info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Kesan dan

Adeline Susanto 23 Juli 2011
“Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda!” Begitu pesan sebuah iklan parfum yang tagline-nya cukup terkenal sekitar dekade yang lalu. Yak, kesan pertama. Kita begitu sering terkecoh dengan kesan pertama, dan kita sendiri seringkali mati-matian berjuang pada kesan bertama. Si Kujo yang pernah jadi koboi kampus misalnya. Mahasiswa satu ini berambut gondrong gimbal, berbaju kaos berketek bolong, bercelana jeans butut dengan seburan bulu-bulu kaki dari guratan celana yang robek, dialasi sendal jepit yang tidak berpasangan. Namun, siapa sangka  pada hari wawancara kerjanya, ia memangkas rambutnya sampai tinggal 3 cm, menyetrika kemeja dan memakainya lengkap dengan ikat pinggang, celana kain, dan sepatu kulit  yang sudah disemir mengkilap. Ia berharap mendapatkan kesan pertama yang dianggap baik secara normatif. Ketika sudah diterima, lambat laun kemejanya mulai berantakan, rambutnya semakin jarang dipangkas, dan sepatunya kotor tidak terurus. Tanpa ancaman pemecatan, ia mungkin kembali lagi menjadi ia yang lama. Ada lagi si Simot. Gadis ini adalah gadis yang pemberontak, pemarah, egois, namun juga adalah orang yang penuh semangat. Ia mendobrak paradigma tekanan orang-orang sekitarnya tentang apa yang sopan dan tidak, apa yang menjanjikan masa depan cerah dan apa yang sebaliknya. Ia tidak begitu peduli tentang kesan pertama secara fisik. Ia berpakaian yang nyaman menurutnya walaupun nyaman berarti kaos, jeans, dan sepatu kets. Jangankan rok, celana kain saja enggan dia pakai. Ia makan dengan kaki kiri terangkat di kursi dan kentut seenaknya. Entah kenapa, proses kehidupan memanggilnya untuk menjadi seorang GURU. Maka pecahlah perang dunia. Bagaimana seorang pendobrak yang tidak mau diatur belajar mengatur orang lain? Dan seorang yang pemarah menghadapi puluhan anak-anak yang maunya hanya bermain sesuka hati? Guru kencing berdiri murid kencing berlari. Kalau guru kentut sembarangan, bisa-bisa murid buang air besar sembarangan . Kesan pertama pun harus Simot hadapi. Kesan yang akan membuat para murid menyukainya dan bisa menerima pelajaran. Maka mulailah ia menyesuaikan dirinya. Ia mengajarkan “tepuk semangat”, “superman wuss”, “lagu belajar”, dan sebagainya. Ia belajar banyak-banyak bersabar ketika anak-anak tidak mendengarkan dan sama sekali tidak mengerti materi. Ia berpakaian kemeja yang rapi. Ia  menempatkan dirinya sebagai orang yang murah senyum sekalipun ada hal yang tidak mengenakkan di hatinya. Kesan ini berhasil. Murid-murid mulai menjadi anak yang penurut, semangat, dan kompak. Namun seperti yang harus kita pahami, menjadi guru berarti harus bisa menyesuaikan diri dengan segala macam murid dengan keunikan karakteristiknya. Menjadi guru tidak bisa hanya mengajar satu kelas saja seumur hidup. Ketika tahun ajaran baru dimulai, murid-murid lain memasuki kelasnya. Saat itulah kemurnian Simot. Dia jadi mudah marah ketika murid-murid tidak menurut dan ide-ide kreatif menjadi sulit mengalir di kepalanya. “Seandainya anak-anakku yang baru ini baik dan penurut seperti anak-anakku yang lama”. Simot lupa bahwa ada proses setelah kesan pertama yang memberikan dampak lanjutan anak-anaknya menjadi baik. Banyak orang-orang yang hidup untuk memberi kesan pertama yang baik. Polesan-polesan bedak untuk menutupi jerawat dan panu di muka. Seringkali kita lupa bahwa kesan pertama selalu ada dan selalu berulang, walaupun dengan manusia dan situasi yang berbeda. Ketika kesan pertama berhasil baik, kita rentan terjebak dalam masa lalu. Orang hanya bisa berkata, “dulu saya begini loh.. dulu saya pernah mendapatkan itu loh.. ”. Ada juga orang yang hidupnya penuh dengan penyesalan akan kesan pertama yang gagal, “Seandainya dulu saya begitu.. coba kalau dulu saya tidak melakukannya.. “ Mungkin kita sendiri sering masuk dalam kedua kategori itu. Memangnya, bagaimana jika bukan kesan pertama yang kita utamakan? Bagaimana jika apa adanya kita yang ditampilkan? Atau lebih baik. bagaimana jika kesan baik yang ingin kita munculkan dalam saat pertama memang kita hidupi dan jalani? Seperti pengawas sekolah saya.. Pengawas sekolah saya sosoknya besar dan sangar. Kesan pertama saya tentang dia tidaklah begitu baik. Sosoknya yang terlihat angkuh dan kasar. Namun ternyata, kesan itu berubah total ketika saya mulai mengenalnya. Ia mengumpulkan, menyemangati dan memimpin para guru. Ia memberikan ruang bagi guru untuk kreatif dan memberikan mereka penghargaan sesuai dengan porsinya. Ia berada di garis paling depan ketika ada tekanan bagi para guru, walaupun terkadang jadi mengorbankan diri dan jabatannya. Ia hidup untuk memberi perbaikan bagi pendidikan dan pembinaan bagi para guru di daerah walaupun sendirinya tinggal di kota sehingga ia harus bolak-balik. Keberadaanya memberikan keyakinan kepada para guru setempat bahwa mereka bisa menjadi lebih baik, dan ketenangan bahwa mereka tidaklah menjadi korban birokrasi pemerintah yang KKN. Saat ini beliau sedang sakit namun tetap memaksakan diri untuk hadir di tengah-tengah para guru untuk menjawab kebimbangan perihal pelaksanaan pendidikan secara administratif dan idealis. Kesan pertamanya berhasil menipu namun ketulusannyalah yang akhirnya berperan lebih besar dalam pembelajaran saya. “Dokter boleh memvonis hidup saya 1 tahun lagi, namun saya yakin akan masih hidup sampai 1000 tahun lagi. Itulah yang namanya Semangat. Allah berkehendak lain, karena saya masih dibutuhkan banyak orang.”- Marsud, pengawas satuan pendidikan SD wilayah III Sendana, Kabupaten Majene

Cerita Lainnya

Lihat Semua