info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Simbol atau Moral?

Adeline Susanto 23 Juli 2011
21 Juni 2011 Penghargaan Simbolis VS Pendidikan Moral Sebagian besar orang kota yang sudah terbiasa dengan akses pendidikan yang mudah mungkin merasa bahwa adalah hal yang lumrah untuk seorang anak lulus dari sekolah dasar. Daripada perayaan, anak disibukkan untuk mempersiapkan diri melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Berbeda halnya dengan di daerah penempatan saya, Kecamatan Sendana Kabupaten Majene. Kelulusan SD merupakan sebuah momen yang sangat diapresiasi oleh masyarakat. Bahkan bisa dikatakan acara paling ditunggu selama satu tahun. Perayaan kelulusan sekolah yang digabung dengan khataman Qur’an ini dilakukan secara besar-besaran dengan melibatkan adat Mandar yang tersohor, Saeyang Pattu’du. 8 orang peringkat teratas dari setiap sekolah mendapatkan penghargaan berupa menaiki Kuda Pattu’du yang bisa menari mengikuti irama rebana. 25 sekolah yang ada melambangkan 100 kuda yang dipersiapkan untuk diarak keliling bersama sang juara. Gegap gempita momen bergengsi inilah yang menjadi penyemangat seorang anak SD untuk belajar di sekolah. Adalah hal yang menarik bagi saya melihat betapa besarnya dukungan pemerintah daerah setempat untuk memacu anak bersekolah. Sudah menjadi kebiasaan bahwa perayaan kelulusan dan khataman Qur’an diadakan dalam rangkaian perkemahan. Semua sekolah dikumpulkan menjadi satu di lapangan Buraq Sendana. Masing-masing sekolah mendirikan kemah, lengkap dengan pagar, gerbang, umbul-umbul, bahkan WC darurat. Mengingat peserta perkemahan adalah anak-anak SD, cukup bisa dipastikan bahwa pemeran utama dalah hal perkemahan, mulai dari membangun kemah sampai memasak setiap makanan adalah para guru. Menariknya, untuk hari arak-arakan, orangtua yang rangkinglah yang menjadi tuan rumah. Mereka yang menyiapkan masakan dan kue-kue untuk para tamu. Besar biaya yang dikeluarkan pada hari itu. Acara di malam pertama adalah prosesi kelulusan dan pemberian medali (yang disiapkan masing-masing sekolah), acara malam kedua adalah acara khataman Qur’an dimana semua anak perempuan menggunakan pakaian adat mandar dan para laki-laki menggunakan baju Arab. Hari ketiga adalah hari Messawe atau arak-arakan yang paling ditunggu. Semua pemegang rangking 1-8 menaiki kuda yang menari untuk diarak. Waktu-waktu di luar ketiga kegiatan tersebut diisi oleh kegiatan pramuka. Yak, sudah cukup sedikit cerita mengenai perayaan kelulusan. Saya lebih ingin menceritakan fenomena di balik hingar bingar perayaan ini. Pagi itu, hari pertama perkemahan, yang juga merupakan hari penentuan rangking oleh guru kelas 6 setelah mendapatkan data nilai ujian nasional, seorang guru datang ke rumah dengan mata bengkak. Beliau mencari bapak saya, sang kepala sekolah. Sayangnya bapak kebetulan sedang tidak di rumah. Luberlah air dari kantongan di matanya dan membuat saya benar-benar bangun karena kaget. “Ada apa, Bu?” tanya saya. “Barusan saya dari tempat Ibu Kelas 6, katanya Fiqi rangking 9” jawabnya. Fiqi adalah siswa kelas 6, yang juga adalah anak adiknya yang dititipkan. Kedua orang tua Fiqi tinggal di Mamuju dan menitipkan Fiqi pada tantenya yang seorang guru. “Saya malu sekali ini sama keluarganya Fiqi, mereka sudah datang dari Mamuju, dan sudah masak-masak. Saya bilang ke mereka bahwa Fiqi mungkin rangking.” Dari ceritanya terlihat sakit hatinya pada guru kelas 6. Guru kelas 6 yang sekarang adalah guru yang biasanya mengajar kelas 1. Oleh sebab guru kelas 6 dimutasi pada bulan Januari, guru kelas satu ini diamanahkan untuk menggantikan. Pada semester 1, dengan guru yang lama, Fiqi rangking 4, sedangkan semester 2 menjadi rangking 7. Walapun kecewa, beliau masih berharap Fiqi masuk 8 besar. Apalagi keponakannya memang cukup menonjol dalah hal seni dan merupakan seorang anak yang percaya diri. “saya marahi Fiqi, kenapa jelek sekali nilaimu?” cerita bu guru. “Teman-teman semua menyontek waktu ujian, Bu.” Jawab Fiqi. “Terus kenapa kamu tidak mencontek juga?” tekan sang ibu guru. “tidak mau saya!” jawab Fiqi. “Makanya kamu jadi tidak rangking, kalah sama teman-temanmu! HARUSNYA KAMU MENCONTEK JUGA!” saat itu juga saya sanggah dan agak keras berkata pada sang ibu guru, “kenapa Ibu bilang seperti itu!? Bukannya justru bagus kalau dia tidak mencontek?” dan jawabnya, “ya, tapi jadi begini keadaannya.” tidak dapat menerima keadaan. “Tolong bilang ke bapak, mohon maaf kalau saya tidak datang ke kemah. Tidak sanggup saya berhadapan dengan para orang tua.” Pesan guru ini. Wah wah, bisa makin repot ini kalau dia tidak datang. Guru sedikit, pekerjaan banyak. Begitu pesan ini sampai ke Bapak, beliau langsung memutuskan merubah rangking dan memasukkan Fiqi ke dalam peringkat. Debat panjang terjadi antara para guru dan guru kelas 6. Saya pribadi kagum dengan keteguhan sang guru kelas 6. Menurutnya, dia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap hasil yang sudah diperoleh anak-anak dan sudah terdaftar di diknas. Apapun yang terjadi, dia tidak mau merubah nilai hanya karena tangisan seorang guru. “harusnya sebagai seorang guru, dia lapang dada menerima. Mungkin saja ini rejeki anak yang lain.” Sanggahnya. Namun, Bapak akhirnya lebih memilih kekeluargaan para guru dibandingkan rejeki seorang anak. Dengan tanpa merubah nilai, rangking dirubah. Sekedar supaya Keluarga Fiqi berbangga hati anaknya masuk peringkat dan Fiqi juga senang bisa naik kuda. Bu guru pun kembali datang ke kemah dengan perasaan lega karena anaknya mendapat peringkat dan dia tidak jadi terbunuh oleh rasa malu. Saya senang Fiqi memutuskan tidak mencontek, namun adalah juga ketidakadilan untuk merubah nilai yang ada. Kita hidup bukan dalam dunia yang perfeksionis. Tidak semua orang baik langsung mendapatkan balasan yang setimpal. Adakalanya sudah jatuh tertimpa sapi, seperti teman guru saya beberapa waktu lalu. Tidak mencontek adalah hal baik, namun bukan berarti dia langsung mendapatkan penghargaan. Hati saya seperti teriris setiap melihat sang anak yang dikeluarkan dari peringkat. Mungkin itulah sedikit potret tentang simbolisasi penghargaan. Acara naik kuda, dengan pendidikan moral. Anak dan orang tua, bahkan guru, menghalalkan segara cara supaya mendapatkan penghargaan suatu prestasi. Prestasi yang sebenarnya tidak mereka capai. Dan mirisnya, mereka berbangga hati karenanya. Mereka berbangga dengan foto dan cerita. Idealisme.. hati nurani.. kekeluargaan.. kebersamaan.. mana dipilih?

Cerita Lainnya

Lihat Semua