Euforia Pengajar Muda

Arif Lukman Hakim 28 Juli 2011
Tinggal hari ini saja. Besok aku akan pergi ke kota. Waktu semakin mendekat. Sebentar lagi aku akan bertemu sinyal. Aku dapat menghubungi pihak-pihak yang siap kutuju nomer teleponnya; Indonesia Mengajar, orang-orang yang mengkhawatirkan nasibku di pedalaman ini, tak terkecuali Emak di kota bawang merah sana. Besok aku juga akan bertemu 7 orang Pengajar Muda Fakfak lainnya. Mereka pasti sama denganku, punya sejuta cerita tentang kampung, sekolah, dan rumah baru mereka. Pagi ini akan kususun daftar barang-barang yang harus dibeli di kota karena tak kutemukan di sini, ada beberapa bahan mengajar yang harus dilengkapi. Harus cepat. Agar setibaku di kota bisa maksimal menggunakan waktu yang terbatas. “Pak guru, minum teh dulu sebentar”, suara bapak angkatku terdengar dari luar kamar. Aku segera beranjak dari ruangan batako menuju ruang tengah, seperti biasa. Setelah kuteguk teh hangat buatan ibu, bapak tiba-tiba berujar, “Pak guru jadi ke kota besok pagi?”. Aku segera menyahut, “Iya Bapak, kalau cuaca mendukung saya akan berangkat ke kota sebentar. Ada apa Bapak?”. “Kalau pak guru berkenan, pak guru bisa berangkat hari ini. Cuaca sangat mendukung untuk menyeberang di laut. Hari ini ada warga yang akan turun* ke kota, pak guru bisa ikut mereka”. Hatiku berteriak riang, semakin cepat ke kota semakin baik. Sekolah masih belum masuk sampai seminggu ke depan. “Baik bapak, saya ikut mereka. Saya siap-siap dulu sebentar”, muka cerahku tak dapat disembunyikan. Aku langsung memasukkan beberapa pakaian ganti, laptop, dan kamera yang kuamankan di dalam dry bag dan terlindung nyaman di dalam ranselku. Setelah pamit dengan bapak dan ibu angkatku, aku menyisir pantai sebentar menuju ke longboat, satu-satunya alat transportasi termewah bagi warga menuju kota. “Bapak, saya boleh singgah sebentar di Kampung Urat? Ada ibu guru di sana yang akan ikut ke kota juga bersama saya”, aku menanyakan pada pemilik longboat. “Iya Pak guru, tadi Bapak Desa sudah bilang ke saya. Pak guru silahkan duduk di tengah longboat”, kata bapak yang juga nelayan ini, cukup tenang. Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, longboat di sini umumnya berukuran panjang sekitar 10-12 meter, dan lebar sekitar 0,9-1,1 meter saja. Rasio antara luas kapal laut itu dengan ombak yang kami terjang tidak sebanding. Dan jarak yang ditempuh cukup membuat naik turun badan, sekitar 3,5 jam. Kali ini perjalanan turun ke kota menggunakan longboat yang kunaiki telah diduduki 7 orang, beserta barang-barang bawaan masing-masing; ransel, tas sekolah, pisang, ubi, dan beberapa tas dan karung yang aku tak tahu apa isinya. Longboat mulai menembus laut menjauhi Kepulauan Karas pagi itu, sekitar pukul 08.00. Pikiranku kembali mengingat hampir 3 minggu silam, saat pertama kali menjamah pulau ini. Ketakjubanku pada eloknya belahan kepulauan yang terletak di tembolok kepala burung Pulau Papua ini belum juga berkurang. Cantik, alami, dan mempesona. Di tengah keasikanku mengabadikan rentetan pulau dan laut Kepulauan Karas ini, Pak RT, salah seorang tokoh masyarakat yang juga ikut rombongan perjalanan ini menyapaku, “Pak guru, nanti saya mohon bapak untuk bisa mengajar mengaji pada anak-anak selain mengajar di sekolah. Saya lihat pak guru ini membawa hal baik bagi warga Tarak”. Ucapan itu terdengar santai, tapi aku merasa selama ini telah diamati dan dinilai, bukan oleh orang yang ingin kudekati demi sebuah posisi apalagi jabatan, melainkan langsung oleh masyarakat di pedalaman. Aku tak mengira pandangan seorang tokoh yang usianya melebihi setengah abad akan seperti itu. “Baik Bapak, saya memang berencana membuat beberapa kegiatan untuk anak-anak”, aku menjawabnya. Obrolan kami berlanjut tentang pengalaman beliau saat merantau ke berbagai kota di Papua, tentang perkembangan keadaan Kampung beberapa dekade silam, dan tentang perubahan situasi keterdidikan di Kepulauan Karas. Miris memang. Hak pendidikan belum sepenuhnya terjawab di bumi yang masih sangat subur ini. “Itu pulau burung, sebentar lagi kita masuk Kampung Urat pak guru”, kata Pak RT menunjuk sebuah pulau beberapa kilometer di depan kami. Wulan, teman pengajar muda yang ditempatkan di Kampung Urat, kau pasti akan terkejut dengan kedatanganku hari ini. Maaf, aku tidak menepati janji untuk datang besok pagi. Tetapi aku yakin sepenuh hati, kedatanganku yang lebih cepat akan membuatmu lebih senang. “Permisi ibu, ibu guru Wulan ada di rumah kah?”, tanyaku dengan sedikit logat Papua pada seorang ibu di depan rumah baru Wulan. “Ibu guru tara ada, sudah seminggu di kota”, sahut sang ibu. Aku yang terkejut sekarang. Kenapa Wulan sudah seminggu di kota? Tidak betah kah? Atau ada masalah? Cukup cemas. Atau Wulan ada kepentingan dengan keluarga angkatnya atau dengan pihak sekolah lalu diajak ke kota? Semoga seperti itu, biar saja dia tidak di kampung seminggu lamanya, tapi semoga itu untuk kegiatan yang berakhiran bahagia. Kami melanjutkan perjalanan menuju kota. Ombak semakin bergelombang memasuki Tanjung Pamali (sebuah daerah yang dianggap cukup berbahaya dan sangat diwaspadai ketika menyeberang ke kota, nanti kuceritakan lain waktu tentang tanjung ini). Pulau Tugu Seram sudah mulai terlihat. Patung pahlawan di atasnya sudah semakin jelas. Di balik pulau inilah pusat Kabupaten Fakfak berada. Betul, sebentar lagi aku akan sampai di kota. Kapal-kapal perusahaan minyak mulai muncul di lautan. Barisan bangunan yang tersusun dari terbawah di pesisir pantai sampai teratas di perbukitan mulai terarsir di kameraku. Carribean city in Indonesia, sekalipun belum pernah ke sana, aku sepakat dengan beberapa temanku yang menyebut Fakfak seperti kota-kota di Karibia. Longboat akhirnya memasuki lautan di depan Jalan Baru, kemudian bersandar di sisi tangga talud jalan. Kuucapkan terima kasih banyak kepada rombongan warga kampung Tarak, para bapak dan ibu nelayan yang telah berbaik hati memberi tumpangan padaku. Segera kubuka ransel. Benda yang kucari tak lain adalah handphone. Akhirnya, ada tulisan selain “no service” di atas handphone-ku! Akhirnya muncul sebuah nama provider yang akan banyak membantuku selama di kota ini. Segera kukirim sms ke pihak-pihak yang mempedulikan kabarku, Emak, dan teman-teman Pengajar Muda. Aku cek lagi, hanya beberapa sms yang masuk. Mungkin ada berbagai pihak yang mengirim sms, tetapi karena selama di Kampung Tarak sama sekali tak ada sinyal barang setengah bar, mungkin sms itu sudah kadaluarsa di satelit atas sana. Akhirnya satu persatu pengajar muda dapat kuhubungi, “Assalamualaikum, hei Wulan, kamu di mana? Aku di kota, aku tadi ke Kampungmu, tapi katanya kamu sudah di kota seminggu lalu. Ada apa?”. “Hoi Ariiiif, akhirnya kamu ada kabar juga. Iya, aku sakit malaria. Harus opname juga. Jadi harus tinggal di kota. Kamu di mana sekarang? Anak-anak sudah mulai berkumpul, kamu coba hubungi MJ, Adhiti, Eky, atau Ika”, suara Wulan terdengar ceria di telepon. Berikutnya sms dari Adhiti, MJ, dan beberapa orang berebut menyerbu benda yang berpulsa utuh itu. Kami bertemu di sebuah warung Jawa Timur-an di area pertokoan Kota Fakfak. Teriakan bahagia pengajar muda saat kami bertemu melunturkan kedewasaan mereka. Seperti bocah yang bertemu dengan hal yang disenanginya. Muka mereka mulai kelihatan meningkat kadar kehitamannya. Beberapa orang menuturkan kekhawatiran atas kabar seorang pemuda yang disebut mirip dengan penduduk asli Kepulauan Karas ini. Kebahagiaan kami akhirnya terlengkapi dengan kehadiran Angga dan Subkhi, dua orang dengan kelebihan luar biasa yang menggenapkan pasukan pengajar muda Fakfak. Hari-hari kami dilalui dengan masing-masing cerita, penuh euforia. Sekalipun tangan kami tak jauh-jauh dari urusan sms, telepon, ataupun aktifitas di dunia maya. Mungkin ini salah satu rasa bahagia yang bisa membius kami, mengurangi keluhan dan lebih banyak syukur yang kami panjatkan. 02.30. 2 Juli 2011. Di sebuah penginapan. Di atas bukit. Di antara panorama kota dan laut malam Fakfak. ________________________________________________ *) di sini menggunakan istilah “turun” untuk pergi ke kota, dan “naik” jika akan pergi ke Kepulauan Karas.

Cerita Lainnya

Lihat Semua