info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kisah Tentang Sudak (1)

Arif Lukman Hakim 28 Juli 2011

Sejak bertemu Pak Bless di Kota Fak-fak, saya sudah menanyakan siapa nama Bapak yang akan menjadi ayah angkatku. “Namanya Sudak, pekerjaannya nelayan, rumah di pinggir pantai”, jawaban singkat Bapak Bless saat kutanya. Akhirnya aku tiba juga di Kampung Tarak, kampung yang juga bergelar “surga ikan” kata bapak-bapak pengawas yang menjemput kami di Kota Fak-fak. Bapak Sudak, nama lengkapnya adalah Amir Sudak, mulai hari ini akan menjadi “bapak” baru bagiku. Aku segera mencari tahu tentang keluarga baruku ini. Keluarga ini tergolong keluarga sederhana yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan tiga orang anak. Bapak angkat dan papeda Sudak adalah nama marga, sebagai salah satu dari lima marga yang secara mayoritas hidup di kampung ini. Seolah telah terskenario, kedatanganku disambut dengan dua hal yang cukup kugemari; pisang goreng dan teh panas. Dua jenis media pengisi perut itu kunikmati seiring dengan angin pantai yang berdesakan masuk melalui jendela tanpa kaca. Rumah bapak termasuk besar di antara rumah yang lain di kampung sederhana ini. Rumah yang sebagian besar temboknya berupa batako yang belum diplester ini ternyata masih dalam tahap renovasi sejak enam bulan kemarin. Mendengar kabar bahwa akan ada guru muda yang akan menempati, bapak berusaha mempercepat proses perluasan rumah. Rumah ini memang sudah terasa sering digunakan untuk tempat berkumpul masyarakat karena ukuran ruang tamu yang cukup luas, walaupun tanpa sofa, jendela yang hanya separuh tertutup papan, hanya jam dinding yang menjadi hiasan, tak ada vas apalagi bunganya. rumah baruku :) Pertemuan awalku dengan bapak diawali dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang perjalananku menuju ke kampung ini. Di sisi lain, bapak juga mulai bercerita tentang kampung dan kehidupannya. Bapak sudah tiga kali diajukan menjadi kepala kampung, anehnya permintaan masyarakat padanya untuk menjadi kepala kampung yang pertama kali adalah saat dia baru delapan bulan lulus SMEA. Bapak bilang, “Pemimpin bukan hanya yang punya pendidikan lebih tinggi, tapi dilihat juga dari pengalaman, terlebih adab atau sopan santun saat berada di tengah masyarakat”. Bapak merasa belum mampu dalam hal pengalaman kala itu, maka bapak memutuskan untuk tidak maju dalam pemilihan kepala kampung. Baru setelah tiga kali diajukan, dan atas dasar dorongan masyarakat yang begitu besar agar beliau maju sebagai pemimpin, beliau baru menyanggupi dan langsung memenangkan pemungutan suara atas kepala kampung lama yang ternyata sudah 8 tahun menjabat. Beliau dulu juga sempat merantau, tetapi hidup di kampung baginya lebih nyaman. Bapak hanya bilang, “Alam ini sudah memanjakan kami. Ingin cari lauk tinggal lempar mata pancing ke laut su dapat ikan. Ingin sayur tinggal pergi ke hutan di belakang rumah tinggal petik saja sayur yang kau tanam”. Saat kutanya di mana dia bersekolah dulu, tatapan mata beliau mulai serius, dengan raut muka campuran antara keturunan Maluku dan Papua, bapak bercerita bahwa saat SD dulu beliau harus menyeberang satu jam menuju sekolahnya di kampung sebelah. Jika kakak sakit, atau ada kepentingan, maka beliau pergi mendayung sendiri. Kalau cuaca sedang memburuk, libur panjang tanpa menentu kapan masuknya. Perjuangan untuk sekolah sangat berat dirasakan saat beliau memasuki tingkat SMA. Sambil bersekolah di salah satu SMEA di Kota Fak-fak, beliau bekerja serabutan untuk membiayai sekolahnya. Sempat menjadi kuli pasir, dengan hitungan Rp 4.000,- per satu rit pasir, itupun dibagi ke beberapa orang setiap rit-nya. Bapak hampir tak bisa ikut Ebtanas dan gagal mendapat ijasah SMEA karena menunggak SPP enam bulan. Namun, kabar tersebut telah terdengar oleh orang tua bapak yang akhirnya membawa mereka ke kota, “Saya sampai menangis waktu itu bertemu orang tua saya di pelabuhan, ternyata orang tua saya mendayung dua belas jam lamanya dari Kampung Tarak ke Kota Fak-fak, hanya untuk melunasi pembayaran SPP sebesar Rp 8.000,- setiap bulannya agar saya dapat mengikuti Ebtanas”. Malam pertamaku di rumah bapak langsung diikutkan dalam pertemuan warga. Yang membuatku terkejut adalah acara perkenalan guru muda menjadi agenda pertama sebelum pembahasan lainnya. Sekitar 20-an orang tokoh masyarakat dan pemuda yang hadir di ruang tamu yang disulap menjadi aula serba guna ini mendengarkan dengan seksama suara bapak yang malam ini didaulat menjadi Kepala Kampung, pembawa acara, moderator, sekaligus notulen rapat. Multitalent juga bapakku ini. Sebagai pemimpin rapat, bapak menyelesaikan masalah dengan sistem musyawarah mufakat dalam arti sesungguhnya, tanpa lobi-lobi politik, tanpa kecenderungan, apalagi memihak kepentingan tertentu. Otoritas kebijakan kampung yang ada di pundaknya selalu dituntaskan dengan melihat kepentingan masyarakat secara umum, dan selalu diceritakan apa yang sebenarnya terjadi tanpa ditutup-tutupi. Bapak juga tipikal pemimpin yang Ing ngarsa sung tuladha, ketika di depan beliau memberi contoh. Saat ada proses pembangunan rumah warga secara gotong-royong, bapak tidak senang menyuruh, melainkan dengan sigap naik ke atas rumah untuk memasang atap dengan baik sekalipun itu bukan rumah yang akan ditempatinya. Saat akan memulai kerja bakti membuat bak penampungan air dan pendirian tempat untuk genset umum, bapak sudah di sana terlebih dahulu untuk menyusun batako dan semen sebelum warga mulai berdatangan untuk bekerjasama melaksanakan proyek desa tersebut. Kalau ada sertifikasi, bapak mungkin nelayan bersertifikat ISO sekian untuk urusan kelautan. Berbagai cara menangkap ikan beliau kuasai, memakai pancing, jala, bahkan batu. Forecasting tentang keadaan cuaca hampir sepenuhnya akurat. Hitungan musim dan ciri-ciri lokasi tempat berkumpulnya ikan  benar-benar beliau pahami layaknya telah menyelesaikan 120 sks mata kuliah. Bapak angkatku saat mempraktekkan cara memancing dengan batu Cerita bapak kemudian berlanjut ke masalah tantangan yang dihadapinya untuk memajukan kampung ini. “Puskesmas Pembantu sudah dibangun, tetapi belum ada petugas yang mau menempatinya. Masyarakat sekarang sudah punya sekolah di Kampung, walaupun hanya dua ruang kelas saja, tetapi anak-anak tidak perlu menyeberang kalau mau bersekolah”. Ketertinggalan SDM menjadi poin penting baginya. “Jaman sudah berkembang, bagaimana caranya orang Papua khususnya Kampung Tarak ini juga tidak kalah dengan daerah lainnya, terutama Jawa”. Juni 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua