Terima Kasih Pelita

Arif Lukman Hakim 28 Juli 2011

Perhatianku mulai terbagi. Saat mengajar pengenalan huruf dan latihan menulis untuk kelas 1 dan 2, kegaduhan kelas sebelah sepertinya tak terbendung, ramai terdengar. Aku harus pindah diri ke sana. Perasaan ketidaktegaan muncul melihat situasi sekolahku yang komposisinya tak memenuhi kriteria sekolah pada umumnya.

Bagaimana akan memaksimalkan materi yang harus disampaikan jika satu ruang dipenuhi tiga kelas? Itupun kalau jumlah rombongan belajar tepat dibagi dua sesuai jumlah ruang yang ada di sekolah ini. Kalau tidak? Sama seperti hari ini, ruang kelas utara untuk kelas 1 dan 2. Sedangkan ruang kelas selatan dihuni kelas 3, 4, 5, dan 6.

“Kalian harus rajin membaca, apa saja tulisan yang kalian lihat di rumah, di sekolah, di jalan, di laut, di hutan, kalian harus mulai membaca apa saja yang kalian lihat”, aku putuskan untuk berkata seperti ini melihat keadaan yang mulai tidak kondusif di ruang selatan.

“Kalau ada buku di rumah atau di sekolah, kalian baca! Apalagi buku pelajaran. Kalian harus lancar membaca. Kalau sudah lancar membaca, nanti ilmu akan mudah diserap, kalian akan tahu dunia. Kalau tak ada buku, silahkan datang ke kamar pak guru di rumah bapak desa, pak guru dengan senang hati akan meminjami kalian buku yang ada”.

Aku berpendapat, mungkin membaca akan menjadi solusi alternatif saat keadaan kelas di sekolah tak mampu digunakan untuk menggenapi materi pelajaran yang harus mereka kuasai. Aku tekankan dengan nada tinggi sebagai pengingat penting bagi mereka, terutama kelas 6.

Pucuk rombongan belajar di sekolahku ini sebenarnya mulai menggemari membaca. Itu sangat jelas terlihat saat kuserahkan sebuah buku ke meja mereka. Beberapa anak dari bangku belakang menyerobot maju untuk ikut membaca dengan meja paling depan. Aku akhirnya menanyakan ke mereka, apakah kelas 6 menginginkan pelajaran tambahan atau tidak. Ternyata hasil musyawarah mereka adalah ya, sepakat untuk mengadakan pelajaran tambahan. Waktu yang akan digunakan adalah tepat lepas sholat isya’, di rumah bapak desa, kata mereka. Pelajaran tambahan akan dimulai malam ini juga, malam pertama mereka memulai petualangan intelektual di ujung jenjang sekolah dasar.

“Baik, pak guru akan menunggu kalian datang. Persiapkan diri, sekali lagi jangan lupa membaca. Sampai berjumpa nanti malam”, aku mengakhiri pertemuan siang itu. Malam yang dijanjikan telah datang. Lamat-lamat mulai berdatangan para calon punggawa Kampung Tarak itu ke rumah bapak angkatku ini. Tetapi malam ini yang hadir ke ruang tamu yang akan disulap menjadi ruang belajar ini sepertinya tidak hanya kelas 6. Betul, ternyata beberapa muka yang kulihat adalah bagian dari anak-anak kelas 2, 3, 4, dan 5 juga ikut masuk.

Ah, pasti akan meriah belajar malam ini. “Malam ini bapak desa tidak ada BBM untuk menghidupkan genset, jadi apakah kalian akan tetap belajar sekalipun lampu tidak menyala?”, aku bertanya cemas ke mereka. “Tidak apa-apa pak guru, kami sudah biasa belajar menggunakan pelita”, celetuk seorang anak, wajahnya belum kutemukan di balik remang cahaya pelita.

“Baik, ini gambar apa? Lalu tulisannya apa di bawahnya?”, sambil aku mengangkat sebuah buku, aku ingin menguji kemampuan penglihatan mereka di ruang yang minim cahaya. “Gambar Komodo! Ilmu Pengetahuan Alam!”, hampir serentak diucapkan Supri Patur, Jufri, Muhammad, Kartini, maupun beberapa anak yang bukan kelas 6. “Pak guru akan memberikan materi tentang IPA, tapi kalian harus membacanya dulu sesuai perjanjian tadi siang di sekolah. Baru pak guru jelaskan”, aku menyerahkan satu-satunya buku IPA punyaku untuk kelas 6.

Perintahku memang membacanya bergiliran, tapi rasa keingintahuan anak tak dapat dipenjara, mereka akhirnya bergerombol dan ikut membaca bersama. Sudahlah tak mengapa. Tapi, sekali lagi ketidaktegaanku bergumam. Aku ambilkan buku-buku yang kubawa ke tanah Papua ini untuk mereka yang tidak kebagian buku. Di bawah cahaya pelita mereka mencoba mengeja, menggandeng, kemudian membukakan mulut untuk membaca huruf demi huruf, kata yang telah tersusun, berbaris-baris. Aku terpukau pada kesungguhan mereka. Hanya bercahayakan pelita, selama ini mereka menyerap ilmu di malam hari dengan membaca, menulis, berhitung.

Bahkan mungkin mereka lahir dengan bantuan pelita. Sama halnya dengan keadaan di kampung ini, hampir semua orang dibesarkan di bawah cahaya pelita. Tidak hanya membaca, ibu mereka memasak, ayah mereka mengaji, mereka berkumpul bersama keluarga, atau semua kegiatan yang dilakukan di malam hari hampir sepenuhnya dilakukan di bawah naungan pelita. Terima kasih pelita. Mulia sekali jasamu, telah menerangi mereka membaca. Membantu mereka menjawab rasa ingin tahu yang membubung tinggi. Mengenalkan mereka huruf-huruf yang berjejer, menjembatani mereka menuju pengetahuan. Atas sinarmu wahai pelita, mereka menjadi pribadi yang akan meneruskan amanat bangsa ini, menuju sebuah peradaban yang telah diidamkan.

“Teruslah belajar anak-anakku. Tetaplah semangat mengejar impian kalian. Teruslah membaca. Nanti pak guru carikan buku-buku untuk kalian baca bersama-sama.”, aku menutup awal pertemuan pelajaran tambahan di malam hari itu.

Juli 2011. Di Kampung yang tak tersentuh di Papua. Di bawah cahaya pelita.


Cerita Lainnya

Lihat Semua