1 lawan 6? Berani?

Arif Lukman Hakim 28 Juli 2011
Hari ini akhirnya datang juga, Senin 11 Juli 2011. Sesuai informasi dari Dinas Pendidikan hari ini adalah hari dimulainya tahun ajaran baru 2011/2012. Saatnya menanggalkan kaos dan menggantinya dengan seragam merah putih bagi anak-anak. Hari yang akan mengukuhkanku secara formal berdiri di depan kelas dan menjadi guru SD. Sampai hari ini, bapak kepala sekolah belum kembali ke pulau kecil ini. Ibu guru juga belum ada kabarnya setelah selama liburan akhir tahun ajaran ini pulang kampung di Ambon. Itu artinya dua guru yang selama ini memimpin barisan anak-anak Tarak menuju lautan ilmu pengetahuan tak ada di sekolah. Hatiku cemas. Akan seperti apa hari pertamaku masuk sekolah? Mampukah aku mengajar? Apakah anak-anak akan lari melihat sosok guru dengan penampakan seram sepertiku? Hampir pukul 07.00. Anak-anak mulai berlarian menuju bangunan yang hanya punya dua ruang kelas di ujung kampung Tarak itu. Aku beranikan diri untuk melangkah keluar kamar. Setelah cium tangan bapak dan ibu angkatku, aku ayunkan kaki menuju medan juang utamaku, SDN Tarak. Setibaku di sekolah. Anak-anak mulai berbaris sebelum masuk kelas, semacam apel pagi. Setelah barisan diistirahatkan aku mulai memandang satu persatu anak-anak kepulauan papua ini. Wajah mereka sumringah, bukan seperti yang kusangkakan. Setelah aku amati, komposisi kelas kurang merata. Sebagian anak anggota kelas kecil mempunyai barisan yang lebih panjang dibanding kelas besar, seleksi alam telah terjadi di sekolah ini rupanya. Aku mulai membuka mulutku untuk berujar perkenalan. Kata-kataku tak terbendung melihat gairah belajar mereka. Kuungkapkan nada-nada penyemangat untuk bersekolah sekalipun pagi ini mereka akan mengisi sekolah hanya denganku saja. Ya, aku harus sadar betul. Pagi ini aku berdiri di ujung timur Indonesia, di depan sebuah sekolah yang hanya mempunyai 2 ruang kelas dan ada 6 rombongan belajar; kelas 1 sampai kelas 6, dan di depan mereka hanya ada 1 orang guru, aku. Ibarat pertandingan satria, ini tak adil. Dalam sejarah masa sekolahku tak pernah terjumpai situasi tak seimbang ini, 1 orang guru melawan 6 kelas murid? Untuk semua pelajaran? Aku kembali mengingat kepala sekolah SDN Tarak ini, bapak Sergius Inur namanya, bukan mengingat ketidakhadirannya di sekolah pagi ini, melainkan kehadirannya di pulau ini yang memulai semua keterbukaan pengetahuan di sini. Mungkin sama sepertiku hari ini perasaan bapak Inur saat pertama kali mengajar 6 kelas di pulau ini. Beliaulah yang mengusahakan berdirinya sebuah sekolah di Kampung ini, untuk keterdidikan anak-anak Tarak, untuk menjembatani warga dalam menaiki tangga sosial ekonomi yang lebih baik di pulau ini, melalui pendidikan. Dan bapak kepala sekolahku dihadapkan berbagai masalah yang lebih pelik pastinya kala itu, saat orang belum nyaman betul mendengar kata pendidikan. Sejak saat itu, sampai sekarang, 40 tahun lamanya mengabdi di sebuah pulau kecil, bapak Inur benar-benar menyalakan pelita di barisan 3 pulau 6 kampung ini. Sedangkan aku? Aku hanya bintik kecil jika dibandingkan dengan beliau. Tak layak aku mundur dalam pertarungan 1 lawan 6 hari ini, atau mungkin hari-hari mendatang.  Aku terbius semangat kepala sekolahku, sekalipun belum nampak raganya di mataku. Anak-anak kemudian telah membagi diri, satu ruang untuk kelas 1, 2, dan 3. Kemudian satu ruang lagi untuk kelas 4, 5, dan 6. Adat di sekolah ini setiap pagi adalah salah satu anak berdiri di muka kelas, memimpin doa sebelum belajar. Kemudian anak itu berseru lantang “Beri salam untuk Bapak guru” , logat papuanya kental terdengar. ”Selamat pagi Pak Guru”, seluruh kelas menyambarnya dengan kompak. Sambaran selamat pagi itu menusuk dadaku pagi ini. Seolah ada tangan yang memegang pundakku, menyanggaku untuk tetap tegak berdiri, menyemangati, mendukung, mengajukan diri untuk berbagi gairah, memberi kemantapan untuk mengajar. Betul, pagi ini aku akan mengajar 6 kelas dalam sehari! Semua pelajaran! Dengan suara ombak yang menggelegar di depan sekolah! Tapi kau lihat pancaran mata mereka, anak-anak itu. Kelopak mata yang merindukan siraman ilmu dari kata-kata yang termaktub dalam buku-buku atau yang kau tulis dengan kapurmu di papan tulis. Lihat telinga mereka, lengkungan kulit itu menunggu ucapan-ucapan semangat dan lantunan pelajaran. Lihat mulut yang menganga seperti paruh anak burung itu, yang siap kau isi dengan kicauan-kicauan pengetahuan yang belum pernah mereka ucapkan. Kau yang akan mengisinya, Arif. Matahari semakin menambah sudut ketinggiannya dari bumi. Aku mulai mengatur kesepakatan kecil dengan calon-calon pengisi tulisan-tulisanku dan jepretan kameraku ini, “Suara anak-anakku harus bisa menggerakkan laut lebih kencang! Agar terdengar sampai ke Jawa, bahkan ke ujung Indonesia di sebelah barat!”, aku mulai menjejalkan suapan semangat. Kemudian kuucap lantang, “SDN Tarak... “. Mereka menyahut kencang “Siap! Siap!”. Ouh, itu dia! Suara keoptimisan di ujung timur Indonesia. Suara kebersamaan dan keingintahuan. Suara kekokohan yang siap mengguncang samudera khatulistiwa. Semoga suara itu benar-benar tergetarkan oleh laut dan membawa gemanya ke seluruh penjuru Indonesia, bahkan dunia. Pagi ini aku lebih banyak ingin mengenal mereka, maka perkenalan dari murid pun dimulai. Yang kutanyakan dua hal sederhana; nama dan cita-cita. Satu persatu mulai berdiri menyebutkan nama depan beserta nama marga di belakangnya. Berlanjut tentang cita-cita, sesuatu yang diimpikan jagoan-jagoan kecil ini. Pagi itu mimpi mereka menembus pepohonan kelapa yang memagari lapangan sekolah, berangkat dari kampung di pulau kecil ini. Mimpi mereka terus mendayung di lautan, terus berjuang untuk bertemu kapal yang lebih besar, penuh dengan bunyi deru mesin dan baling-baling, menuju daratan mimpi yang akan mereka singgahi nanti. Mungkin esok belum tentu dua guru yang ada di sekolah ini akan hadir. Mungkin esok aku akan tetap berpeluh keringat sendirian mengajar 6 kelas lagi. Tapi esok akan tetap ada salam hangat “Selamat pagi pak guru” dari anak-anak penuh semangat ini. Aku semakin tidak sabar mengiring perjuangan mimpi anak-anak ini. Ikut berbagi biduk menuju labuhan mimpi mereka. Juli, 2011. SD N Tarak, Distrik Karas, Kab. Fakfak.

Cerita Lainnya

Lihat Semua