Pak Guru Sayang

Arif Lukman Hakim 1 Juli 2011

Sekalipun masyarakat sudah tahu kalau ada guru baru di sekolah, aku merasa masih perlu untuk sering-sering berkumpul dan mengenal mereka lebih dekat lagi. Terlebih aku tidak hanya menjadi guru di sini, tetapi juga akan hidup bersama mereka selama setahun, pengetahuan tentang masyarakat secara langsung mutlak diperlukan.

Beberapa metode yang kupelajari tentang proses pendekatan kepada masyarakat memang sudah kupelajari, namun sebagai awalan aku ingin proses kedekatan tersebut berjalan natural dan ikatannya lebih bersifat emosional. Maka hari-hari pertamaku di tanah Papua ini kuawali dengan berburu kesempatan agar bisa sekedar mengobrol, bermain, atau kegiatan informal apapun agar proses pendekatan dapat berjalan alami dan lebih mendalam.

Demi misi tersebut, aku tak melepaskan tawaran seorang anak yang biasa dipanggil Sabar. Bocah enerjik itu mengajakku bermain sepak bola di lapangan depan sekolah. This is the time! Sepak bola adalah olah raga sejuta umat, di mana saja pasti banyak yang menggemarinya. Dan jika aku sudah ikut bermain bola, artinya semua yang ikut dalam permainan tersebut pasti akan mengenalku. Sore ini akan menjadi perkenalan sejuta umat bagiku.

Bocah bernama Sabar, selalu berlatih sepak bola dengan Sabar :)

Lapangan di depan sekolah sebenarnya cukup luas untuk ukuran anak-anak sekalipun tak seluas standar lapangan sepak bola. Dari lapangan sederhana ini aku menyaksikan sendiri anak-anak Papua memang punya skill yang cukup menjanjikan dalam hal adu tendang bola kaki ini. Mutiara-mutiara hitam seperti mereka rata-rata masih usia sekolah, namun sangat piawai dalam dribling, passing, dan sejenisnya.

Pantas saja Persipura menjadi juara liga Indonesia tahun ini, pembibitan secara alami saja sudah membuatku berdecak kagum dengan kemampuan sepak bola mereka. Aku berada di sayap kiri kali ini. Anggap saja posisiku ini sebagai winger forward karena aku lebih banyak menyerang daripada bertahan. Berkali-kali aku mendapatkan kiriman bola dan selalu kucoba untuk menusukkan bola ke jantung pertahanan lawan.

“Bola matiiiiiiiiiiiii!”, teriak anak-anak, oh.. rupanya itu istilah ketika terjadi pelanggaran. Karena pelanggaran terjadi di mulut gawang, jadi tim kami berhak mendapatkan penalti. Siapa yang akan menendang bola kali ini? Pertanyaanku terjawab oleh suara nyaring Sabar, “Pak guru sayang, ayo silahkan tendang!”. Seluruh anggota tim, kecil dan besar menyetujui kata-kata Sabar.

Wow, ini kebanggaan bagiku. Sekalipun bukan pertandingan resmi, aku merasa dipercaya oleh mereka. Sayang sekali, kiper menghalau tendanganku dan pupus sudah harapan mengubah kedudukan. Namun aku terhenyak dengan sebaris kata-kata lugu yang diucapkan Sabar. Mungkin dia mengucapkannya dengan nada guyon, tak serius. Tetapi ya, mulai sekarang aku akan menyandang kata “Pak Guru”. Hampir setiap hari aku akan berangkat pagi-pagi dan mengajar di sini, di SDN Tarak, Distrik Karas, Kabupaten Fak-fak. Aku akan bertemu mereka, anak-anak yang akan menghiasi keceriaan di sekolah yang hanya mempunyai dua ruang kelas, dan dua orang guru. Aku akan mengenal satu-persatu dari mereka yang tak punya perpustakaan walaupun haus akan bacaan.

Mulai tahun pelajaran baru nanti aku akan berdiri menjadi Pak Guru yang harus menyayangi mereka dan dengan penuh kesabaran menjawab rasa ingin tahu mereka tentang dunia luar. Pertandingan akbar bagiku sore itu diakhiri dengan acungan jempol dari Sabar dan senyuman dari anak-anak yang ikut bermain bola kepadaku, karena aku memasukkan satu gol dan tim kami memenangkan pertandingan dengan skor 2-1. Sambil berjalan pelan-pelan mulutku bergumam, “Aku juga sayang kalian”. halaman depan SD N Tarak, setelah ada lapangan bola, langsung bertemu pantai ini


Cerita Lainnya

Lihat Semua