap dayung. Tapi seperti kelas bulu ayam terbang di awan melawan kelas berat, dayungku kalah telak, bahkan terbalik. Haduh.... berlatih dayung. Sore itu juga aku melepas kerinduanku dengan laut. Sengaja kuceburkan sekujur tubuhku dan berenang di laut. Sekitar 10 meter dari pantai, aku sudah dikejutkan dengan apa yang ada di bawahku, karang dan ikan hias! Wow, ini kado terindah untukku. Sayang, aku tak punya masker snorkeling. Terlebih kacamata renang yang kubawa kumasukkan bersama paket buku-buku di dalam cargo dan belum sampai juga. Tetapi aku berinisiatif untuk menanyakannya kepada anak-anak perihal kacamata. Ternyata salah satu dari mereka ada yang punya! Aku kagum pada mereka, hanya ada satu kacamata, dan ini bukan kacamata renang biasa. Layarnya memang kaca, tapi sekelilingnya bukan plastik seperti yang biasa, melainkan kayu, kemudian diikat dengan senar pancing dan dikaitkan dengan karet bekas ban sepeda untuk mengatur ukuran kepalanya. Hebat! Setelah kupakai kacamata super ini, pemandangan super di bawah laut Kampung Tarak ini terlihat sangat jelas. Hanya menggerakkan badan beberapa meter saja, di bawah sana sudah terlihat karang hijau bersusun seperti rak yang dipenuhi ikan-ikan kecil. Ada beberapa jenis alga juga, dan saat kutoleh ke sisi laut yang lebih dalam ada seekor penyu! Pewaris keturunan binatang purba itu seperti terbang di udara di bawah sana, melambaikan keempat kakinya seolah memberi salam padaku dengan penuh kebijakan. pemandangan bawah laut Tarak. Ini belum seberapa, Sabar bilang sebelum jembatan (semacam dermaga kecil untuk menambatkan perahu) juga pemandangan bawah lautnya cukup bagus. Baiklah, kami akan menuju ke sana. Dan memang benar kata bocah petualang sejati satu ini, di bawahku kurang dari dua meter tampak karang-karang meja dan bintang laut! Selama ini aku hanya melihat bintang laut berwarna merah, atau merah muda seperti Patrick di serial kartun kesukaanku. Tetapi di sini aku menemukan bintang laut berwarna biru keungu-unguan. Lucu. Semakin mendekat ke jembatan, kami disambut oleh serbuan ikan. Ikan-ikan itu yang selama ini dipancing anak-anak dari atas jembatan. Di sini aku melihat mereka bergerombol dan berlarian ke sekeliling kami. Menyenangkan sekali rasanya berenang bersama penuh keceriaan dan dikelilingi gerombolan ikan! Sayang tak ada kamera bawah air seperti liputan di televisi-televisi. Tapi biarlah, memori anak-anak yang menemaniku sore ini masih murni, jadi pemandangan bawah laut kampung yang indah ini pasti sudah terekam jelas di kepala mereka. Kami berenang seperti ikan duyung di sekitar tepi jembatan. Sampai akhirnya kami naik ke atas jembatan, kemudian berlari kencang dan melompat ke laut bersama! Byuuuuuuuuuuur! Malamnya, selesai makan malam bersama seperti biasa kami sekeluarga berkumpul di ruang tengah. Dan seperti biasa juga, hampir setiap hari ada saudara, tetangga, atau siapapun dari warga ikut bergabung bersama kami dalam kehangatan tulus yang kunamakan keluarga. Aku mulai menceritakan tentang petualangan pantai dan lautku hari ini kepada bapak, tentang karang, tentang ikan-ikan, tentang bintang laut, dan tentang penyu. Bapak dan seluruh orang yang ada di situ hanya tersenyum-senyum, seolah menyembunyikan sesuatu. Kecurigaanku benar, akhirnya bapak mulai menimpali ceritaku dengan kata-kata bijaknya, “Itu belum seberapa nak, kalau cuaca sedang bagus akan kuajak anak—(panggilan sayang bapak untukku)—ke sekitar ujung pantai sana. Di sana lebih indah pemandangan bawah lautnya, karang dan ikan juga lebih banyak”. Pak Syarif buru-buru menambahkan, “Kalau air sedang naik (pasang), di Tanjung itu sekitar jam 9 atau jam 10 malam ada beberapa penyu yang naik ke darat dan kita bisa melihatnya bersama-sama”. Oh, itu dia yang kucurigai. Ternyata petualanganku hari ini belum seberapa bagi mereka. Tapi tak apalah. Yang penting sepotong ikan tongkol dan sambal buatan ibu untuk lauk makan malam ini sudah kunikmati, seiring dengan keringatku yang bercucuran membasahi kepalaku seperti setelah melompat dan mencebur ke laut dari atas jembatan tadi. hehe

Cerita Lainnya

Lihat Semua